Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Pendek tentang Kehidupan dengan Judul Tamu Tengah Malam

Cerita Pendek tentang Kehidupan dengan Judul Tamu Tengah Malam
Malam


Angin malam kala itu sangat menggelitik, membuat badanku menggigil. Ternyata jendela kamarku masih terbuka. Aku lupa menutupnya. Tepat malam Jumat Kliwon, dan sekarang tepat setelah tujuh hari ibu meninggalkan kami. Aku dan Ayah. Iya, kami hanya berdua di sini. Kakakku sudah berkeluarga dan tinggal di desa sebelah, sedangkan aku anak bungsu yang masih tinggal bersama orang tua. Seperti biasanya aku terbangun. Jarum jam pendek di dinding di kamar menuju angka tiga. Seperti hari-hari sebelumnya, aku berniat ke kamar mandi untuk mengambil wudu. 

Setelah kepergian Ibu aku memang sering salat malam, lalu mendoakan almarhumah di sepertiga malam itu. Namun, belum sampai aku bangkit dari ranjang. Suara Ayah masuk ke pendengaranku. Tak terlalu jelas apa yang sedang diomongkan beliau. Tak sampai lima menit, terdengar suara derit pintu depan dibuka kemudian ditutup. Sejenak setelah mendengar suara pintu tertutup, derap langkah Ayah pun mulai terdengar. Langkah itu menuju ke kamar beliau.

Sebenarnya aku penasaran, siapa yang datang dini hari begini. Akan tetapi, aku membiarkan pertanyaan itu berkelindan di kepala hingga esok hari. Tak mungkin aku membesarkan egoku dengan mengusik Ayah yang hendak istirahat di kamarnya. Tidak sopan. Aku melanjutkan niatku tadi yang sempat terjeda. Langkahku menuju kamar mandi melewati kamar Ayah. Pintunya tak tertutup rapat, aku menoleh dan menajamkan penglihatan ke dalam sana. Aku menangkap sosok Ayah sudah tertidur di ranjangnya. 

***

Pagi menyapaku dengan suasana yang segar, setelah sendu meliputi kami karena kepergian Ibu. Ayah pun pagi ini bersemangat sekali. Buktinya setelah menyesap habis kopinya, beliau bergegas mengambil cangkul lantas menuju sawah. Sampai-sampai aku hendak bertanya tentang siapa yang bertamu dini malam tadi pun tak sempat. Aku sendiri sedang bersiap-siap berangkat sekolah. Rambut yang menjuntai-juntai panjang, aku kepang sendiri. Andai kata Ibu masih ada, pasti beliau yang membantuku mengepang. Kata Ibu supaya tak mengganggu saat aku belajar nanti di sekolah. 

“Kali ini aku harus bisa mandiri tanpa Ibu,” lirihku dalam hati. 

Lamat ocehan Ibu sudah pergi dari telingaku. Sentuhan lembut tangannya kini tak lagi bisa kurasakan. Sepi. Jam terasa lambat bekerja. Sepertinya sudah sejak tadi aku duduk di sisi ranjang ini. Namun, Jam masih saja di angka tujuh. Aku menuju dapur untuk menggoreng telur ayam yang tersisa di sana untuk sarapan terlebih dahulu. Samar-samar terdengar suara seseorang mengucap salam dari luar rumah. Kemudian, derap langkahnya jelas mendekatiku.

“Aisyah, kamu belum berangkat, Nduk?” tanya lelaki cinta pertamaku itu.

“Belum, Yah. Ayah kenapa pulang lagi?” 

“Ayah lupa bawa air minum. Ya, sudah nanti hati-hati sekolahnya, ya.” Beliau mengambil satu botol air putih yang telah tersedia di meja makan.

