Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Horor Mengerikan dengan Judul Setelah 40 Hari Kematian

Cerpen Horor Mengerikan dengan judul Setelah 40 Hari Kematian



Assalamualaikum, Teman-Teman. Salam sejahtera. Terima kasih sudah mampir di Coretan Zahra Karya. Kali ini kami mempersembahkan cerpen horor mengerikan dengan judul Setelah 40 Hari Kematian. Jangan lupa share dan comment, ya. Oh, ya jika ingin menonton cerita di coreta karya, kamu juga bisa mengunjungi youtube Cerita Keren. Terakhir bagi teman-tema penulis yang bukunya hendak direviuw dan masuk di blog ini, silakan langsung hubungi Zahra Wardah. Semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

****

Di rumah bergradasi putih dan abu-abu itu masih ramai para petakziah. Istri Tukimin yang sedang hamil delapan bulan baru saja meninggal. Bayi dalam kandungannya pun tak bisa diselamatkan, meninggal dunia di dalam perut. Warga bersepakat kalau bayi yang di kandungan tak harus dikeluarkan terlebih dahulu. Untuk itu sesegera mungkin jenazah Rubiyem dimandikan, disalatkan, lalu dimakamkan.

Menurut desas-desus warga kematian Rubiyem tak wajar. Pasalnya pagi tadi Rubiyem masih tampak belanja sayur-mayur di pedagang keliling. Tak ada tanda-tanda sakit. Rubiyem dikenal warga dengan kepribadiannya yang ramah dan sering tersenyum. Seakan tak ada beban dalam hidupnya. Namun, kenapa kematiannya mendadak? 

“Mbak beli apa?” tanya Mang Ali saat Rubiyem baru mendatangi gerobak sayurnya.

“Saya cari terong, Mang. Biasa kesukaan suami terong dan telur balado.” Rubiyem memilah-milah terong yang hendak dibeli. Tak perlu menunggu lama setelah selesai berbelanja, wanita yang perutnya membesar itu lekas pamit kepada Mang Ali dan ibu-ibu di sana. 

Sedetik kemudian, suara desas-desus antara ibu-ibu terdengar. Mang Ali hanya menggeleng, menyaksikan kegaduhan ibu-ibu secara berbisik. 

“Kasihan, ya, Rubiyem. Suaminya malas-malasan gitu. Dia yang banting tulang. Padahal dia sedang bunting.” Ibu berdaster bunga-bunga merah mengawali pergosipan mereka.

“Iya, Bu Meri. Katanya juga kadang dia dipukul oleh suaminya.” Bu Paijo ikut berpartisipasi. 

“Masak, iya, Bu? Ya Allah kasihan banget Rubiyem.” Ibu yang baru selesai membayar belanjaan pun turut bergabung.

Beberapa menit habis untuk bergosip. Hal itu sukses membuat pusing kepala Mang Ali. Kalau boleh memilih, lelaki kurus itu tak akan memutuskan jadi tukang sayur keliling. Bagaimana tidak? Setiap berhenti pelanggannya kerap menggunjingkan orang lain. Bahkan, kadang dirinya sendiri digunjing oleh ibu-ibu. Parah. 

“Sudah bu-ibu? Saya mau pindah lagi. Kasihan bu-ibu sebelah sana.” Mang Ali berusaha supaya segera beranjak dari sana.

“Iya, Mang.” Suara ibu-ibu pelanggan Mang Ali hampir bersamaan. Mereka paham sekali. Saat Mang Ali sudah mau pergi, pasti alasannya pasti ‘kasihan dengan ibu-ibu sebelah’. 

Pelanggan Mang Ali pun buru-buru. Ada yang tinggal bayar dan ada juga yang masih memilih sayur dan ikan kecuali aktivitas bergosip sudah terhenti. 

***

“Mas, aku tadi malam seperti ditemui Mbak Rubiyem.” Hari ketiga setelah meninggalnya Rubiyem, Sukri atau adik ipar Rubiyem baru berani menceritakan kejadian yang dialami. 

