Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Pendek Singkat tentang Kehidupan dengan Judul Apa Salahnya Jadi Janda

Ceria Pendek Singkat tentang Kehidupan dengan Judul Apa Salahnya Jadi Janda


Halo, Teman-Teman. Selamat datang di Coretan Karya. Kali ini Zahra Wardah mempersembahkan cerpen alias cerita pendek singkat tentang kehidupan  sehari-hari dengan judul Apa Salahnya Jadi Janda. Oh, ya selain cerpen, di sini juga ada cerita bersambung, cerita anak, dll. Jangan lupa share, ya. Terima kasih dan selamat membaca. 

****


“Nduk, kamu nikah lagi saja. Kasihan Irham butuh kasih sayang seorang bapak. Kadang, dia ngeluh kenapa teman-temannya punya bapak, sedangkan dia tidak ada.”

Entah sudah berapa kali Ibu mengeluarkan pernyataan yang hampir serupa kepadaku. Isi piring yang tinggal setengah lagi pun segera kuhabiskan. Rasanya panas dalam keadaan hujan lebat di luar. Itulah, hebatnya perkataan seorang Ibu mampu mengubah keadaan seketika. 

“Aku masih mau sendiri dulu, Bu. Belum sanggup melupakan Mas Arkan,” jelasku. 

Sudah setengah tahun yang lalu Mas Arkan meninggal dunia karena kecelakaan saat pulang dari kerja. Dia adalah lelaki pertama yang mampu mengisi hari-hariku, hingga menjadikanku istrinya. Kehidupan kami sangat sempurna saat setelah sebulan menikah aku positif hamil. Kedua keluarga tampak merasa senang semua, terutama Ibu. Ibu yang hanya mempunyai aku, anak semata wayangnya. Beliau sangat gembira sekali. Puncaknya saat beliau mengetahui jenis kelamin bayi yang aku kandung adalah lelaki. Dulu Ibu sangat ingin sekali mempunyai anak lelaki. Akan tetapi, hingga tua dan Bapak meninggal, anak beliau satu-satunya hanya aku. 

“Mas Arkan pasti akan bahagia di sana, jika melihatmu dan Irham bahagia, Nduk. Percaya sama Ibuk.” Wanita paruh baya itu memasang wajah melas di hadapanku. Bagaimana aku sanggup menyaksikan pemandangan yang tak ingin kulihat itu?

“Nanti aku pikirkan lagi, Bu. Aku mau siap-siap buka warung dulu. Hujan di luar sudah mulai reda.” 

Aku berlalu menyisakan Ibu yang tampak belum puas akan jawabanku. Dengan segera aku membawa barang-barang daganganku dari dapur menuju warung kecil di depan rumah. Di kedai kecil tepat depan rumahku itu satu-satunya jalan ikhtiar untuk mencari nafkah untuk Irham dan Ibu yang sudah mulai renta. Sesekali Ibu membantu untuk menyiapkan daganganku. Sering kali aku melarangnya. Namun, beliau tak menghiraukanku. 

***

“Mbak rujaknya jangan manis-manis, ya. Cukup mbaknya aja yang manis,” ucap salah satu pelangganku. 

Diam adalah senjataku, kala ada beberapa pelanggan yang sengaja mampir ke kedaiku. Bukan hanya satu atau dua orang pelanggan yang sering menggoda. Terutama setelah kepergian Mas Arkan untuk selamanya. Sebenarnya aku merasa risi dengan semua yang mereka lontarkan kepada janda beranak satu ini. Akan tetapi, di sisi lain aku perlu mencari nafkah. Hanya dengan berjualan rujak buah dan nasi pecal itu keahlian yang bisa aku andalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Kembaliannya buat Mbak Aini aja,” ujar Pak Darto.

“Loh, ini banyak kembaliannya, Pak. Ini, loh.” Aku memaksa untuk memberikan selembar uang 50.000 dan dua lembar uang 20.000 ribuan. 

Lelaki bertubuh jangkung itu berlalu begitu saja, setelah sebelumnya mata kanannya mengerling kepadaku terlebih dahulu. Aku mengurungkan mengejar Mas Darto karena pengunjung pun lagi ramai. Ah, ini rezeki. Lagi pula, aku tak pernah menggoda para lelaki itu. Mereka sendiri dengan suka rela memberikan bonus-bonus buatku. Sebagai manusia yang sedang berjuang untuk menghidupi keluarga, aku tidak munafik. Aku merasa sangat senang.

