Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerbung Wanita Malam dari Desa (Bab 8)

Cerbung Wanita Malam dari Desa


Halo, Teman-Teman. Kali ini Coretan Karya mempersembahkan karya Zahra Wardah cerita bersambung. Masih ingat dengan kisah Yati, kan? Yang belum baca dari awal silakan dibaca dulu Cerbung WAnita Malam dari Desa Bab 1. Sekarang sudah Bab 8, loh. Selamat membaca, Terima kasih. Jangan lupa share, ya.


Bab 8: Kepergok Mas Walid


Setelah puas dengan argumennya, tampaknya amarah Mas Walid sedikit mereda. Namun, aku masih belum berani membuka suara lagi. Kondisi seperti ini tak mungkin aku rusak dengan pertanyaan-pertanyaan yang memantik amarahnya lagi.

“Kamu mau makan apa?” tanya Mas Walid membuka percakapan kami.

“Terserah Mas saja.”

“Ya, sudah kita makan sate Madura saja. Aku tahu tempat yang enak.” Senyum Mas Walid mulai timbul. 

“Jangan, deh, Mas.” Aku memang tak begitu suka sate. Kalau dipaksa malah bisa muntah. 

“Kalau nasi goreng?” tawarnya lagi.

“Aku sudah bosen, Mas.”

Tiba-tiba kecepatan mobil dipercepat begitu saja. Aku sampai kaget. Jantung rasanya mau copot. Aku menahan napas sebentar. Tanganku mencengkeram erat. 

“Mas, jangan ngebut.” Lama kelamaan aku jadi takut. Akan tetapi, Mas Walid tak menghiraukanku.

“Mas mau membunuh aku, ya.” Entah dapat keberanian dari mana mulutku mengeluarkan kata-kata itu. 

“Mas! Lebih baik aku turun di sini saja. Dari pada copot jantungku.” Aku merajuk dengan mengerucutkan bibir. Sepertinya memang aku harus menyerah. 

“Tunggu. Sebentar lagi kita sampai.” Kecepatan mobilnya masih belum turun juga. Setelah beberapa detik, kuda besi yang kami tumpangi baru berhenti di tempat parkir sebuah restoran besar. Ternyata Mas Walid mau membawaku makan ke sini.

Selepas membukakan pintu untukku, Mas Walid segera mengajakku masuk. Meski masih agak mabuk karena ngebut tadi, aku pun masuk mengekor Mas Walid. Kami pun duduk di sana. Tak berapa lama Mas Walid memanggil seorang pelayan untuk memesan makanan. Saat pelayan itu muncul, aku terbelalak. 

“Mas Tejo?” lirihku. Mas Tejo pun tampak terkejut melihatku. Pandangan kami beradu untuk beberapa saat. Akan tetapi, Mas Tejo masih berusaha profesional. Dia melayani semua pesanan Mas Walid. 

“Aku pesan seperti Mas Walid saja,” ucapku seusai Mas Walid bertanya tentang menu makanku. 

***

“Yati, itu siapa? Gebetanmu? Di saat Aisyah terbaring di rumah sakit, kamu masih sempat untuk pacaran. Begini sikapmu setelah bertemu Aisyah. Mana hati nuranimu?” 

Nada bicara Mas Tejo agak meninggi. Aku celingukan, berharap tak ada orang yang dengar pertikaian kami terutama Mas Walid. Dia masih menunggu di mobil. Sementara itu, aku tadi izin ke kamar kecil. Sebenarnya untuk menemui Mas Tejo setelah tadi dia memberi kode bertemu di sana sebelum aku dan Mas Walid keluar dari restoran ini.

“Kamu salah paham, Mas. Ceritanya panjang.”

“Sudah. Aku tak butuh penjelasanmu. Kamu adalah seorang ibu yang egois. Permisi. Aku pamit kerja lagi.”

Aku menghela napas berat. Kupandangi punggung Mas Tejo sampai tak terlihat oleh pandanganku. Sepanjang pernikahan kami seingatku Mas Tejo tak pernah semarah ini. Apa benar aku ibu egois seperti yang dikatakan Mas Tejo? Atau jangan-jangan dia cemburu. Ya, Allah. Kepalaku terasa sedikit sakit, lalu kupijat seraya kembali ke parkir mobil. Tak mungkin aku meninggalkan Mas Walid lama-lama. 

“Kok, lama ke kamar mandinya?” tanya Mas Walid dengan nada datar.

“Iya tadi antre di kamar mandi wanita.” 

“Antre apa antre?” Mas Walid menolehku, lalu matanya tajam memindai ke seluruh badanku.

“Maksudnya?”

“Kamu ngapain tadi ngobrol dengan pelayan restoran itu? Kalian sepertinya akrab.” Kedua alis Mas Walid bergerak ke atas. 

“Anu ... itu ....”

“Itu?” tanyanya lagi dengan mendekatkan wajahnya kepadaku.

“Itu mantan suamiku, Mas ....”

Belum sempat aku melanjutkan pembicaraan, Mas Walid sudah menyela, “Oh, mantan. Kirain siapa.”

“Kalian ngobrol apa?” lanjutnya lagi. Sepertinya dia makin penasaran. Akan tetapi, wajahnya sudah kembali di posisi semula.

“Kami mengobrolkan anak kami yang masih terbaring di rumah sakit. Sudahlah Mas menyerah saja. Aku, kan, sudah bilang aku janda punya anak satu.” Aku menekankan kembali soal posisiku. Mana tahu Mas Walid lupa, kan. Aku tak mau membuatnya menyesal di kemudian hari. 

“Stop! Meskipun kamu janda beranak satu, tapi kamulah yang pertama berada dalam hatiku. Jadi, tolong jangan sebut itu lagi.” Nadanya memelan pada kalimat terakhir. Wajahnya memelas. Responsku hanya mengangguk pelan.

***

Untung saja Mas Walid mengantarku tepat waktu. Hanya butuh beberapa menit untuk membersihkan diri, lalu bersiap untuk kerja dengan Pak Tohir. Kali ini klien Pak Tohir yang menggunakan jasaku untuk melayaninya di tempat karaoke. Maka dari itu aku harus siap. Jika ada keluhan darinya, pasti Pak Tohir memperingatkanku dengan tegas. Hal ini sudah diwanti-wanti oleh Pak Tohir. 

“Kamu sudah siap malam ini, Yati?”  tanya Pak Tohir dengan mimik sedikit menggoda. 

“Sudah, Pak.”

“Kamu manis sekali malam ini. Ayok, saya antar.” Pak Tohir tahu aku tak punya kendaraan apa pun di sini. Makanya setiap aku hendak bekerja dia selalu menawarkan diri untuk naik ke mobilnya.

“Saya sendiri saja, Pak naik oplet.” 

“Oke, kalau begitu. Saya duluan. Nanti di sana temui aku dulu, ya.”

Para pelanggan di karaoke memesan pelayan melalui Pak Tohir, makanya sebelum bekerja aku harus menjumpai Pak Tohir terlebih dahulu untuk memastikan klien mana yang memesan jasaku. 

“Baik, Pak.” 

Aku menghela napas berat. Ya Allah, sampai kapan aku harus bekerja dengan Pak Tohir seperti ini. Setiap hendak bekerja di tempat karaoke aku selalu berdoa supaya dilindungi oleh Allah. Dilindungi dari tangan-tangan lelaki jahil yang gila nafsu belaka. 

Tak lama oplet pun lewat. Beruntungnya di dalam belum ramai akan penumpang, jadi tempat duduk pun masih banyak yang kosong. Jarak antara indekos dengan tempat karaoke tak begitu jauh, sehingga tak perlu lama, aku segera turun. Tanganku baru mau membayar ke sopirnya, tiba-tiba ada yang memanggil dari dalam.

“Mbak! Mbak! Itu uangnya jatuh.” 

Baca juga: Cerita Mini Baru dengan Judul Anakku

Ibu-ibu berbaju merah menunjuk selembar uang berwarna merah yang tergeletak di pintu oplet. 

“Oh, ya. Terima kasih, Bu.” 

Oplet segera berlalu setelah kubayar. Aku mengelus dada pelan. Untungnya aku tak jadi kehilangan uang seratus ribu ini. Meski hanya selembar itu sangat berharga bagiku. Selama ini persepsiku ternyata salah mengenai orang kota yang terlalu cuek dengan masalah orang lain. Nyatanya uangku jatuh masih ada orang baik yang mau memberitahuku. 

Aku tercengang kala kakiku hendak memasuki area karaoke. Sosok Mas Walid di halaman parkir gedung karaoke ini mengganggu pandanganku. Tampak dia sedang menelepon dari dalam mobilnya dengan kaca terbuka. Aku mengucek mataku, mana tahu penglihatanku salah. Ternyata memang benar-benar Mas Walid. Pun nomor pelat mobilnya pun sama. Pelan-pelan aku menghampirinya. 

“Mas Walid?” lirihku yang mampu membuatnya menoleh kepadaku. Dia sepertinya tak kalah terkejut melihatku. Cepat-cepat dia memutus sambungan teleponnya. Mas Walid segera keluar dari mobilnya.

“Yati, kenapa kamu di sini?”  

Aku memang belum memberitahu Mas Walid dengan pekerjaanku sebagai pemandu karaoke. Mungkinkah dia akan menjauh setelah mengetahui pekerjaanku ini?

***


BERSAMBUNG


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixelLab