Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Horor Pendek Seram yang Berjudul Kerasukan



Assalamualaikum. Halo semuanya. Selamat datang di Coretan Karya.Kamu bisa menikmati karya-karya Zahra Wardah di sini. Kali ini kami mempersembahkan cerita horor pendek seram yang berjudul Kerasukan. Kamu juga bisa mengunjngi youtube-nya untuk menonton cerita yang di sini. Cari saja di kolom pencarian youtube "Cerita Keren". Oh, ya bagi teman-teman penulis jika bukunya hendak direview dan masuk ke blog ini, silakan langsung hubungi Zahra Wardah, ya. Terima kasih semua dan semoga harimu menyenangkan. Aamiin. Selamat menikmati.

****


“Rumi! Awas!” pekik Joni dari kejauhan sembari lari meninggalkanku sendiri.

“Kenapa Joni?” Setelah menoleh kanan dan ke kiri, aku pun mengekor Joni. Lari. Meski tak menemukan sesuatu, tetap saja perasaan merinding itu mulai menumpuk. 

Aku dan Joni baru sehari di sini. Tepatnya di desa Nek Bayah, nenekku. Kami memutuskan untuk mengisi liburan di sini. Ya, walaupun sejujurnya hal ini tak disetujui oleh Ibu. Selain jauh alasan lainnya adalah karena rumah nenek terletak di pelosok. Jauh banget dari tetangga. Plus dengan kondisi jaringan internet yang sangat minim. Komunikasi jarak jauh pun sangat susah.

Awal dari ide ini adalah Joni. Setelah pengumuman libur sekolah, dia mengajakku untuk liburan dan kamping di gunung dekat rumah Nenek. Mulanya aku menolak. Sebab, di rumah Nenek tak ada orang sama sekali semenjak Nenek meninggal sekitar dua bulan lalu. Rumahnya tak terawat. Anak-anaknya tak ada yang mau menghuni karena sudah punya rumah sendiri-sendiri, termasuk orang tuaku.

Joni terus saja meyakinkanku. Pengalaman kamping di gunung menurutnya bakalan seru. Soalnya kami belum pernah melakukannya. Akhirnya aku pun luluh. Diam-diam kami pergi hanya berdua ke sana. Sempat beberapa kali Ibu menelepon, tetapi kuabaikan. 

“Emangnya kamu tadi lihat apa sampai ketakutan gitu? Kan, aku jadi ikutan takut,” ujarku dengan napas masih tersengal.

“Tadi ada bayangan orang tinggi sekali mendekatimu. Aku belum sempat melihat wajahnya. Takut,” timpal Joni menjelaskan dengan nada cemas.

“Ya, sudah nanti malam kita langsung pergi kamping saja. Tak usah berlama-lama di sini. Ngeri.” Sambungnya. Mata Joni tampak selalu menyapu ke segala arah. Sepertinya dia masih khawatir dengan sesosok hitam yang dilihat tadi. 

Aku mengangguk, lalu mencari minuman yang kami beli saat perjalanan kemari. Pandanganku tak menemukan keresek yang berisi beberapa botol minuman. Gestur tubuhku mengisyaratkan pertanyaan kepada Joni. Namun, Joni tak merespons. 

“Jon. Joni! Kamu tahu minuman kemarin?” tanyaku untuk memastikan sembari mendekatinya.

Joni bergeming. Wajahnya pun tanpa ekspresi. Pandangannya kosong. Ada apa dengan Joni? Sangat berbeda dengan lima menit yang lalu. Bagaimana ini? Tubuh Joni kaku. Terbukti aku tak sanggup menggoyangkannya dengan mudah. 

“Joni!” pekikku di samping telinga Joni.

Untungnya, Joni segera sadar. Tiba-tiba dia seperti orang yang terkejut dan napasnya tersengal-sengal. 

“Syukurlah, Jon. Kamu sadar juga.” Aku mengelus dada pelan.

“Ayo, kita keluar dari sini sekarang, Rumi. Penunggu di sini marah sekali. Bisa-bisa kita tak bisa pulang kalau telat. Ayok.” Joni menyambar ransel hitam miliknya, lalu pergi meninggalkanku yang masih memaku.

“Tapi, Jon ini sudah sore. Bentar lagi gelap.” 

“Udah jangan tapi-tapi. Ikuti saja aku.” Tanpa memandangku Joni terus saja berjalan. 

Spontan aku juga mengekor Joni. Tak mungkin sendirian di rumah Nenek. Aku tak tahu Joni ketempelan apa. Yang jelas kata-katanya sepertinya meyakinkan.

***

“Sebenarnya kita mau ke mana, sih, Jon?” Sepertinya sejak keluar dari rumah Nenek, aku dan Joni melewati jalan yang sama melulu. 

“Ikuti saja,” titah Joni sembari mengemudi motornya.

“Soalnya sejak tadi kita sudah beberapa kali melewati jalan ini.” Hari mulai malam. Lengang. Hanya suara mesin motor kami dan suara jangkrik yang bersahutan. Aku yang duduk di belakang Joni lama kelamaan ngeri sendiri. 

“Jon,” lirihku.

“Apa, sih nyowel-nyowel?” tanya Joni tanpa memalingkan muka ke belakang.

“Kamu ngerasa mencium bau wangi-wangi?” 

Tak ada sahutan dari Joni. Suasana makin hening dan mengerikan. Rasanya tak ada satu pun penerangan. Gelap, gelap, dan makin gelap. 

“Rumi! Rumi!” Lamat-lamat suara Joni memasuki ruang dengar.

Mataku berat sekali. Namun, pelan-pelan akhirnya bisa terbuka juga. Tubuhku terasa remuk seperti usai dipukuli oleh warga sekampung. Aku meringis. Sakit, pegal, pedih jadi satu. Meski mata sudah terbuka, tetapi mulut belum sanggup berkata dalam waktu sepuluh menit.

“Kamu baik, Rumi?” Kini nada Joni sudah tak setinggi tadi. Dia sudah lebih tenang dari sebelumnya. 

“Kita masih di rumah Nenek?” tanyaku penasaran.

Baca juga: Cerita Horor Mengerikan dengan Judul Setelah 40 Hari Kematian

“Iya, masih. Kamu tadi ke mana aja? Aku cariin ke mana-mana enggak ketemu. Ternyata kamu tertidur di bawah pohon pisang belakang rumah. Padahal sudah dua kali sebelumnya aku lewat situ, kamu enggak ada.” Joni menjelaskan sedemikian rupa peristiwa aku hilang.

“Kita pulang saja, yok.” Aku merengek kepada Joni.

“Kita enggak jadi kamping?” Wajah Joni terlukis suatu kekecewaan.

“Enggak usah. Ngeri sepertinya di sini,” timpalku seraya beranjak. Tubuh dan energiku mulai pulih. 

“Padahal aku sudah berhasil melarikan diri dari Ibu.” Dengan penuh keterpaksaan, Joni mengikuti saranku. 

Kali ini kami berdua betul-betul menyusun kembali barang-barang kami. Aku tak mau lebih lama dan lebih mendalam lagi di sini. Bagaimana nasib sekolah kami, jika kami tak bisa pulang? Kami yang masih kelas sembilan ini tinggal menunggu kelulusan saja. Harapan orang tua kepada kami pasti besar sekali. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com