Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Bersambung Wanita Malam dari Desa (Bab 9)

Cerbung Wanita Malam dari Desa Bab 9

 

Assalamualaikum, Teman-Teman semua. Selamat datang di Coretan Karya. Di sini bisa menikmati cerita-cerita mini, cerpen, cerbung, cernak, review buku. Nah, kali ini kami menyajikan kelanjutan kisah Yati dan Mas Walid. Cerita Bersambung alias  cerbung Wanita Malam dari Desa yang sudah episode sembilan. Selamat menikmati. Jangan lupa share, ya. Terima kasih.

****

Bab 9: Pelanggan Tetap Mas Walid


Ah, aku tak boleh berharap banyak. Aku tahu diri dengan kondisiku yang terlalu rumit ini. Mas Walid tak akan mau lagi denganku.

“Lha, Mas Walid kenapa di sini?” 

“Aku di sini karena menunggu pelanggan karpet. Kamu?” 

Oh, ya aku tadi belum jawab jawaban Mas Walid karena penasaran atas dirinya. “Aku di sini ....”

Belum sampai aku menjawab, tiba-tiba suara Pak Tohir memanggil nama Mas Walid. 

“Yati kenapa berdiri di situ? Enggak masuk?” tanya Pak Tohir.

“Eh, iya, Pak.” Aku lekas masuk dengan kikuk. 

Bagaimana jika Mas Walid tahu tentang pekerjaanku? Ah, apa masalahnya kalau dia tahu? Dalam otakku bertempur sendiri dengan beberapa pertanyaan yang absurd. Aku menggeleng kepala. Aku lanjutkan dan masuk ke ruang yang sudah dikonfirmasikan oleh Pak Tohir tadi.

Dalam pelayananku tak sadar aku menumpahkan air minum pelangganku. Sampai-sampai dia protes. Aku yang masih belum bisa fokus pun pamit, lantas berlalu tanpa menghiraukan pelangganku itu. Aku berlari ke tempat parkir mobil.

“Di mana Mas Walid? Aku harus memberitahunya dahulu,” lirihku. 

Aku masih terengah-engah dengan berhenti sejenak. Tiba-tiba Mas Walid hadir di hadapanku saat aku menunduk, memeriksa sepatuku yang sepertinya haknya copot.

“Mas Walid.” Dia tersenyum manis sekali, ya, Allah. 

“Aku sudah tahu, kok, kamu bekerja di sini. Sejak aku mengantarmu ke indekos Bos Tohir. Aku gali semua tentangmu dari Bos Tohir.”

“Tapi, kenapa tadi ekspresi Mas begitu terkejut saat tahu aku di sini?”

Dia lebih mendekat kepadaku. “Aku hanya ingin melihat ekspresimu saat aku tahu kamu bekerja di sini. Yati, aku, kan, sudah bilang berulang kali bahwa aku akan menerimamu apa adanya. Emmm ... asalkan setelah kita menikah kamu mematuhiku.” 

Senyumnya menenangkan hati. Aku bernapas panjang lega. Aduh, bagaimana coba aku bisa menolak makhluk tampan satu ini? Meleleh. Kini hatiku dipenuhi oleh Mas Walid. Dia memang tak pernah menyatakan I love you secara romantis bak drama-drama di sinetron. Akan tetapi, kenapa aku tak kuasa menolaknya. 

“Pipimu jelas sekali. Kenapa berubah menjadi merah merona?” Dia tertawa, meledek aku yang makin malu olehnya. 

“Tapi, Mas ....”

“Tapi apalagi, Cantik.”

Ya, Allah aku dipanggil cantik. Kamu pintar sekali membuat aku makin tak berdaya Mas Walid. “Kamu harus minta maaf sama Umi karena beliau enggak salah, Mas.”

Mas Walid sejenak berpikir. Sepertinya dia agak ragu. Sebelum membalasku dia menghela napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Baiklah, kalau itu maumu.” Akhirnya dia memutuskan yang membuatku lega.

“Eh, tunggu!” Mas Walid setengah berteriak kala aku berbalik badan hendak meninggalkannya.

“Ada apa, Mas?” 

Dia tak menjawab, tetapi langsung jongkok dan melepas sepatuku. Mas Walid mengganti sepatuku dengan sandal miliknya. 

“Jangan pakai sepatu yang haknya copot sebelah.” Selepas memakaikanku sandal yang tentunya besar di kakiku, dia berlalu begitu saja.

***

Malam ini aku pulang kerja diberi tumpangan oleh Pak Tohir. Aku paham dari mimik wajahnya, Pak Tohir begitu marah denganku. Dia tak bersuara sampai setengah kami perjalanan pulang.

“Kenapa kamu kerja seenaknya saja.” Tiba-tiba suara berat Pak Tohir mengawali percakapan di mobil.

“Maafkan saya, Pak. Besok-besok saya janji enggak akan mengecewakan Bapak lagi.” Aku menatapnya penuh sendu seraya mengacungkan kedua jari: jari telunjuk dan tengah.