Aku mengamati sejenak tubuh kurus dan tinggi lelaki yang kusebut Ayah itu. Tubuh dengan usia yang sudah mulai lanjut itu kian ringkih. Aku berjanji setelah lulus SD nanti, aku akan bekerja keras supaya Ayah tak perlu bekerja di sawah milik orang lain. Ayah memang punya sawah, tetapi hanya sepetak. Jadi, untuk menyekolahkanku beliau bekerja di sawah orang lain juga supaya mendapat pemasukan lebih.

“Yah, tadi malam siapa yang bertamu?” tanyaku cepat setelah menyadari Ayah hendak pergi kembali ke sawah. 

“Ayah pergi dulu. Nanti jangan lupa rumahnya dikunci.”

Beliau berlalu seusai mengucapkan salam, sedangkan aku masih terpaku di posisi semula tanpa mendapat jawaban dari Ayah. Beliau memang pendengarannya sudah turun. Terbukti banyak tetangga yang menganggap beliau sombong, akibat tak menjawab sapaan mereka. Aku dengar sendiri gerutu para tetangga itu ketika tak sengaja lewat di salah satu rumah tetangga untuk pergi ke sekolah. Sedih. 

Memikirkan hal itu. Aku menjadi penasaran. Kenapa saat malam hari Ayah bisa mendengar kalau ada tamu yang datang? Sedangkan, kamarku yang terdekat dengan ruang tamu saja tak mendengar ada suara ketukan pintu rumah kala itu. Sudahlah, sepertinya kalau aku hanya melamun di sini akan terlambat sekolah. Kemudian, aku bergegas menuju sekolah setelah sarapan telur ceplok yang barusan aku masak.

***

Malam ini Ayah membuatkan nasi goreng untuk makan malam kami berdua. Beliau termasuk orang yang tak banyak bicara. Makan malam kami hening kecuali suara sendok yang beradu dengan piring di depan kami. 

“Yah, tadi malam ada tamu? Siapa? Sepertinya sudah dua malam ada tamu dini hari.” Aku mulai membuka percakapan. 

“Tamu siapa, Nduk? Enggak ada dini hari orang bertamu.”

Baca juga: Cerita Mini yang Berjudul Bu Masyiam

Aku mengerutkan alis tanda butuh informasi yang lebih lengkap lagi. 

“Terus Ayah bukain pintu depan dan ngobrol sama siapa dini hari tadi?” tanyaku lagi. 

Ayah tak menjawab pertanyaanku yang terakhir. Mungkin beliau tak mendengar pertanyaanku. Beliau justru bercerita tentang Ibu. 

“Ibumu cantik sekali saat meninggal kemarin. Cara meninggalnya sangat dirindukan oleh banyak orang. Bagaimana tidak? Beliau meninggal saat sujud terakhir pada salat Subuh.”

Tiba-tiba butiran bening membasahi pipi lelaki yang di hadapanku itu. Beliau masih tampak berduka. Bayangan Ibu masih melekat erat di kepalanya. Spontan aku beranjak dan memeluk Ayah. Kurasakan tubuhnya semakin kurus. Tangisan beliau pun menular kepadaku.

Malam harinya, aku mulai menelisik sendiri yang dilakukan Ayah. Tepat seperti dugaan. Persis seperti dua malam yang lalu. Ayah membuka pintu dan menutup lagi setelah bicara sendiri di ruang tamu. Aku memperhatikan semua gerak-gerik beliau. Aku kaget. Ternyata Ayah mengigau. Baru kali ini aku mendapati Ayah mengigau dalam tidurnya. Aku menajamkan pendengaran, berusaha mencerna igauan Ayah di ruang tamu itu. 

“Kamu jangan tinggalin aku, Yun. Tunggu aku di surga, ya. Aku akan setia kepadamu.” Setelah mengatakan itu Ayah beranjak dari duduknya dan menutup kembali pintu rumah. 

Kembali sendu menyelimutiku, melihat keadaan Ayah. Perkataan beliau itu ditujukan kepada Ibu, Yuni. Mungkin, beliau sangat rindu hingga meracau bahwa Ibu pulang ke rumah.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay