Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Bersambung Wanita Malam dari Desa (Bab 7)

Cerita Bersambung Wanita Malam dari Desa (Bab 7)

Halo, Teman-Teman. Sudah baca kisah Yati mulai awal di cerbung alias cerita bersambung yang berjudul Wanita Malam dari Desa? Sekarang sudah episode tujuh, loh. Yok, segera baca kisah menarik ini. Enjoy.

****

Bab 7: Umi Rohmah


“Iya, Mas.”

“Itu tolong bungkuskan nasi goreng ini dua bungkus untuk Mbak itu, ya.”

Mas Tresno sibuk melayani pelanggan yang makin sore makin ramai. Semua kejadian hari ini coba kutepis dahulu demi fokus bekerja. Satu per satu pelanggan pun habis. Pun dengan bahan untuk masakan hari ini lesap semua. Alhamdulillah. Aku bergegas hendak pulang.

“Yati! Sebelum pulang makan dulu. Aku lihat tadi kamu murung dan tak makan sedikit pun.” Mas Tresno menyodorkan satu piring nasi goreng berikut seulas senyumnya. Setelah aku menerima pemberian Mas Tresno. Ada yang aneh di piring itu. Telur ceplok bentuk hati ada di sana. Aku menoleh kepada Mas Tresno.

“Apa ini, Mas?”

“Itu bentuk hati. Sebagai rasa bahagiaku, kamu bekerja di sini, Yati.”

Aku tersenyum kelu, lantas mengangguk pelan. Dengan tempo yang lambat aku menyendok sedikit demi sedikit nasi goreng itu. Aku semakin terasa kikuk kala Mas Tresno terus memandangiku.

“Mas Tresno enggak makan?”

Untuk beberapa detik tak ada jawaban dari mulutnya hanya kepala yang bergeleng. 

“Saya sudah kenyang menikmati indahnya ciptaan Tuhan di hadapanku ini.” Sorot matanya tajam memandangku. Aku mencoba mengalihkan rasa canggungku dengan melihat ke kanan dan ke kiri. Mana tahu ada orang lain. Namun, ternyata kosong. 

“Maksud, Mas Tresno?”

“Ah, ya sudah jangan pikirkan. Anggap saja kamu tak mendengar apa-apa tadi.”

Setelah mendengar penjelasannya, aku sedikit lega. Semoga saja Mas Tresno tak menaruh harapan padaku. Memang Mas Tresno itu hitam manis. Akan tetapi, tak sedikit pun ada rasa untuknya di hatiku. Aku kembali menikmati nasi goreng yang tinggal separuh.

“Aku tahu kamu pasti lagi ada masalah. Apalagi saat si bos karpet itu datang ke sini. Aku perhatikan kamu makin murung. Kalau tidak keberatan cerita saja supaya beban lebih ringan. Tapi, kalau tidak berkenan, ya, tak masalah,” lanjutnya lagi.

“Hidupku terlalu rumit, Mas. Susah mau bercerita dari mana. Lambat laun mungkin Mas Tresno akan tahu sendiri. Maaf, ya, Mas saya tak sanggup bercerita lagi.” Mas Tresnk seakan maklum dengan kondisiku. Aku segera menghabiskan makanan di piring, lalu pamit pulang.

***

Baru saja mau masuk ke gerbang indekos, tiba-tiba dari depan ada mobil yang klakson. Siapa itu? Beberapa jenak aku baru ingat. Itu, kan, mobil Mas Walid. Aku sempat mengingat-ingat nomor mobilnya saat hujan kala itu. Benar dugaanku. Seorang berpakaian perlente keluar dari mobil hitam itu.

“Mas Walid, kenapa ke sini?”

“Aku tadi dari warung, katanya kamu tinggal di sini, ya, aku samperin. Kamu enggak suka? Ya, sudah aku balik.”

“Eh, bukan begitu, Mas. Aku suka, kok.” Mas Walid sukses membuatku tak enak hati.

“Nah, ini dia jawaban yang aku mau. Yok, ikut aku,” ajaknya.

“Ke mana, Mas?”

“Ikut saja. Aku orang baik, kok. Tenang saja nanti aku antar kamu ke sini lagi dengan selamat.” Senyumnya, MasyaAllah. Hatiku leleh kembali. Wajahnya kian memesona. 

“Tapi ....”

“Sudah, enggak usah tapi-tapi. Kamu begitu saja sudah cukup cantik, kok. Ayok.”

Tanpa menunggu jawaban dariku, Mas Walid dengan sigap membukakan pintu mobil untukku. Dia menunggu sampai aku masuk ke mobilnya. Tak ada alasan lagi untuk menolak. Entah ini dengan terpaksa atau senang hati. Rasanya campur-campur. 

“Sebenarnya kita mau ke mana, Mas?” 