Otot-otot Pak Tohir yang tadinya menegang sepertinya kini mulai mengendur. “Baiklah. Aku maafkan kamu lantaran kamu pacar Walid.” 

“Terima kasih, Pak. Ngomong-ngomong, Bapak tahu Mas Walid dari mana?”

“Aku itu langganan karpetnya. Sampai-sampai sering diberi diskon olehnya. Kamu beruntung dapat Walid, Yati. Jadi, jangan sia-siakan dia. Dia itu sangat patuh kepada orang tuanya. Apalagi saat abahnya meninggal. Dia sangat menyayangi uminya. Semua yang uminya mau pasti dikabulkannya. Hanya ....”

“Hanya apa, Pak?” Aku begitu impulsif karena penasaran. Sebab, baru saja kemarin aku menyaksikan sendiri Mas Walid bertengkar dengan uminya di hadapanku. Apa sebesar itu cinta Mas Walid kepadaku? Sampai tak sanggup berdamai dengan uminya karena aku. 

“Hanya satu yang belum bisa dikabulkan oleh Walid. Istri.” 

“Iya, istri untuk Walid. Aku tidak begitu dekat dengan Walid. Tapi, sejak menjadi pelanggan karpetnya sedikit banyak tahu kisah bos karpet itu,” sambungnya lagi sambil membuka pintu mobil karena ternyata kami sudah sampai di indekos.

***

Beberapa kali ponselku berdering. Sempat aku melirik jam di dinding jarum jam menuju angka dua. Aku malas menjawab telepon. Akan tetapi, masih saja berdering setelah mati beberapa detik. Terpaksa aku memaksa membuka mata sedikit lebar. Di layar ponsel tertera nama Mas Tresno.

“Ada apa Mas Tresno menelepon dini hari gini? Aduh.” Aku mendengkus kesal. Tubuhku masih terasa pegal-pegal karena bekerja seharian.

Terdesak aku pun menjawab telepon Mas Tresno dengan malam. “Ada apa, Mas?” tanyaku seusai salam.

“Yati, tolong. Warung kita kebakaran.”

Seketika mataku terbuka lebar. Bukan hanya mataku, melainkan mulut pun ikut terbuka. Aku mencubit tanganku. Sakit. Ternyata ini bukan mimpi. Ponsel kuletakkan sembarang, aku bergegas ke warung Mas Tresno. Bagaimana ini? Satu pekerjaanku akan hilang. Bagaimana aku menolong Mas Tejo untuk biaya rumah sakit Aisyah?

Tas jinjing kusambar begitu saja, lalu lari secepat mungkin. Cahaya menyala-nyala tampak dari indekos. Suara mobil pemadam pun menggema. Tetangga sekitar pun berkerumun di sana. Kini kantuk sudah menguap. Malahan mata semakin terbelalak melihat warung tempatku bekerja dilahap api.

“Mas Tresno?” Aku menemukan Mas Tresno lemas, duduk di pelataran warungnya. 

“Yati. Warung kita.” Mas Tresno sedikit terisak. Dia memelukku.

Baca juga: Contoh Cerita Mini yang Berjudul Bos Beras

“Aku yakin Mas Tresno kuat. Semoga segera Allah memberikan yang lebih baik lagi, ya, Mas.” Aku menepuk punggung Mas Tresno pelan-pelan. Untungnya beberapa saat setelah pemadam kebakaran datang, api segera padam. 

“Yati?” Mendengar suara seseorang memanggilku dari belakang. Aku melepaskan pelukan Mas Tresno. 

“Mas Walid di sini?”

Mas Walid pergi begitu saja tanpa menjawabku. Jelas di wajahnya tampak kecewa. Gawat ini. Mas Walid bisa salah paham. Kenapa di saat seperti ini Mas Walid harus hadir, sih? 

“Mas! Tunggu!” 

Aku mengejarnya. Tiba-tiba aku terjatuh oleh batu yang tadi tak kulihat. “Aduh, sakit.” Di cahaya temaram lampu jalan, terlihat darah mengalir di lututku. Perih. Saat pandanganku menyisir ke sekitar, bayangan Mas Walid sudah tak ada. 

“Maafkan aku, Mas Walid,” lirihku sembari meringis kesakitan. 

Aku berusaha bangkit sendiri. Di sekitar sepi, tak ada orang yang bisa membantuku. Meski tertatih, aku masih berusaha mencari Mas Walid. Istirahat sebentar di kursi kayu yang kutemui menurutku pilihan terbaik. Kutenggelamkan tangan ke tas jinjing yang melekat di tubuhku, hendak mengambil sapu tangan. Namun, belum sampai kudapat seseorang menyodorkan sapu tangannya di hadapanku. Kudongakkan wajahku, mencari tahu siapa orang itu.

***


BERSAMBUNG


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixelLab