Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Contoh Teks Cerpen Singkat yang Berjudul Roti Tawar Selai Cokelat

Contoh Teks Cerpen Singkat yang Berjudul Roti Tawar Selai Cokelat


Assalamualaikum, salam sejahtera semuanya. Terima kasih sudah berkunjung di Coretan Karya. Kali ini Zahra Wardah akan menyuguhkan Contoh Teks Cerpen Singkat yang Berjudul Roti Tawar Selai Cokelat. Bagi yang hendak belajar menulis cerita fiksi kamu bisa menghubungi langsung Zahra Wardah. Kontaknya silakan cari di about us di blog ini. Terima kasih dan jangan lupa share, ya. Selamat menikmati.


****


“Bu, minta roti seperti itu,” rengek Amir kepada ibunya sembari menunjuk anak yang sedang duduk menikmati roti tawar dengan selai cokelat. 

Bukan tanpa alasan Amir meminta kepada ibunya. Sebab, adanya selai dengan rasa cokelat yang memaksanya untuk menyatakan keinginannya kepada Bu Suci. Biasanya dia hanya memendam dan memilih untuk melepaskan begitu saja saat ada hal yang diinginkannya. Anak lelaki Bu Suci itu tahu betul keadaan ekonomi keluarganya. Sebagai anak sulung, Amir pun tahu diri, tak mau menjadi beban ibunya. Berbeda lagi kala ada roti dengan selai cokelat itu. 

“Besok kalau ada uang lebih, ya. Uang Ibu sekarang sudah buat beli beras ini,” terang Bu Suci yang menenteng lima kilo beras di tangan kanannya. 

Bu Suci mempunyai tiga anak. Amir anak sulungnya yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar dan dua lagi kembar perempuan masih balita. Perempuan yang berumur sekitar tiga puluhan itu sudah menjadi janda setelah melahirkan anak kembarnya. Pak Iwan, suaminya kecelakaan saat perjalanan menuju pabrik tempat bekerja. Kini, dengan tertatih-tatih Bu Suci berjuang untuk dirinya dan anak-anaknya sendiri.

Amir pun mengerti jawaban ibunya, menganggut pelan. Lantas segera mengimbangi langkah Bu Suci yang sudah terlebih dahulu di depannya. Langkahnya sedikit dipercepat. Dia tahu ibunya pasti sudah mencemaskan adik kembarnya yang dititipkan ke tetangga sebelah rumah beberapa waktu lalu saat hendak belanja ke warung.

***

Sepulang sekolah, penglihatan Amir menangkap sepotong roti yang sudah diberi selai cokelat di dalam plastik transparan tergeletak begitu saja di sisi jalan. Tampaknya roti itu sudah dicicip sedikit oleh sang empunya, lalu dimasukkan ke dalam plastik tersebut. Tak segan anak lelaki yang masih mengenakan seragam merah putih itu mengambil plastik tersebut. Hatinya senang sekali. Amir yakin roti itu pasti sudah dibuang oleh pemiliknya, makanya dia berani memungut. 

“Wah, enak ini. Aku makan, ah,” gumamnya.

Dia lekas membuka plastik itu, lalu mengambil isinya. Perut Amir yang sudah keroncongan pun meronta-meronta, meminta haknya. Perlahan dia mengarahkan roti itu ke mulutnya. Akan tetapi, belum sampai masuk mulut, Amir mendengar suara seseorang.

“Nak, boleh saya minta rotinya buat anak saya? Anak saya belum makan.” Suara itu milik seorang wanita dengan penampilan compang-camping beserta anak yang menangis digendongannya.

Kebahagiaan Amir seketika menguap perlahan, melihat pemandangan di depan matanya. Satu sisi, dia sangat ingin roti itu. Satu sisi lagi, orang yang di hadapannya itu lebih membutuhkan darinya. Dengan terpaksa, Amir pun memberikan roti dengan selai cokelat itu kepada ibu peminta tadi. 

“Terima kasih banyak, Nak. Semoga cita-citamu tercapai. Aamiin,” syukur ibu itu, lalu undur diri meninggalkan Amir yang masih memaku di posisi semula.

“Tampaknya roti tawar selai cokelat itu belum jadi rezekiku,” ucap Amir dalam hati. 

Dia pun melanjutkan langkahnya untuk pulang ke rumah dengan lesu. Sepanjang jalan kakinya menendang apa saja yang berada di depannya. Kerikil, daun yang jatuh di tanah, dan sebagainya yang dia temui sebagai pelampiasan rasa kesalnya.