Aku membuka percakapan di dalam mobil. Sekilas Mas Walid menoleh kepadaku. Namun, tak langsung dijawab pertanyaanku. 

“Ke rumah ibuku.” Jawabannya datar dan santai. Berbeda denganku. Aku ternganga. Ini apa-apaan. Kenapa hidupku penuh dengan kejutan-kejutan yang sukses membuat jantungku bekerja lebih kencang. Aku jadi ingat insiden di rumah sakit. Bagaimana kalau ibu Mas Walid tahu kalau wanita yang dicari di rumah sakit itu aku?

“Tenang saja. Ibu enggak tahu kalau kemarin yang di rumah sakit itu kamu, Yati. Ibu sudah lama menginginkan menantu. Selama ini baru kamulah satu-satunya yang bisa membuat hatiku bergetar,” lanjutnya, seakan sudah tahu isi otakku.

Mendengar penjelasan Mas Walid, aku sedikit lega. Udara di dalam mobil aku raup sebanyak-banyaknya, lalu kuembuskan pelan.

***

“Maaf sebelumnya, kata Walid Yati sudah pernah menikah, ya?” tanya seorang wanita yang dipanggil Mas Walid dengan Umi Rohmah seusai beberapa menit kami berbincang di rumah beliau.

“Iya, Umi. Sebenarnya saya juga punya anak satu, perempuan. Sekarang sedang berbaring di rumah sakit. Dan saya bercerai dengan suami saya.” 

Aku menjelaskan semuanya. Tak ada yang kusembunyikan. Aku tak terlalu berharap diterima oleh keluarga Mas Walid dengan menutupi masa laluku. Pasrah. Mungkin setelah ini aku diusir dari rumah mewah ini. 

“Hem ... anakmu sakit apa?” 

“Koma, Umi. Makanya saya dan mantan suami saya berjuang keras untuk biaya rumah sakitnya,” ungkapku seraya memperhatikan wajah cantik Umi Rohmah. Ibunya saja sudah tua begini masih segar dan cantik. Kulitnya masih bersih, belum ada kerutan yang berarti. Pantas saja anaknya mampu membuatku meleleh. Aduh.

“Oh, begitu, ya. Silakan diminum dulu tehnya sebelum dingin.”

Kemudian, Umi Rohmah pun mendahului menyesap tehnya. Beliau bercerita bahwa almarhum ayah Mas Walid adalah orang Arab, sedangkan Umi Rohmah sendiri pun blasteran Arab-Indonesia. Aku pun mengangguk-angguk, menyimak semua cerita Umi Rohmah. Pantas saja Mas Walid bisa setampan itu. Hem. Akankah Mas Walid akan menjadi milikku? Duh, jangan mimpi dulu. Sekarang fokus dulu untuk kesembuhan Aisyah. Aku merutuki pergolakan otakku sendiri.

Di tengah Umi Rohmah bercerita, tak sengaja tangannya menyenggol gelas tehnya. Umi tampak panik.

“Tenang saja, Umi. Biarkan saya yang membersihkan pecahannya. Umi tenang saja di tempat.”

Baca juga: Cerita Pendek tentang Kehidupan dengan Judul Tamu Tengah Malam

Tanpa melihat respons Umi Rohmah. Aku lekas mencari sapu dan skop. Untung saja tadi sebelum masuk rumah ini aku sempat melihat sapu dan skop terletak di teras. Dengan cekatan aku membersihkan pecahan gelas yang sudah berserak di lantai.

“Umi!” 

Tiba-tiba Mas Walid dari luar berteriak. Derap langkahnya jelas sekali terdengar menuju kami. Matanya merah. Aku sampai takut sendiri. 

“Umi apa-apaan. Yati itu calon istri Walid, Mi bukan pembantu di sini. Kenapa Umi tega.” 

Tanpa mendengar dan respons dari Umi Rohmah, Mas Walid segera menarik lenganku. Dia mengajakku keluar dari rumah itu. Aku masih tak menyangka hal ini terjadi. Mulutku tak bisa mengeluarkan kata-kata. Ternyata Mas Walid kalau sudah marah mengerikan sekali. Ganteng-ganteng bisa marah juga, ya. 

“Mas. Apa sikap Mas tadi enggak berlebihan.” 

“Tidak,” balasnya datar masih dengan kemudinya. Sesekali aku meliriknya, tak ada perubahan mimik wajahnya. Sejak masuk mobil tadi dia tak menolehku sedikit pun. Tampaknya amarahnya belum juga reda.

“Tadi itu ....”

“Sudah jangan bela Umi lagi. Sudah jelas di depan mataku Umi memperlakukanmu seperti pembantu. Asal kamu tahu selama ini aku sudah cukup bersabar dengan Umi, Yati.” 

***


BERSAMBUNG


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixelLab