Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Bersambung Wanita Malam dari Desa (Bab 12) Tamat

Cerbung Wanita Malam dari Desa Bab 12



Assalamualaikum, salam sejahtera untuk semuanya. Terima kasih sudah bersedia mampir di Coretan Karya oleh Zahra Wardah. Siapa yang sudah tidak sabar melanjutkan kisah Yati? Kali ini cerita bersambung Wanita Malam dari Desa sudah pada episode terakhir alias tamat. Selamat menikmati, jangan lupa share, ya. Semoga harimu menyenangkan. Aamiin.


****


Bab 12: Bersamamu


Kalau tak menghabiskan sandal namanya bukan Yati. Entah kakiku yang tak tahan lama-lama menggunakan alas kaki itu atau memang sandalku yang butuh diganti terus. Hal seperti barusan tak hanya sekali dua kali. Di desa sering kali aku ganti selop. Entah itu karena hilang atau putus. Sebab itulah, aku sering memutuskan untuk tak menggunakan alas kaki saat di desa dan itu sangat lumrah. 

“Terima kasih, Mas.” Aku tertawa manja. 

Lucu juga melihat Mas Walid yang keren nan tampan tak menggunakan alas kaki. Aku menahan tawa sembari menutup mulut dan mengalihkan pandangan, berharap Mas Walid tak menatapku. Ternyata tiba-tiba dari belakang dia menggetok pelan kepalaku.

“Kamu menertawai aku, ya. Awas, ya!” 

Mas Walid mengejarku hingga ke tempat mobil. Mas Walid sukses besar dalam menghiburku. Kesedihanku luntur seketika olehnya. Napas kami sama-sama terengah-engah tak beraturan. Senyum kami beradu. Beberapa saat setelah kondisi kembali normal, kami pun lekas masuk mobil.

“Kita mau ke mana, Mas? Jalan ke kosku, kan, bukan ini.” 

“Sudah kamu ikut saja,” balas Mas Walid tanpa menolehku. Dia fokus dengan kemudinya. 

Aku sepertinya tahu tujuan Mas Walid. Jalan yang kami lewati persis seperti jalan menuju rumah ....

“Kita mau ke rumah Umi, Mas?” Aku tak tahan dengan penasaran ini.

“Iya. Kok, tahu?” 

“Walaupun baru satu kali kita lewat sini, tapi aku tahu ini jalan ke rumah Umi.” 

Sepertinya akan ada kejutan kebaikan di sana nanti. Mungkin, Mas Walid mau menepati janjinya untuk memperbaiki hubungan dengan Umi Rohmah. Semoga. 

“Bagus itu. Selain cantik kamu juga cerdas, Yati.” Gigi putih Mas Walid tampak rapi kala dia tersenyum manis kepadaku. Allah. Aku meleleh lagi.

***

Begitu sampai rumah yang bergradasi cokelat susu itu, Mas Walid segera keluar dari mobil menghambur ke Umi Rohmah yang sedang memberi makan ikan di kolam depan rumah. Dia mencium pipi dan telempap Umi Rohmah. Sampai-sampai aku yang masih di dalam mobil dilupakannya. Akan tetapi, hatiku ikut menghangat melihat pemandangan itu.

“Yati. Sini.” Umi Rohmah melambaikan tangannya.

Setelah menyadari kehadiranku, Mas Walid pun segera menghampiriku dan mengajakku untuk segera menyalami Umi Rohmah.

“Nanti sesudah jadi suami istri jangan sampai kamu lupakan istrimu hanya karena Umi, loh, Walid. Umi harap kalian bahagia dunia akhirat kelak. Aamiin.” 

Kenapa Umi Rohmah tiba-tiba mengarah ke pernikahan? Apa yang barusan dikatakan Mas Walid kepada beliau? Aku hanya terpaku dan tersenyum kaku.

“Seperti yang kamu mau. Aku sudah berdamai dengan Umi dan akan melamarmu.” Mas Walid seakan tahu isi kepalaku. 

“Kenapa semua berdiri di sini. Ayok, masuk semua.” Umi Rohmah mencairkan suasana tegang barusan. Kami bertiga masuk beriringan. 

“Mas, apa-apaan yang Mas katakan barusan?” lirihku saat Umi Rohmah meninggalkan kami di ruang tamu berdua.

“Aku mau kamu halal untukku. Sebab itu, aku tadi izin ke Umi untuk melamarmu. Umi sangat menyetujuinya. Kamu senang?”

Aku tak menjawabnya. Merah merona di pipi dengan senyumku sebagai balasan dari pertanyaan Mas Walid yang sebenarnya tak harus ditanyakan lagi. Senang? Pasti. Mas Walid orang baik, tampan, dan mapan. Kurang apalagi coba? Tak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Aku, janda dari desa yang kerjanya buruh cuci sebentar lagi menjadi istri seorang bos karpet. Tak bisa kubayangkan bahagianya aku.

