Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerbung: Wanita Malam dari Desa (Bab 1)

Wanita Malam dari Desa


Bab 1 : Pergi ke Kota

    Dengan berbekal satu ransel usang yang berisi pakaian, aku memberanikan diri untuk pergi ke kota sendirian. Ini pertama kali perjalanan terjauh yang kualami. Perjalanan hampir empat jam menggunakan mobil travel. Sampai di kota kondisiku yang lelah tak menyurutkan semangatku mencari Aisyah, anakku. Baru beberapa langkah dari halte setelah turun dari bus, penglihatanku menangkap sosok yang kukenal sangat.

    “Aku mau bertemu anakku. Di mana dia?” tanyaku setengah membentak. 

    Bukannya menjawab dia justru tersenyum kecut. Kondisinya seperti baru saja menegak minuman haram. Bau. Matanya memindai dari atas sampai bawah tubuhku penuh arti. Aku yakin hal yang dipikirkan suatu hal yang menjijikkan dan mengerikan. Aku paham betul orang di hadapan ini. Mas Tejo, mantan suamiku. Sudah hampir sepuluh tahun kami bersama.

    “Tubuhmu masih bagus juga, Yati. Yok, ikut aku. Kamu bisa dapat uang banyak dari tubuhmu.”

    Mas Tejo tergelak-gelak. Tangannya hampir menyentuh daguku, tetapi segera kutangkis. 

    “Aku pergi ke sini mencari Aisyah, Mas. Kamu sembunyikan di mana dia?” 

    Aku semakin berang, melihat respons Mas Tejo. Dia mengajak ke suatu tempat. Sebenarnya aku sudah muak dengan Mas Tejo. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain selain hanya mengikutinya. Mana tahu aku akan segera bertemu dengan Asiyah. Lagi pula perjalanan panjang yang baru kutempuh membuat anganku terbang, sebentar lagi akan istirahat. Setidaknya nanti bisa duduk dengan nyaman jika ikut dengan Mas Tejo.

    “Kita mau ke mana ini, Mas?” 

    Mas Tejo membawaku ke suatu tempat yang membuatku bergidik. Ngeri. Sebuah gedung lantai dua dengan beberapa pintu seperti model indekos. Di sana aku melihat wanita berbusana minim dengan para lelaki-lelaki setengah mabuk melintas. Ada lagi om-om tua yang berpapasan denganku, mengedipkan satu matanya. Aku pun menggeleng sendiri. Tempat macam apa ini? Apakah Aisyah ada di sini?

    “Kamu tunggu di sini dulu,” perintah Mas Tejo saat di depan pintu berwarna hijau. Tadi aku mengamati setiap pintu yang kulewati berwarna cokelat semua kecuali pintu satu ini. Mungkin ini ruangan khusus. Berbeda dengan kamar-kamar yang lain.

    Aku mengangguk pelan sembari memandangi ke seluruh area. Ada rasa takut menyusup. Tiba-tiba seorang wanita berbusana minim juga seperti yang kulihat pertama tadi menghampiriku. Kali ini bibirnya merah sekali dengan make up yang menuurtku tebal sekali.

    “Anak baru, ya?” tanyanya seraya berlalu meninggalku yang memaku.

    Aku mengernyitkan dahi, mencerna pertanyaan wanita barusan. Untung saja Mas Tejo segera keluar, setidaknya aku tidak sendiri di luar.

    “Ayok, masuk.”

    Mas Tejo membawaku masuk ke ruangan itu. Pelan-pelan langkahku mengekor Mas Tejo. Ruangannya tampak gelap dengan cat dinding berwarna serba hitam. Aku semakin ngeri saja. Ternyata di sana sudah ada orang yang duduk di kursi dengan rokok yang masih mengepul dari mulutnya.

    “Halo, Yati. Tejo sudah bercerita banyak tentangmu. Oh, ya, silakan duduk. Sampai lupa. Hahaha.” 

    Aku mengikuti perintahnya. Aku duduk di hadapannya dipisah oleh meja berbentuk persegi panjang. Sementara itu, Mas Tejo duduk di sebelahku.

    “Kenalkan aku Tohir.” 

    Lelaki bertubuh gempal itu mengulurkan tangannya, tetapi aku tidak menyambutnya dan memilih diam. Mas Tejo menyenggol tanganku seraya berisyarat supaya cepat menyalami lelaki yang bernama Tohir itu. Sebenarnya aku ragu. Namun, ya, sudah. Aku terpaksa bersalaman dengan Pak Tohir. Genggamannya erat sekali sampai aku kesulitan melepaskan tanganku.

