Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Contoh Cerita Bersambung yang Berjudul Mas Duda Mendua? (Bab 1)


Mas Duda Mendua (Bab 1)


Assalamualaikum, salam sejahtera buat semua. Selamat datang di Coretan Karya. Kali ini Zahra Wardah akan mempersembahkan cerita bersambung baru yang berjudul Mas Duda Mendua? InsyaAllah setiap hari Ahad dan Rabu Coretan Karya selalu update karya. Entah itu Cerpen, Puisi, Review Buku, Cerbung, atau Cernak. Makanya pantengin terus, ya. Jangan lupa share, ya. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan.

****


Bab 1: Tetangga Baru


“Bolos lagi? Jam segini sudah pulang?” Seperti biasa Ibu menodong pertanyaan yang sama lagi saat aku baru pulang sekolah.

“Sekarang sudah hari bebas, Bu. Tinggal nunggu perpisahan aja.”

“Betul itu, Indah?” tanyanya lagi kepada sahabat satu-satunya yang juga baru masuk mengekorku.

“Iya, Bu. Sekarang hari tenang. Jadi, kami santai. Kalau hari biasa mana mungkin saya berani melarikan diri dari sekolah.” Indah melirikku dengan menjulurkan lidahnya.

Indah memang anak yang polos dan rajin. Berbanding terbalik denganku. Namun, kadang-kadang perkataannya terasa seperti cabai. Pedas. Seperti kalimat terakhir yang keluar dari mulut Indah barusan. Fakta bahwa aku kerap kali bolos sekolah dibuat sebagai sindiran yang nyelekit. Meski begitu, hanya Indah yang mampu bertahan akan kelakuanku ini.

“Ya, sudah kalau begitu. Jangan lupa ganti baju, cuci tangan, cuci kaki.” Ibu melanjutkan beres-beres kamarnya. Padahal semingggu sekali juga ada Mbak yang bantuin pekerjaan rumah, tetapi masalah kebersihan kamarnya dia tak percaya dengan pekerjaan orang lain. 

“Baik, Bu,” Indah membalas ucapan Ibu, sedangkan aku lewat begitu saja menuju tempat semadiku, kamar. 

“Jangan lupa nanti makan siang!” Walaupun kamarku tak berdekatan dengan kamar Ibu, suara beliau masih bisa memasuki ruang dengarku. 

“Iya, Bu!” Indah yang sudah di dalam kamarku juga membalas dengan berteriak.

“Berisik tahu.”

“Lagian kamu. Orang tua bicara kita sebagai anak harus mendengarkan dan menjawabnya. Bukannya malah diam saja.”

Aku mendengkus, kesal. Bagaimana tidak? Coba bayangkan jika setiap hari kamu harus diomeli oleh dua wanita cerewet; Ibu dan sahabat sendiri. Stres bukan? Untung saja sayang, kalau tidak aku sudah minggat dari dunia ini. Sebab, dalam hidupku mereka juga yang mengerti dan menyayangiku. 

“Iya, iya. Lagian kita ke sini, kan, mau nonton drakor. Kenapa harus ada nasihat pendahuluannya, sih,” cerocosku sembari membuka laptop di meja belajar. 

“Kita mau nonton yang mana ini?” sambungku. Pasti di antara banyak film Korea di laptopku, sebagian besar Indah belum pernah menontonnya. Dia, kan, anak rajin suka belajar. Sangat kontras denganku yang kerjanya malas-malasan dan juara menamatkan film Korea terbaru. Jadi, kali ini aku hanya menemaninya menonton. 

Indah tampak memilih-milih judul yang akan ditontonnya. “Kok, kayaknya ini filmnya action semua? Enggak ada yang romantis gitu?” 

“Enggak ada. Aku enggak suka yang model gitu.”

Dengan terpaksa Indah memutuskan satu judul yang menurutnya masih berbau romantis. Baru beberapa menit kami menonton, mulutku terasa ada yang kurang. Camilan. Iya, saat menonton tak afdal tanpa kudapan. 

“Aku ke toko sebelah dulu, ya. Beli kuaci. Kamu lanjutkan saja nontonnya.” Aku menyambar kardigan yang tergantung, lantas segera meninggalkan Indah yang sepertinya masih fokus dengan tontonannya.

***

“Woi! Apa-apaan, sih. Kalau punya mata itu dipakai, dong! Tidak hanya menempel tanpa ada manfaatnya.” 

Baru beberapa langkah dari rumah tiba-tiba sepeda motor kencang melewati jalanan lubang yang berisi air. Tepat di sampingku. Rok dan seragam yang belum sempat kuganti pun menjadi sasaran air keruh itu. Sial. Sejenak motor itu balik arah mendekatiku.

“Maaf, Dek. Saya buru-buru jadi tadi enggak tahu ada lubang di situ.” Lelaki pengendara motor itu membuka helmnya. Kulitnya bersih, alisnya tebal. Makhluk mana ini sungguh indah? 