Menyadari Umi Rohmah lama di dapur, aku pun menyusulnya. “Kamu siap menjadi menantu, Umi?” tanya Umi saat aku membantunya memasak untuk kami. Apakah ini permainan catur? Kenapa dari tadi aku kena sekak mati begini, sih?

“InsyaAllah, Umi.” 

***

Selang dua bulan kepergian Aisyah, Mas Walid melamarku secara resmi. Tak lama kemudian kami melangsungkan akad nikah di sebuah hotel berbintang. Selama ini aku hanya melihat pernikahan artis-artis di hotel melalui televisi. Kini aku sendiri yang di sini sebagai pengantin. Sayangnya Bapak dan ibuku tak bisa melihat ini semua. Semoga beliau berdua bahagia di alam sana. 

Para tamu dihadiri oleh kerabat dan saudara dari Mas Walid. Sedangkan dariku tak ada satu pun yang hadir. Hanya Mas Tejo dan Pak Tohir yang hadir dari pihakku. Saudara-saudara di kampung tak terlalu memedulikanku. Mereka semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ya, sudahlah. Meski begitu aku sangat bahagia sekali malam ini. Terima kasih semuanya.

“Mas, tolong.” Aku menunjuk kakiku.

“Memang kebiasaan, ya. Kakimu itu terbuat dari apa, sih?” Mas Walid menggeleng kala melihat hak sepatuku patah lagi. Aku hanya tersenyum manja. 

Mas Walid memanggil perias pengantin untuk mengganti sepatuku. Selepas perias pengantin itu meninggalkan kami di pelaminan, Mas Walid mencolek hidungku, “Gemes.”

Padahal hidungnya lebih mancung daripada hidungku. Yang seharusnya gemas siapa coba? Aku, kan? Sudahlah nanti malam setelah tamu pulang semua, akan kuhabisi dirinya sendiri. Secara, aku yang berstatus sebagai janda lebih berpengalaman daripada dirinya. 

Kamar 222 adalah kamar hotel aku dan Mas Walid menjalani malam pertama  setelah pernikahan. Mas Walid membopongku menuju kamar. Aku menatap dalam wajah tampannya. Benarkah ini suamiku? Beruntungnya aku, pergi ke kota tujuan mencari anak, justru dapat suami.

“Aduh.”

“Kenapa, Mas? Berat, ya?” Aku khawatir karena akhir-akhir sepertinya berat badanku naik.

“Sandalku putus.” 

“Hem ... kaki Mas terbuat dari apa, sih?” 

Kami berdua tergelak-gelak. Perkataan Mas Walid tadi aku ulangi. Beruntungnya suasana sudah sepi. Tak ada orang yang mendengar kami. Mas Walid pun memilih untuk membopongku tanpa alas kaki. Mas Walid membuka pintu nomor 222 dengan aku masih di gendongannya. Kemudian, dia menutup pintu kamar menggunakan kakinya. 

“Sayang, malam ini kamu cantik sekali,” ucapnya usai melemparkan tubuhku di kasur.

“Masak? Pakai make up, ya, jelas cantik,” kilahku.

Baca juga: Beberapa Contoh Teks Puisi tentang Alam dan Kehidupan

“Tanpa riasan pun kamu cantik, loh. Aku serius. Dirimu hanya aku yang berhak menikmati. Aku berharap keluar dari tempat karaokenya Bos Tohir. Meski aku yakin kamu tak seperti wanita-wanita lain yang ‘keterlaluan’ di sana.” Mas Walid menatapku tajam dengan wajah serius. 

“Iya, suamiku. Aku akan mengikuti maumu.” 

“Oke. Kalau begitu, ayok,” kata Mas Walid sambil berlalu ke kamar mandi.

“Ayok apaan?” 

“Buat anak.” 

Terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Sepertinya Mas Walid sedang wudu. Tak lama dia pun keluar. 

“Ayok, salat berjemaah. Lekas ganti baju dan hapus riasannya itu,” titahnya.

“Baik, suamiku tercinta.” Aku beringsut dari kasur, lalu mengerjakan semua perintah Mas Walid. 

Kami berdua salat  Isya berjemaah dengan khusuk. Mas Walid mengecup keningku selepas salat sembari berdoa. Hatiku menghangat. Ditambah genggaman tangannya yang mengisyaratkan bahwa akulah satu-satunya wanita di hatinya selain Umi. Pun tatapannya. Mas Walid pandai mengambil hatiku malam ini. Aku sudah berserah seutuhnya demi suamiku tercinta. Terima kasih, Sayang.

***


TAMAT


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixelLab