Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerbung: Wanita Malam dari Desa (Bab 2)

Cerbung: Wanita Malam dari Desa (Bab 2)


Bab 2: Bertemu Lelaki Tampan


“Dia kan muncikari. Hati-hati saja Mbak kalau,” bisik Mas Tresno di dekat telingaku.

“Muncikari itu apa, ya, Mas?” tanyaku polos.

“Muncikari itu germo. Kebanyakan yang kos di sana, ya wanita-wanita malamnya.” 

Panjang lebar penjelasan Mas Tresno sukses membuatku termangu. Otakku memutar memori tadi sore kala pertama kali bertemu Mas Tejo. Satu kalimat Mas Tejo yang tiba-tiba menyembul di pikiran ‘uang di depan mata’. Aku tersadar bahwa aku hendak dijual olehnya. Bagaimana ini? Sejak kecil aku diajarkan oleh almarhum Bapak bahwa perbuatan mendekati zina itu dosa besar, apalagi zina itu sendiri.

“Mbak! Mbak!” Mas Tresno menggoyangkan tangannya di depan wajahku.

“Oh, ya, Mas. Ada apa?” Aku terkesiap, canggung.

“Ini pesanannya sudah selesai.”

Mas Tresno memberikan satu plastik yang berisi pesananku setelah aku memberikan uang sepuluh ribu satu lembar dan dua ribu selembar. 

Aku segera pamit. Baru beberapa langkah dari warung makan, aku tertabrak. 

“Maaf, saya tidak fokus tadi jalannya,” ucapku sembari meringis kesakitan.

“Saya yang seharusnya minta maaf. Mbak enggak pa-pa?” 

Lelaki itu tampak khawatir. Jelas aku melihat raut wajahnya. Tampan sekali. Hidungnya mancung. Kulit putih. Ya, Allah sungguh indah karyamu satu ini. 

“Mbaknya enggak pa-pa?”

“Eh, iya enggak pa-pa.” Dengan kaki sedikit sakit, aku memaksakan diri untuk berdiri. Lantas, berlalu meninggalkan lelaki ganteng tadi.

“Hati-hati, Mbak!”

Aku mendengar suaranya sedikit teriak mungkin supaya aku mendengarnya. Sebab, aku sudah menjauh darinya. Aku hanya berbalik sebentar, lalu mengangguk pelan seraya senyum simpul sebelum melanjutkan perjalanan. 

“Sudah ganteng, perhatian lagi. Beda dengan Mas Tejo. Untungnya aku sudah cerai dengannya.” Aku bermonolog di tengah jalan. Kalau ada orang yang tahu pasti aku dikira orang gila. Ngomong sendirian sambil jalan kaki.

***

Berbeda dengan suasana saat aku keluar tadi. Indekos milik Pak Tohir, kini semakin ramai. Lalu lalang perempuan berbusana minim dan sepertinya para lelaki hidung belang. Aku terpaku sebentar melihat kondisi tersebut dari gerbang indekos. Sudah benarkah aku tinggal di sini? Apa aku kabur saja, kemudian diam-diam membuntuti Mas Tejo? Sesekali pasti dia pergi ke tempat Aisyah berada. 

“Ngapain melamun di sini?” 

Suara Mas Tejo, membuyarkan anganku. Pertanyaan-pertanyaan yang berjejal di otak segera kutepis. 

“Eh, sejak kapan Mas Tejo di sini?” Aku kikuk setelah sadar Mas Tejo tiba-tiba di hadapanku. 

“Ya, sudah aku ke kamar dulu, Mas. Jangan lupa besok pertemukan aku dengan Aisyah,” sambungku. Lantas, aku meninggalkan mantan suamiku itu. Langkah kakiku percepat. Semakin memasuki lorong menuju kamar 222, rasanya semakin ngeri saja. Di sudut lorong dengan lampu yang temaram tampak dua manusia beda jenis sedang bercumbu mesra tanpa malu. 

Sedikit lega rasanya setelah masuk ke kamar indekos ini. Pandangan tak senonoh tak ada lagi berkeliaran di hadapan. Kusandarkan sejenak tubuh ini di sudut ranjang kecil untuk kasur single. Kemudian, lekas kubuka nasi goreng yang barusan aku beli tadi. Ternyata di dalam plastik bungkus nasi goreng terdapat secarik kertas. 

“Apa ini?” 

Aku mengambil kertas putih itu. Penasaran. Kubaca pelan-pelan isinya terdapat beberapa nomor berderet dengan di bawahnya tertulis, “Kalau butuh bantuan jangan sungkan hubungi nomor saya, Mbak. Dari Tresno Ganteng”.