Pelangganku tidak hanya para lelaki, tetapi banyak juga ibu-ibu yang kadang tak sempat masak. Mereka cukup beli nasi pecalku. Hal ini membuktikan bahwa bukan hanya karena aku seorang janda sehingga banyak pelanggan lelaki yang mampir ke kedai. Namun, karena masakanku yang sesuai di lidah yang membuat banyak pelangganku. Alhamdulillah.

“Buk, aku berangkat sekolah dulu, ya.” Irham segera meraih tangan, lalu mencium punggung telapak tanganku.

“Berangkat sendirian?” tanyaku khawatir.

“Aku bareng Haikal, Buk. Ya, sudah. Assalamualaikum.” 

“Waalaikumussalam,” lirihku seraya memandang punggung putraku hingga menghilang di balik pintu. 

Aku sangat bersyukur. Walaupun masih duduk kelas tiga SD, Irham sudah bisa mandiri dan berpikiran dewasa. Berbeda yang sering dikatakan Ibu, bahwa Irham sering mengeluh meminta ayah baru. Padahal dia tak pernah sekali pun memintaku untuk mencari pengganti ayahnya yang sudah meninggal. 

***

“Woy! Janda. Keluar kamu!” suara dari luar terdengar memekakkan pendengaranku.

“Ibuk di dalam saja. Biarkan Irham saja yang keluar.” Tiba-tiba Irham keluar dari kamarnya. 

“Jangan, Nak. Biar Ibuk saja. Ini masalah orang tua. Kamu lanjutin belajar saja di kamar.”

“Tidak, Bu. Ibu tenang saja. Irham sudah besar.” Putraku itu memaksa keluar. Dia berlalu meninggalkanku yang masih memaku di posisi semula.

Tak lama kemudian, aku mendengar suara Irham menanggapi tetangga yang berada di depan rumah. Aku menajamkan pendengaran seraya melangkah pelan mendekati pintu. Selain itu, aku juga mengintip dan memastikan pemilik suara yang memanggilku tadi. Ternyata itu suara Bu Salma istri Pak Darto.

“Mana ibumu yang suka godain laki orang itu?” tanya wanita yang mengenakan daster di depan rumah. 

Baca juga: Cerbung Wanita Malam dari Desa (Bab 8)

“Maaf, Bu. Ibu saya enggak pernah menggoda lelaki orang. Ibu saya hanya berdagang. Tidak lebih dari itu. Jadi, kalau ada apa-apa dengan suami Ibu, silakan cek dulu suaminya. Jangan asal menyalahkan orang lain. Terima kasih.” Irham tampak tenang, lantas kembali lagi masuk ke dalam rumah.

Lamat-lamat omelan Bu Salma dari luar menjauh dari area rumah. Dia pulang setelah ada suara anaknya memanggil dari rumah yang hanya berjarak tiga rumah dari tempat tinggal kami. Tanganku masih sedikit dingin, menyaksikan barusan yang terjadi di halaman rumah. Irham yang begitu keren membelaku, sukses membuat titik bening dari sudut mata membasahi pipi ini. Kupeluk dia seusai nongol dari balik daun pintu.

“Terima kasih, Nak. Kamu hebat sekali. Ibu bangga denganmu,” syukurku.

“Sudah menjadi kewajiban Irham, Bu sebagai anak lelaki. Kata Pak Ustaz aku harus  bisa melindungi Ibu. Bukankah sebaiknya Ibu mencari pengganti ayah?” 

Mendengar pertanyaan itu pertama kali keluar dari mulut Irham, perlahan aku melepaskan pelukanku. Pandanganku menatap tajam tepat di manik cokelat milik Irham, memastikan yang baru saja aku dengar.

“Irham mau punya ayah baru?” tanyaku pelan.

Dia manggut pelan tanpa menjawab. 

“Demi kebaikan Ibu dan kita semua.”

Kini berganti aku yang mengangguk pelan. Otakku memutar cara untuk mencari ayah baru untuk Irham. Tak kuasa aku menolak pernyataan anak lelaki itu. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com