Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Pendek tentang Kehidupan yang Berjudul Wanita Pencinta Bau Melati

Cerpen pendek yang berjudul Wanita Pencinta Bau Melati
Bunga Melati


Assalamualaikum. Halo, Teman-Teman. Selamat datang di Coretan Karya. Kali ini kami akan menyajikan sebuah cerpen singkat tengtang kehidupan dengan judul Wanita Pencinta Bau Melati. Jangan lupa share, ya. Semoga bisa diambil hikmah dari kisah cerpen ini. Selamat menikmati dan terima kasih

****

“Sudah, Nduk. Ayok, kita kembali ke rumah. Ini sudah hampir Magrib,” ajak Lena.

Dijawab dengan anggukan pelan oleh Sasa. Dia merasa masih enggan untuk meninggalkan tempat itu. Sekali lagi dia menghirup aroma bunga melati yang memenuhi taman di sana sebelum berlalu. Gadis tunanetra itu jalan pelan-pelan dibantu oleh ibunya. Dalam perjalanan pulang, setiap bau harum bunga melati menguar, Sasa berhenti sejenak. Dia meraup sebanyak mungkin aroma itu. Kalau bisa disimpan untuk cadangan dia akan menyimpannya. Sayangnya, dia hanya mampu menghirup, lalu melepaskannya. 

“Terima kasih, ya, Bu. Sudah menemaniku ke sini setiap sore.” Sasa membuka percakapan mereka di tengah perjalanan pulang.

“Sama-sama, Sayang. Tidak usah berterima kasih. Ini sudah kewajiban Ibu. Selama kamu bahagia Ibu akan lebih bahagia lagi,” balas Lena.

“Kamu masih ingat dengan almarhumah Naima, ya?” sambungnya.

Sasa menjeda langkahnya, lalu mengambil napas berat. Lantas mengiyakan dengan menganggut pelan. Tak ada satu pun kata yang bisa dia keluarkan dari mulutnya. Seolah tenggorokannya tersekat kala mendengar nama adiknya, Naima. Ada perasaan sesak di dada. Kemudian, dia segera meminta ibunya untuk mengantarnya pulang.

Walaupun Lena juga merasa kehilangan anak bungsunya beberapa bulan lalu, tetapi kali ini di lebih sakit lagi hatinya, melihat Sasa yang murung. Dia pun dengan sabar dan menahan sedihnya dengan cara mengalihkan percakapan mereka.

“Eh, Ibu tadi sudah masak makanan kesukaanmu, loh. Nanti setelah salat Magrib kita makan bersama, ya,” tawar Lena sembari tetap menggenggam tangan anak sulungnya itu. Berharap Sasa akan mengalihkan pikirannya.

“Oh, ya? Asik. Terima kasih, Bu.”

Lena pun lega, melihat Sasa kembali menyuguhkan senyumannya. Tak lama kemudian, mereka telah sampai di depan rumah sederhana bercat putih yang sudah usang. Janda berumur sekitar empat puluhan tahun itu lekas bersiap diri untuk salat Magrib terlebih dahulu. Tentunya dia juga membantu Sasa untuk bersiap diri salat berjamaah dengannya.

***

Sasa sangat menikmati ayam goreng dan sambal terasi buatan ibunya. Akan tetapi, tiba-tiba dia menjeda aktivitasnya. Penciumannya dipertajam. Hidungnya pun mengendus ke asal aroma yang membuat Sasa berhenti dari proses makannya. 

“Kenapa, Nduk?” tanya Lena yang baru saja dari kamar mengganti kerudungnya karena kerudung yang dipakai sebelumnya tak sengaja terkena sambal saat makan bersama Sasa.

“Aku mencium harum melati. Naima? Naima di sini?” 

Melihat tingkah putrinya, Lena sontak menitikkan air mata. Dia tak menyangka bahwa Sasa masih belum bisa ikhlas dengan kepergian Naima. Hatinya terasa teriris. Perih. Dia pun tak bisa mengeluarkan kata-kata, takut ketahuan oleh Sasa kalau dia sedang menangis. 

