Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 5)

Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 5)


Assalamualaikum. Salam sejahtera untuk semua teman-teman. Selamat datang di Coretan Karya oleh Zahra Wardah. Selamat menikmati dan semoga harimu menyenangkan. Aamiin. Kali ini kami mempersembahkan kembali cerita bersambung Mas Duda Mendua? Bab 5. Siapa yang sudah tak sabar melanjutkan cerita Mas Duda? Hahaha.

 Untuk info sedikit teman-teman juga bisa meluncur ke youtube: Cerita Keren untuk menikmati cerita-cerita di sini. Cari saja di kolom pencarian youtube Cerita Keren. Bagi teman-teman penulis ada kabar gembira ini. Jika karyanya berkenan direview dan masuk ke blog ini, silakan langsung saja hubungi Zahra Wardah. Gratis. Terima kasih semuanya.

****


Bab 5: Oleng


“Iya sebentar!” Aku berlalu setelah sedikit ekspresi mengendus Ibu dan menemui Indah.

Aku membuka pintu setelah sampai di depan kamar. Namun, Indah tak ada di sana. Baru saja terdengar suaranya, tetapi sesampai di sini dia sudah lenyap.

“Ndah. Indah.” Aku berjalan ke sudut kamar sebelah kanan dengan sedikit mengendap. Nihil. Tak ada balasan dari Indah.

Sejenak saat aku hendak keluar kamar lagi, sosok Indah dengan wajah yang datar tiba-tiba berada di hadapanku.

“Kamu ngagetin aja. Dari mana tadi?”

“Dari tadi aku di sini, Mila.” Indah melewatiku menuju meja tempat laptopku berada.

Ada apa ini? Kenapa dengan diriku? Kenapa Indah sebesar itu tak masuk dalam penglihatanku tadi? Atau umurku yang sudah tak muda? Tidak. Aku masih muda. Dengan otak yang mulai terjejali pertanyaan-pertanyaan, aku mengabaikan Indah. Lemari cokelat di samping nakas tujuanku.

“Ini laptopnya. Passwordnya seperti biasa.”

Memberi kata sandi termasuk caraku melindungi laptop. Meski selengekan, aku termasuk teliti dalam hal barang-barang yang kudapat dari hasil jerih payahku sendiri. Termasuk laptop adalah hasil dari menabung sejak SMP.

“Baiklah, terima kasih. Ngomong-ngomong kamu baik, Mil?” Indah menatapku dalam. Jelas sekali ada kekhawatiran di dalam sana. 

“Iya, aku baik. Tapi ... ah, sudahlah.”

“Tapi kenapa?” 

“Enggak pa-pa. Ya, sudah kamu nonton aja biar cepat pulang juga dari sini,” elakku. 

Indah manggut-manggut, lalu berkata, “Oh, ya Ibumu mau kemana? Sepertinya tadi aku lihat dandan rapi gitu. Tumben.”

“Itulah yang menjadi pikiranku sejak tadi. Malam ini sepertinya Ibu aneh. Sekarang malam minggu lagi. Atau ....”

“Kamu mau punya bapak baru?” sela Indah cepat tanpa dipikir terlebih dahulu. Seketika wajahnya tampak cerah. 

“Ekspresi macam apa itu? Aku belum siap punya bapak tiri.” 

Sampai saat ini aku tak pernah membayangkan tiba-tiba ada seseorang masuk dalam keluarga kami. Mungkin, aku akan minggat dari rumah ini. Lagian Ibu sudah tak muda lagi. Untuk apa coba menikah lagi? Pusing. Indah hanya senyum meledek, lalu fokus kembali dengan tontonannya. 

Malam ini Indah bermalam di rumah. Sebab, dia sudah berencana akan menamatkan satu judul film. Sebenarnya aku sudah menyuruhnya untuk membawa file film-filmku. Namun, dia tak mau. Dia tak mau di laptopnya ada banyak film. Lebih baik menonton film dari laptopku. Sungguh menyebalkan bukan? 

***

Jarum jam pendek sudah menuju angka dua belas. Lampu kamar sudah aku matikan kecuali lampu tidur. Meski begitu, Indah masih melanjutkan aktivitasnya. Kalau kata orang mungkin dia mau balas dendam setelah kemarin belajar untuk ujian kelulusan. Sementara aku, masih dengan mata yang terbuka lebar. Tak bisa kupejamkan. Di kepalaku masih bertanya-tanya tentang Ibu. Sejenak kemudian, terdengar suara pintu terbuka. 

“Mil, ibumu sudah pulang kayaknya.” Suara Indah sedikit berbisik. Dalam keadaan fokus menonton pun dia bisa dengar suara pintu terbuka. Bukan karena letak kamarku dekat dengan pintu masuk, melainkan karena suasana malam yang begitu hening.

“Iya sepertinya. Kamu sudah selesai nontonnya?”

Indah menggeleng, menatapku kemudian pandangannya ke laptop lagi. Aku penasaran, lantas keluar kamar untuk memastikan kedatangan Ibu. Ternyata benar. Ibu sudah berada di depan kamarnya membawa seikat bunga. Ibu tak menyadari keberadaanku. Senyumnya tampak jelas, lalu masuk ke kamarnya.

Aku terpaku, mengkhayalkan kegiatan Ibu pada malam Minggu ini. Sampai tak sempat menyapanya tadi. Aku biarkan beliau menikmati waktunya. Lagian sudah tengah malam juga. Saat berbalik, aku menabrak pintu tanpa sengaja yang menimbulkan suara. 

“Aduh.” Tanganku menyentuh dahi sembari meringis. 

“Mila. Sejak kapan kamu di situ. Kamu baik?” tanya Ibu dengan cepat, setelah keluar dari kamarnya.

“Ya ampun, dahimu benjol,” sambungnya.

Ibu pergi menuju dapur. Tak berapa lama, Ibu kembali lagi membawa air hangat dengan handuk kecil. Tanpa izinku, Ibu segera mengompres benjolan yang muncul di dahiku.

“Bu, boleh aku tanya sesuatu?” tanyaku dengan nada hati-hati.

“Boleh, dong.” 

Bukannya langsung bertanya, justru aku berniat untuk menunda mengeluarkan pertanyaan itu. 

“Emangnya mau tanya apa?” 

“Ibu mau menikah lagi?” 

Spontan Ibu tertawa terbahak-bahak. Mulutnya terbuka lebar sekali. Mungkin, kalau ada nyamuk sepuluh lewat masuk semua itu ke dalam terowongan gelap itu. 

“Jika Ibu akan menikah. Tentunya atas izinmu dahulu.” Ibu mencolek hidung pesekku. 

“Lagian kenapa jam segini belum tidur, sih. Ya, sudah pergi tidur sana. Besok juga kempes ini.” Ibu membereskan, kemudian mengembalikan semua barang yang tadi di bawa dari dapur.

“Iya, Bu.”

Aku menuruti titah Ibu, masuk ke kamar lagi. Padahal sebenarnya masih ada pertanyaan untuk Ibu, tetapi aku memilih untuk menyimpannya terlebih dahulu.

***

“Selamat pagi anak-anak gadis Ibu.” Ibu menyambut kami dengan senyumannya yang manis.

“Ibu masak apa ini? Pagi-pagi harumnya menggugah selera aja.” 

Indah menuju kursi meja makan. Aku tak tahan lagi dan berkata, “Sebenarnya Ibu tadi malam ke mana, sih? Tumben pagi-pagi gini cerah sekali. Biasanya sudah cerewet dan nyuruh untuk bersih-bersih dulu.” 

“Kamu ini. Ibu sedih salah. Ibu bahagia salah. Tadi malam Ibu beli bunga untuk hiasan di meja ruang tamu. Oh, ya mampir juga ke tetengga.”

Ibu pun bergabung dengan kami di meja makan karena sarapan sudah terhidang semua di meja. Kata terakhir Ibu barusan membuatku bertanya lagi.

“Tetangga siapa, Bu?” 

“Ih, Mila. Kamu kayak detektif saja. Banyak tanya. Makan aja, yok aku sudah lapar. Iya, kan, Bu?”

“Iya, Ibu ke tetengga baru kita. Ya, sudah ayok cepat makan. Setelah itu jangan lupa bersih-bersih, ya.”

Dengan terpaksa dan memendam pertanyaan lagi, aku memakan nasi goreng buatan Ibu. Lambat-lambat aku memakannya dengan tatapan kosong.

“Kamu enggak pa-pa, Mil?” Indah menyenggol sikuku. 

“Eh, iya enggak pa-pa, kok.” 

Baca juga: Cerita Horor Pendek Seram yang Berjudul Kerasukan

Aku menghabiskan nasi di piring paling terakhir. Sementara, Ibu dan Indah sudah lebih dahulu. Indah ke kamar lagi, sedangkan Ibu ke depan rumah. Ketika aku mencuci piring, terdengar suara Mas Juki di depan. Dengan mempercepat pekerjaanku berharap bisa menyaksikan Mas Juki di depan. Sayangnya, piring yang tadi aku cuci justru jatuh mengenai kaki. Suara pecahnya pun menggema. 

“Mila! Kenapa?” teriak Ibu seraya berlari menemuiku. Tidak hanya Ibu, ternyata Mas Juki pun ikut di belakang Ibu.

“Dek Mila enggak pa-pa?” tanyanya dengan wajah khawatir.

Aku menggeleng pelan dan meringis. Kakiku perih. Darah segar keluar dari kaki. Ya, ampun kenapa dengan aku ini? Jadi, malu.

“Sini, biar saya bantu.”

Tangan kekar Mas Juki seketika meraih tubuhku, membopong. Tolong kerja samanya, ya, jantung. Kini wajah Mas Juki tampak jelas sekali. Hidung mancungnya jadi pusat pandanganku. Si duda duren tepat di mataku. Kenapa aku harus jatuh hati dengan duda, sih? Ah, bodoh amat. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com