“Masak, ya, Kri? Aku juga merasa ada yang selalu mengikuti setelah kematian Rubiyem.” Kakak beradik itu mulai masuk percakapan serius.

“Iya, Mas. Wajahnya pucat, mulutnya berdarah, pakai pakaian putih semua. Sambil nggendong bayi. Aku takut, Mas. Setiap aku ke mana-mana dia mengikutiku, Mas.” Syukri bergidik membayangkan mimpi tadi malam yang terlihat nyata.

Hampir mulut Andi, suami Rubiyem membalas ocehan adiknya. Tiba-tiba lampu ruang tamu tempat mereka bercakap mati dalam lima detik. Selama itu pula kedua lelaki itu terperangah, menatap satu sama lain dengan mulut yang masih terbuka. Untungnya setelah itu lampu hidup kembali.

“Alham ....” Belum usai Andi mengucap hamdalah, lampu kembali padam. 

Tampak cahaya kilat dan angin kencang dari pintu ruang tamu yang terbuka. Seketika Syukri lari terbirit-birit ke kamarnya. 

“Woi, Kri! Dasar penakut.” Andi tersenyum kecut. Sejurus dengan itu dia melihat bayangan hitam dari pintu. Lama kelamaan bayangan itu seperti makin mendekatinya. Akhirnya lelaki berkumus tebal itu pun mengikuti jejak adiknya. Kabur. Untung saja kondisi seperti itu tak sampai setengah jam kondisi normal kembali.

***

Semenjak kepergian Rubiyem, rumah kayu yang di dalamnya hanya ada dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur, satu toilet saja itu kini hanya dihuni oleh Andi dan Syukri. Meski mereka bergenre lelaki, tetap saja tiap kali ada kejadian yang menurut mereka aneh mereka tak ada yang berani tidur dengan kamar terpisah. Bahkan, hal itu kerap mereka lakukan semenjak kematian Rubiyem.

“Mas, bagaimana kalau kita jual aja rumah ini? Kita beli yang baru. Lama-lama aku takut, Mas di sini,” usul Syukri.

“Jangan, Kri. Kamu enggak ingat. Ini, kan, rumah peninggalan Mak. Enggak boleh dijual,” elak Andi.

“Aku takut dengan Mbak Rubiyem, Mas.” Syukri mulai menekuk wajah.

“Rubiyem, kan, sudah mati, Kri.” Andi menepuk pelan punggung adiknya.

“Anu, Mas. Aku mau jujur, tapi jangan marah, ya.” 

Baca juga: Cerpen Singkat yang Berjudul Pahlawanku

“Apa itu?”

“Sebenarnya, kemarin aku memang meracuni air minum Mbak Rubiyem.” Syukri membuat pengakuan tepat setelah empat puluh hari Rubiyem meninggal. Wajahnya tampak memelas supaya kakaknya tak murka. Akan tetapi, ekspekasinya salah. 

Andi marah besar. Matanya memerah. Kedua tangannya mengepal. Dia menghajar habis-habisan Syukri yang tak ada sedikit pun perlawanan. 

“Meski terkadang aku semena-mena dengan Rubiyem. Tapi, kamu itu sudah keterlaluan. Dasar tak tahu diri. Pergi, Kau!” pekik Andi setelah tenaganya hampir habis untuk memukuli Syukri.

Dengan terpaksa Syukri pun mengiyakan perintah kakak kandungnya itu. Dengan berat hati dia meninggalkan Andi dan rumah peninggalan orang tuanya. Tak ada lagi saudara yang dia punya. Entah ke mana kaki akan melangkah? Belum jelas.

Sementara itu, satu jam setelah kepergian Syukri, Andi tiba-tiba tertawa lepas layaknya orang yang baru menang judi. Namun, setelah itu menangis tersedu-sedu dan meraung. Tetangga pun berdatangan melihat kondisi Andi. Mereka sepakat untuk memasukkan Andi ke rumah sakit jiwa demi kebaikan Andi.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com