Entah kenapa tak sadar kedua sudut bibir ini tertarik simetris ke atas. Hatiku menghangat. Akan tetapi, setelah ingat bahwa sekarang berada di perkotaan yang aku sendiri belum tahu bagaimana sifat orang-orang di sini. Senyum simetris segera sirna. Untuk jaga-jaga nomor itu aku simpan di ponsel. Lantas, lekas kuhabiskan nasi goreng buatan Mas Tresno tadi.

***

“Mas, di mana Aisyah?” 

Aku mengikuti langkah cepat Mas Tejo. Sore ini aku berjanji bertemu di sebuah taman tak jauh dari area indekos. Tak sabar aku ingin segera bertemu putri semata wayangku.

“Kamu sabar saja. Nanti aku bawa Aisyah bertemu kamu.”

“Aku sudah cukup sabar, Mas. Semenjak Aisyah kamu bawa kabur ke kota sampai sekarang sudah sebulan aku belum bertemu dengan Aisyah.”

Aku menggoyang-goyangkan tubuh kurus Mas Tejo setelah dia menghentikan langkah. 

“Kamu di sini sudah dikasih kamar cuma-cuma oleh Bos Tohir. Setidaknya kamu ikuti dulu perintahnya. Nanti malam jangan lupa jam delapan siap-siap. Gunakan baju dari Bos Tohir. Jangan sampai mengecewakan aku. Kalau kamu macam-macam, aku pastikan kamu tak bisa lagi bertemu Aisyah.” 

Mas Tejo berlalu begitu saja meninggalkanku yang terpaku, mencerna perkataan panjang Mas Tejo barusan. Sepertinya aku memang terjebak. Andai saja ada saudara atau siapa pun yang aku kenal di sini, aku pasti akan minta bantuannya. Bantuan? Sekilas muncul bayangan pedagang nasi goreng tadi malam. Iya, Mas Tresno. Akan tetapi, aku masih ragu. Aku harus bagaimana, ya Allah? 

Tak terasa butiran bening keluar deras dari sudut mataku. Aisyah di mana kamu, Nak? Ibu kangen. Aku menangis sejadi-jadinya. Langit semakin hitam. Awan kelabu memenuhi atap bumi ini. Aku pun meninggalkan area taman, mencari tempat teduh karena gerimis sudah mulai turun. Akhirnya kuputuskan untuk berteduh di sebuah minimarket. Kebetulan tenggorokanku terasa kering. 

Aku membuka tas selempang kecil. Untungnya uang berwarna merah masih ada tiga lembar. Bekal yang aku bawa dari kampung, hasilku bekerja sebagai buruh cuci baju yang aku tabung. 

“Baiklah, kita dinginkan dulu tenggorokan.” 

Aku membuka pintu minimarket itu. Tak sengaja ada orang dari dalam yang membawa banyak belanjaan menabrakku. 

“Eh, maaf, Mbak.” 

Suara itu seperti aku kenal. Aku menolongnya untuk mengambil beberapa barang yang terjatuh. Ternyata benar. Lelaki hidung mancung tadi malam si empunya suara tadi. Beberapa detik mataku tak berkedip. Pun dia demikian. Seperti takdir yang mempertemukan kami kembali.

“Maaf. Bukannya Mbak ini yang tadi malam, ya? Sekarang gantian aku yang nabrak. Maaf, ya, Mbak.” 

Senyuman khas itu melelehkan hatiku. Jantungku tiba-tiba tak terkontrol. Kalau bisa meloncat keluar. Aduh, jangan sampai membuat malu. Aku segera tersadar.

“Oh, iya. Perkenalkan saya Yati.” Aku mengulurkan tangan.

Baca juga: Wanita Malam dari Desa (Bab 1)

“Saya Walid. Oke, saya permisi dulu, ya. Ada sesuatu yang harus saya kerjakan. Mari.” Seusai menjabat tanganku, lelaki itu mengangguk pelan. Lantas meninggalkanku tanpa menunggu balasan dariku. 

“Walid? Nama yang indah,” lirihku sembari mengumbar senyum.

Aku segera menggelengkan kepala saat sadar kembali. Beberapa minuman dan kudapan untuk persediaan aku letakkan di keranjang belanjaan. Kulihat dari kaca minimarket ini di luar hujan semakin lebat. Tak mungkin aku menerobos. Kuputuskan untuk menunggu di dalam minimarket, seraya melihat-lihat barang yang sekiranya perlu sebelum ke kasir.

Sampai sepuluh menit hujan tak juga berhenti. Justru semakin deras. Apa aku harus minta tolong Mas Tejo atau Mas ...? Oh, ya Mas Tresno. Aku bisa menghubunginya. Mana tahu nanti dia bisa membantu.

***


BERSAMBUNG


Karya: Zahra Wardah