Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Pendek Singkat tentang Kehidupan dengan Judul Dokter THT

Cerita Pendek Singkat tentang Kehidupan dengan Judul Dokter THT


Assalamualaikum, Teman-Teman. Berjumpa lagi di blog saya Coretan Karya. Kali ini Zahra Wardah akan mempersembahkan karya cerpen tentang kehidupan dengan judul Dokter THT. Silakan menikmati. Enjoy. Semogabisa diambil hikmahnya dan semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa share, ya. Terima kasih.

****

Matahari sedang terik-teriknya. Anak-anak SD kelas enam satu per satu keluar dari ruang kelas. Mereka berjalan sesuai arah rumah masing-masing. Seira pun demikian. Dia telah berjalan jauh di depan dari teman-temannya dengan tas ranselnya sendiri. Bukannya dia tak mau beriringan dengan teman yang lain, melainkan mereka yang tak mau mendekat dengannya.

“Hei. Seira sepatumu itu kena kotoran sapi!” teriak Putri dari kejauhan.

“Biarkan saja dia. Mana mungkin dia dengar itu. Hahaha.” Liya tergelak-gelak, lalu mencebik sembari tangannya menarik lengan Putri supaya membiarkan Seira. Kebetulan rumah Liya dan Putri searah, sedangkan rumah Seira berlawanan arah.

“Kasihan Seira,” lirih Putri dalam hati. Sesekali pandangannya berbalik ke belakang melihat punggung Seira yang semakin menjauh.

Sejak kecil pendengaran Seira agak terganggu. Tak akan masuk ke telinganya kecuali hanya suara-suara yang keras. Tak ada pilihan lain bagi keluarga Seira selain hanya memasukkannya di sekolah yang berada di desanya. Yang di sana tak ada anak yang cacat kecuali dia. Cacat pendengaran. Banyaknya pengeluaran dan kebutuhan untuk keluarga dan tiga orang adik Seira, menjadikan ayah Seira pasrah dengan semua keadaan. 

Sempat sekali Seira dibawa oleh ayahnya ke puskesmas terdekat. Akan tetapi, petugas di sana malah menyarankan untuk dirujuk ke rumah sakit yang lebih canggih dan lengkap peralatannya. Tentunya dengan biaya yang tak murah. Sejak itu ayah Seira tak membawanya lagi untuk berobat. Bukannya tak mau, melainkan tak ada anggaran untuk itu. Beliau memilih menyalurkan uangnya untuk yang lebih krusial misalnya, membeli beras dan lauk-pauk untuk di rumah. Seira pun bisa memaklumi keadaan itu. Bahkan, dia selalu berdoa supaya keluarganya selalu bahagia di dunia dan akhirat. 

Meski Seira mempunyai kekurangan dalam fisiknya, tetapi raganya sangat kuat dan sehat. Dia sangat rajin mengaji dan membantu orang tuanya. Setiap sepertiga malam gadis kecil itu selalu melangitkan doa. Kemudian, sambil menunggu azan Subuh dia belajar dan mengulang pelajarannya di sekolah. Maka dari itu, tak ayal kalau dia selalu masuk dalam tiga besar peringkat di kelasnya. 

***

Pagi itu sekolah Seira kedatangan tamu dari dinas pendidikan dari kabupaten. Dua mobil berwarna hitam dan yang lainnya putih itu telah terparkir di halaman sekolah. Hal itu mengundang atensi anak-anak semua. Sebab, semua dewan guru sibuk menyambut tamu mereka. 

Saat Seira menuju toilet, tiba-tiba gadis kecil itu melihat ibu salah satu anggota dinas pendidikan itu terjatuh di lantai. Spontan Seira mendekati, membantu ibu tersebut dan membersihkan pakaian tamu yang terpeleset di sana. 

“Terima kasih banyak, Nak. Siapa namamu?”

Gadis kecil yang pintar itu tak menjawab. Dia hanya mengulas senyum sembari mengangguk pelan. Kemudian, masuk ke toilet. 