Saat mencium aroma melati, Sasa segera terkenang kepada almarhumah adiknya. Bagaimana tidak? Kejadian beberapa bulan kala itu berjalan begitu cepat. Saat Naima baru beberapa menit pamit kepada Sasa untuk pergi ke rumah temannya yang masih menyisakan aroma melati dari parfum milik Naima, Sasa mendengar seseorang ke rumahnya dengan mengabarkan bahwa Naima kecelakaan barusan. Sasa pun tak percaya sampai jenazah Naima sampai ke rumahnya. Sementara itu, aroma melati masih menguar di area penciuman Sasa. Sebab itu, Sasa sangat menyukai harum bunga melati.

Bruk!

“Ibu? Di mana Naima?” tanya Sasa setelah terjatuh dari kursinya. Tangannya meraba untuk mencari pertolongan karena tak menemukan tongkat yang biasa dipakainya.

Lena pun segera membantu Sasa untuk duduk kembali ke kursinya. Wanita itu pun melihat Sasa juga menitikkan air mata setelah sadar bahwa itu hanya harum melati seperti parfum milik Naima, sedangkan orangnya sudah meninggal. Lantas, Lena pun segera memeluk Sasa. Tak sanggup dia menutupi tangisnya. Akhirnya kedua perempuan beda generasi tersebut sama-sama menangis berpelukan.

“Maafin Ibu, Nduk. Ternyata tadi Ibu salah ambil parfum. Ternyata parfum Naima yang Ibu pakai. Kamu jadi ingat lagi, ya, sama adikmu? Ibu pun tak kalau rindu. Yok, kita bacakan fatihah saja. Kita doakan semoga di sana dia bahagia. Aamiin.” Lena berkata dengan sedikit terbata-bata seusai melepas pelukannya. 

Mereka kembali berpelukan lagi setelah membacakan surat fatihah untuk Naima. Kedua wanita itu hanya bisa saling menguatkan satu sama lain. 

***

Pagi-pagi sekali kala matahari mulai mengintip dari balik gunung yang dapat tergambar jelas dari rumah Lena, terdengar suara gemericik air dari halaman rumah itu. Sasa penasaran, lalu dengan dibantu oleh tongkatnya gadis itu melangkahkan kaki lamban ke sumber suara. 

“Ibu?” tanya Sasa sembari  mencari kursi yang biasanya berada di depan rumah dengan tongkat yang berada di tangannya.

“Iya, Nduk,” balas Lena, berhenti sebentar untuk memperhatikan putrinya. Setelah Sasa duduk dengan baik, dia pun kembali dengan kesibukannya.

“Ibu lagi ngapain? Sepertinya lagi nyiram-nyiram.  Padahal setahu Sasa, kita enggak ada tanaman di depan rumah selama ini.” Sasa penasaran dengan yang dilakukan ibunya. 

“Iya, Ibu lagi nanam bunga melati. Semoga saja kamu suka.”

Wajah Sasa langsung berbinar. Dia antusias sekali. Sampai tiba-tiba dia beranjak dari duduknya dan hendak membantu ibunya tanpa tongkat. Hal itu membuat kakinya tersandung oleh kaki kursi yang di sebelahnya dan terjatuh.

“Aduh!” pekik Sasa.

Baca juga: Contoh Teks Puisi tentang Alam dan Kehidupan

“Ya Allah, Nduk. Sudah kamu duduk saja. Jadi jatuh, kan.” Lena sontak lari menuju putrinya itu. 

“Kakimu berdarah, Nduk. Bentar Ibu ambilkan obat merah dulu ke dalam,” lanjutnya.

Sejenak kemudian, Lena keluar dengan membawa obat merah dan plester. Dia membersihkan dan mengobati lutut Sasa dengan telaten. 

“Sudah, Nduk. Kamu duduk manis saja di kursi. Biar Ibu yang bekerja, ya,” ucap Lena. 

“Iya, Bu.” Mimik Sasa memelas karena tak bisa andil menanam bunga melati itu.

Lena melanjutkan lagi pekerjaannya yang tanggung selepas memastikan Sasa baik-baik saja. Dia menanam beberapa bunga melati supaya Sasa nantinya bisa dengan leluasa menikmati aroma melati. Dia berharap aroma melati yang ditanam bisa menjadi teman sehari-hari Sasa. Meski dia tahu tak mungkin Sasa mampu menikmati keindahannya, tetap saja dia yakin Sasa sangat menikmati raksi bunga melati itu.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com