Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Mini yang Berjudul Bu Masyiam

Cerita Mini yang Berjudul Bu Masyiam
Cermin Bu Masyiam


Bu Masyiam mondar-mandir di ruang tamu rumahnya. Sesekali matanya menyelidik keluar. Kedua tangannya mengepal. Suara napasnya pun lebih cepat dari biasanya. 

“Ada apa, sih, Buk? Mondar-mandir dari tadi.” 

Isma, anaknya tak tahan dengan ibunya. Meski sejak tadi dia bermain ponsel di sofa, tetap saja matanya terkadang melirik ke sosok wanita gembul yang telah melahirkannya itu.

“Nunggu Kang Karmin. Dari tadi enggak nongol-nongol,” balas Bu Masyiam.

“Biasanya juga santai nunggunya,” lirih Isma sembari fokus dengan layar ponsel di tangannya. 

Sejurus dengan itu suara khas Kang Karmin terdengar. Makin mendekat. Bu Masyiam buru-buru keluar setelah Kang Karmin lewat depan rumahnya. Suara cempreng nan keras memanggil Kang Karmin. 

“Kang, kalau punya mulut itu, mbok dijaga. Jangan asal jeplak saja. Aku tahu di belakang kamu sering mengejek-ejek aku, to. Hayo, ngaju aja,” desak Bu Masyiam berikut dengan bibir yang maju beberapa senti. Tangannya meremas kangkung yang berada di depannya.

Baca juga: Puisi tentan Kehidupan Sehari-hari dan Bunga

Kang Karmin tidak langsung menjawab. Dia hanya menggeleng. 

“Apa maksudnya, Bu?” 

“Halah. Enggak usah sok-sokan enggak tahu, Kang!” Nada Bu Masyiam meninggi. Kini tangannya sudah berada di pinggang. 

“Ibuk!” pekik Isma, mendekati Bu Masyiam.

“Ada apa sampai teriak-teriak gitu?” lanjut Isma.

Sejenak Isma mengatur napasnya yang masih tak beraturan karena barusan lari. “Ibuk ngapain marah-marah ke Kang Karmin?” 

“Tapi, katamu Kang Karmin yang ngatain Ibu. Ya, Ibu kesal.” Mulut Bu Masyiam tetap monyong.

“Ibuk, Ibuk. Maksudku bukan Kang Karmin, tapi Kang Amin yang kemarin baru meninggal itu.”

Seketika wajah Bu Masyiam memerah. Malu campur marah. Apalagi di sana ibu-ibu lain juga sudah berkumpul belanja sayur. 

“Kamu bohong, kan?” lirih Bu Masyiam tepat di dekat telinga Isma.

“Beneran, Bu. Ibu aja yang enggak dengar. Makanya jangan asal marah aja. Ya, sudah ayo masuk. Enggak ada yang dibeli, kan?” Isma menggandeng tangan ibunya.

“Maafkan Ibu, ya, Kang. Permisi. Permisi semuanya,” sambungnya.

Bu Masyiam diam seribu bahasa. Dia hanya mengikuti putrinya. Dalam kepalanya enggak tahu harus berbuat apa setelah malu setengah mati di hadapan ibu-ibu kompleks. Harga dirinya sudah jatuh.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com