Dalam hati wanita yang berbaju dinas dengan papan nama Ratmi itu pun penasaran dengan anak yang baru saja menolongnya. Dugaannya ada yang tidak beres dengan anak tersebut. Rasa penasarannya dia simpan sampai ke kantor guru.

“Bu, tadi saya terpeleset di kamar mandi. Lalu, ada anak yang menolong saya. Ketika saya tanya namanya, dia tak menjawab malah berlalu. Tetapi sambil mengulas senyum dan menunduk hormat. Apakah dia tuna rungu?” Tak mampu memendam lama-lama penasarannya, Bu Ratmi bertanya langsung hal yang mengganjal di kepalanya kepada Bu Dina, sang kepala sekolah tersebut.

“Mungkin yang Ibu maksud Seira, ya. Kalau iya, dia pendengarannya agak terganggu, Bu. Orang tuanya enggak mampu membawanya berobat. Padahal, dia sangat pandai dan cerdas, loh, di kelas. Sebab itu juga, dia kadang dijauhi oleh teman-temannya,” jelas perempuan berkerudung ungu itu dengan nada menurun pada kalimat terakhir. Rasa sedih jelas terukir di wajah yang bulat itu.

Sejenak Bu Ratmi mengangguk pelan, meresapi penjelasan lawan bicaranya. Dia berusaha berpikir untuk membantu kondisi Seira. 

“Bagaimana kalau Seira saya berobatkan ke rumah sakit. Nanti dia bisa pakai alat bantu pendengaran supaya sekolahnya semakin pintar dan punya banyak teman.”

“Masyaallah. Boleh banget, Bu. Kami sangat berterima kasih sekali. Secepatnya saya kabarkan ke orang tua Seira untuk mendapatkan izin. Saya yakin kedua orang tuanya pasti akan sangat bersyukur dan senang.” Wajah sendu Bu Dina mendadak berubah semringah. 

***

“Bagaimana kabarmu sekarang, Nduk?” tanya wanita bertubuh gempal yang baru saja keluar, mendekati Seira yang sedang duduk di sofa ruang tamu rumah tersebut.

“Alhamdulillah baik, Bu. Bu Ratmi baik?”

Baca juga: Cerita Bersambung Wanita Malam dari Desa (Bab 7)

“Baik. Alhamdulillah,” sahut tuan rumah berikut dengan senyum termanisnya.

“Wah, semakin sukses saja sekarang Dokter Seira,” sambungnya.

“Alhamdulillah berkat doa Bu Ratmi juga ini. Alhamdulillah saya sekarang sudah punya rumah sakit sendiri, Bu. Mohon restu dan doanya semoga banyak memberi manfaat bagi sesama,” pinta Seira.

“Aamiin. Wah, hebat. Anak muda seperti kamu sudah punya rumah sakit sendiri.”

“Ini memang mimpi saya, Bu. Supaya saya bisa banyak menolong anak-anak yang bernasib seperti saya dulu sebelum bertemu dengan Bu Ratmi. Saya tak mau mereka dijauhi oleh teman-temannya seperti saya dulu dan biaya pengobatan pun akan gratis bagi keluarga yang kurang mampu. Jadi, semuanya dapat kesempatan untuk berobat ke sana baik kaya atau tidak.”

“Aku sangat bangga sekali kepadamu, Dokter. Semoga Allah selalu mempermudah niat baikmu ini. Aamiin.”

Senja yang indah tampak jelas dari jendela kaca ruang tamu Bu Ratmi. Kedua wanita beda generasi itu pun mengobrol ditemani dengan teh hangat dan beberapa kudapan yang tersaji di meja. Mereka sudah layaknya anak dan ibu sendiri, semenjak Bu Ratmi membantu Seira pengobatan telinga kala masih SD dulu. Seira sering kali berkunjung ke rumah Bu Ratmi, sekedar tanya kabar dan mengobrol ringan. Tentunya tak lupa buah tangan dibawanya ketika berkunjung. Seira tak bisa melupakan jasa Bu Ratmi kepadanya. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pngtree.com