Mulutku terbuka. Hampir saja aku memakinya. Namun, begitu helm itu terbuka, tampak wajah tampan seseorang. Hatiku meleleh. Jantungku   rasanya mau copot, berdetak tak karuan. Aku terpaku dengan manggut-manggut pelan, menyaksikan punggung lelaki itu sampai menghilang dari pandangan. 

“Siapa orang itu? Sepertinya aku baru melihatnya. Atau tetangga baru itu, ya? Aku harus mencari tahu. Oh, iya Ibu mungkin tahu,” lirihku sembari melanjutkan langkahku dengan cepat setelah tersadar dari lamunan. Mendadak ingin segera bertemu Ibu di rumah.

Satu kantong kudapan sudah kudapat dari warung tetangga. Tak sampai puluhan menit aku sudah sampai kembali di rumah dengan berjalan kaki. Namun, kali ini aku setengah berlari saat pulang.

“Buk! Buk!” Aku mencari Ibu ke seluruh sudut rumah. 

“Apaan, sih, Mila? Enggak tahu apa Ibu lagi beres-beres kamar.” Ibu menyembulkan kepala dari balik pintu kamarnya.

“Lagian dari tadi belum siap juga bersih-bersihnya.” 

“Eh, Bu tadi aku jumpa lelaki ganteng, Bu. Apa dia tetangga baru kita itu, ya?” lanjutku.

“Emmm ... tetangga baru itu, sih, lumayan menurut Ibu. Tapi ....” Ibu tak melanjutkan ucapannya. Dia tampak berpikir sejenak.

“Kenapa emang, Bu?”

“Enggak. Enggak kenapa-napa. Kamu sudah makan?” Ibu mengalihkan pembicaraan. Aku makin penasaran.

Aku mendekati Ibu, memeluknya dari belakang manja. 

“Apaan ini. Enggak lihat apa Ibu masih nyapu.” Ibu mencoba melepaskan pelukanku. Akan tetapi, tenagaku lebih kuat daripada beliau. 

Meski Ibu memarahiku, tetap saja aku makin melekap. “Tapi apa, Bu? Aku penasaran dengan tetangga baru kita itu,” rengekku seraya mengurai pelukan.

“Kayak anak kecil saja kamu ini. Tapi dia juragan kambing. Takut kalau dekat-dekat. Takut bau kambingnya menguar,” jelas Ibu. 

Seketika aku tergelak-gelak sampai terbatuk-batuk.

“Kamu ini dibilangin, kok, malah ketawa,” imbuh Ibu.

Aku berusaha meredakan tawaku. Meski pernapasan belum normal, tetapi aku mencoba diam sebentar. Udara di sekitar kuraup sebanyak-banyaknya, lantas mengeluarkannya perlahan. 

“Ibu, sih, lucu banget. Juragan kambing emangnya enggak mandi sampai bau kambingnya. Kan, enggak, kan? Lagian kata Ibu dia itu juragannya. Pasti yang banyak di lapangan itu karyawan-karyawannya. Juragan biasanya hanya mengecek doang kalau di lapangan.”

“Bukan begitu maksud Ibu, Mil. Ah, sudahlah, ngomong denganmu malah bikin darah Ibu naik. Sudah sana, Ibu mau lanjutin kerjaan. Jangan ganggu.”

Meski kami anak dan ibu, tetapi jarang sekali kami sependapat. Tak ayal jika kami sering bertengkar. Kerap Ibu yang selalu mengalah. Aku sadar itu. Aku sayang Ibu. 

“Ada apa, Mil? Tadi aku dengar kamu tertawa keras.” Indah berkata tanpa memandangku ketika aku baru saja masuk kamar. 

Antusias aku menceritakan kejadian barusan. Spontan tawaku lepas lagi. Sementara itu, respons Indah hanya datar dan berkata, “Oh.” Menyebalkan bukan wanita seperti itu? Sudahlah, lupakan Indah yang jiwa dan raganya tak seindah namanya itu. 

“Mana camilannya?” 

Baca juga: Contoh Teks Cerpen Singkat yang Berjudul Roti Tawar Selai Cokelat

“Ini. Aku beli kuaci dan kacang atom.” Aku menyodorkan keresek dari warung tadi. Beberapa detik kemudian, Indah tiba-tiba terisak-isak. 

“Weh! Kamu kenapa nangis? Jangan gini, ah. Nanti aku dimarahin ibuku lagi.” 

“Itu.”

Dia menunjuk ke laptopku. Pantas. Ternyata dia sedang menonton adegan drama si cowok sekarat, sedangkan ceweknya menangis tersedu. 

“Dasar. Gitu aja nangis. Kemarin aku enggak sampai nangis lihat ini,” ejekku.

“Jelaslah. Kamu raga cewek, tapi jiwa cowok.” Sempat-sempatnya dia menjawabku di tengah tangis pecah itu. 

“Kamu aja yang lemah. Jangan mentang-mentang kita cewek, terus kita lemah, dong.”

Kami melanjutkan menonton film Korea itu dengan kondisi tenang. Indah sudah selesai menangisi film itu. 

“Mil. Mila kamu kenapa?”

***


BERSAMBUNG


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com