    “Lembut juga tanganmu.” Pak Tohir mencium tanganku, ujungnya saja karena segera kutarik kembali. 

    “Baiklah aku tahu pasti kamu lelah. Kamu bisa tinggal di kamar 222. Tolong antarkan dia, ya, Tejo. Awas jangan sampai ada apa-apa dengan Yati,” sambung Pak Tohir sembari menghabiskan sisa rokok di mejanya.

    “Baik, Pak.” 

    Mas Tejo pun mengantarku sesuai perintah Pak Tohir tadi. “Sementara kamu tinggal di sini dulu. Kamu enggak tahu mau tinggal di mana, kan? Nanti aku akan pertemukan kamu dengan Aisyah.”

    “Kamu tenang saja Aisyah baik-baik, kok,” lanjut Mas Tejo seakan tahu isi kepalaku sebelum meninggalkanku sendiri di kamar itu.

***

    Selepas salat Isya, perutku terasa keroncongan. Cacing-cacing sudah berdemo sejak pagi belum ada nasi yang masuk sedikit pun. Aku mau tersadar. Mukena berwarna putih lusuh kutanggalkan. Kuraih kardigan dan dompet merah muda yang tergeletak di atas kasur tipis yang menempel di lantai kamar ini. Pelan-pelan aku mengendap-endap keluar. Aku masih belum nyaman dengan keadaan di sekitar sini. Baru beberapa langkah, terdengar suara memanggil namaku.

    “Ada apa, Mas?” tanyaku setelah menoleh ke asal suara. 

    “Ini, Bos Tohir memanggilmu.” Mas Tejo menyuruhku masuk ke ruangan tadi sore milik Pak Tohir yang kebetulan dekat dengan kamarku.

    “Mau ngapa? Aku lapar mau nyari makanan sekitar sini.” Sebenarnya aku masih bisa menahan rasa lapar. Aku hanya malas berhadapan lagi dengan lelaki perokok tadi. 

    “Sudah masuk saja ke sana dulu.”

    Sebagai orang yang telah diberi tempat untuk berteduh, rasa berhutangku akhirnya sukses membuatku mengikuti titah Mas Tejo. Aku pun berbalik arah ke ruangan Pak Tohir. Seusai mengetuk, terdengar suara bas Pak Tohir mempersilakan masuk. Langkahku masih sama seperti pertama kali masuk ke ruangan ini. Pelan dan ragu.

    “Sudah makan malam?” tanya Pak Tohir lengkap dengan khasnya kedipan jijik itu. 

    “Ada perlu apa Bapak memanggil saya ke sini?” 

    Aku bersikap ketus, berharap bisa cepat beringsut dari kamar yang mengerikan ini. 

    “Jadi cewek jangan cuek begitu, dong, Yati. Ini ada sesuatu untukmu. Aku mau besok malam jam delapan kamu pakai. Jangan lupa dandan yang cantik, oke.” Suara tawanya memenuhi ruangan serba hitam ini. Suasana makin ngeri.

    “Bawalah dan istirahat yang cuku. Biar segar kembali staminamu.” 

    Pak Tohir menyuruhku keluar dengan kotak yang diberikan. Entah apa isinya? Aku tak menghiraukannya. Yang ada di pikiranku sekarang adalah lekas keluar dan mengisi perut yang sudah tertunda. Sebelum aku mencari makanan, aku memasukkan barang yang diberi oleh Pak Tohir tadi ke kamarku terlebih dahulu.

    Aku tak tahu daerah sini. Aku hanya terus berjalan mencari warung makan yang buka. Untungnya hanya berjarak beberapa gedung saja aku menemukan warung makanan. Akhirnya sebentar lagi perutku akan terisi. Alhamdulillah.

    “Mas, nasi goreng satu, ya,” ucapku setelah sampai di warung sederhana pinggir jalan itu.

    “Oke. Pakai cinta enggak, Mbak?”

    Aku pun bengong, “Apa?” 

    Mas penjual itu hanya tergelak-gelak. “Mbaknya ini kaku banget, ya. Saya, kan, bercanda Mbak. Jangan dimasukkan hati. Masukkan saja ke jantung. Ngomong-ngomong orang baru di sini, ya?” tanyanya.

Baca juga: Oh, Ningsih

    “Iya, Mas. Aku tinggal di kos-kosan Pak Tohir,” jelasku.

    “Beneran, Mbak? Mbak tahu siapa juragan Tohir itu?” 

    Yang awalnya bergurau, kini raut wajah lawan bicaraku itu berubah menjadi serius. 

    “Emang siapa dia, Mas?”

***


BERSAMBUNG


Karya: Zahra Wardah

Sumber gambar: pixabay.com