“Assalamualaikum ....” Amir mengucap salam setelah sampai di depan pintu rumahnya.

“Waalaikumussalam,” balas Bu Suci setengah teriak supaya Amir mendengarnya karena posisinya sedang di dapur. 

“Mir, Ibu tadi beli roti yang kamu minta kemarin itu ada di ruang tengah. Makanlah,” lanjutnya masih dengan aktivitas masak di dapur.

Mendengar perkataan ibunya, spontan Amir menjadi semringah. Bagaikan angin segar yang sedang ditunggu kala kepanasan. Dia pun segera menuju lokasi yang diberitahu oleh Bu Suci barusan. Sampai di ruang tengah, Amir mendapati kedua adik kembarnya, Kana dan Kani. Selain itu kegemasan mereka juga karena selai cokelat yang menempel celemotan di mulut kedua balita itu.

“Yah, rotinya tinggal sedikit. Enggak ada separo lagi,” kata Amir setelah mengecek keberadaan roti yang dimaksud ibunya dengan mimik menyedihkan.

“Sudah disyukuri. Maaf, ya. Tadi Ibu lupa menyimpan supaya jatahmu enggak dimakan oleh adikmu.” Bu Suci yang baru saja dari dapur berusaha menenangkan putra sulungnya sembari menepuk pelan punggung Amir.

“Iya, Bu. Terima kasih, ya.” 

***

“Ayo, Buk kita berangkat sekarang,” ajak Amir seusai membuka pintu mobilnya.

“Bentar. Tunggu adikmu dulu,” balas Bu Suci, lalu memanggil kedua putri kembarnya. 

“Sabar, dong, Bang. Ini Kana bawain untuk abang rotinya. Dimakan dulu. Enggak usah tergesa-gesa. Abang belum sarapan, kan?” Gadis pemilik tahi lalat di atas bibir kanan itu mendekati Amir sambil memberikan satu plastik berisi roti tawar dan selainya.

Amir mengambil napas berat. Dia tak mungkin mengelak pernyataan adik kembarnya barusan. Selepas Subuh tadi pria bertubuh tinggi itu sudah sibuk mempersiapkan acaranya hari ini, hingga melupakan sarapannya. Dia pun menyantap sarapan favoritnya itu di kursi pengemudi. 

Selang beberapa detik kemudian, Kani masuk ke dalam kuda besi milik abangnya dengan cepat. 

“Ayok, Bang. Nanti telat, loh.” Suara Kani yang menggelegar itu mengagetkan Amir.

“Ya Allah! Jadi perempuan mbok, ya, yang lembut dikit,” timpal Amir, hampir mengeluarkan makanannya yang berada di dalam mulut.

“Ups. Maaf, Bang.” Kani pun cengengesan di belakang abangnya.

Baca juga: Cerita Bersambung Wanita Malam dari Desa Bab 12 Tamat

Akhirnya Bu Suci, Kana, dan Kani menunggu Amir beberapa menit untuk menandaskan sarapannya di mobil. Selepas Amir memenuhi kebutuhan perutnya, dia lekas melajukan mobil hitam itu dengan cepat. Lelaki berdasi hitam putih itu mengejar waktu yang terus berjalan supaya tak ketinggalan dengan acaranya.

“Alhamdulillah.” Lengkungan simetris tergambar di wajah Amir seusai memarkirkan mobilnya di depan toko yang bertuliskan “Roti Amir”. 

Iya. Kini Amir dewasa sudah sukses dan sudah mempunyai beberapa cabang toko roti. Salah satunya yang sekarang di hadapannya yang hari ini hendak diresmikan olehnya. Amir menggandeng ibunya dan diikuti oleh kedua adik kembar di belakangnya memasuki gedung miliknya.

“Selamat, Pak Amir!” Suara teriakan yang seirama dari para karyawannya memenuhi ruangan tepat saat Amir dan ibunya memasuki tokonya. Satu persatu mereka menyalami Amir, Bu Suci, kemudian Kana dan Kani. 

Selepas kondisi normal kembali, Amir segera memberi pidato singkat di hadapan semua karyawannya, lalu resmi  membuka cabang toko “Roti Amir”. Sebagai tanda syukurnnya hari pertama buka dia membagikan 1.000 roti tawar gratis buat para pengunjung. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com