Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Perjanjian Hitam

Cerpen Singkat tentang Kehidupan  yang Berjudul Perjanjian Hitam


Assalamualaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kali ini kami mempersembahkan Cerpen Singkat tentang Kehidupan  yang Berjudul Perjanjian Hitam. InsyaAllah bakal update terus di blog ini setiap hari Sabtu. Terima kasih sudah mampir. Mohon dukungannya dengan like, share, dan comment. 
Kalian juga bisa mengunjungi channel Cerita Keren di youtube. Klik di sini.
Bagi yang bukunya hendak direview juga boleh, silakan langsung hubungi Zahra Wardah. Sekali lagi terima kasih dan semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

****

“Pak, beras sudah habis ini. Mau makan apa kita hari ini.” Suara Martini melengking kepada suaminya yang sedang melamun di depan rumah.
“Pak!” pekik perempuan tanggung bertubuh gempal itu setelah tak ada reaksi sama sekali dari Karman.
“Iya-iya, Buk. Itu di bawah bantal ada dua puluh ribu ambil.” 
Karman menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pandangannya kosong ke depan. Pikirannya melayang, memikirkan kondisi finansial rumah tangganya. Ditambah lagi Martini yang sering berang kepadanya sukses menjadikan lelaki empat puluh tahun itu mumet. Sesekali mulutnya mengecap. Pahit. Sudah beberapa hari ini tak ada sebatang rokok pun dihisapnya. 
“Ini belum uang jajan Ojan buat besok, loh, Pak.”
Tanpa pamit, Martini berlalu melewati Karman begitu saja. Derap langkahnya mantap menuju warung sebelah. Dia sudah terlalu benci kepada Karman. Bagaimana tidak? Setiap hari harus berteriak dulu untuk bisa mengepulkan dapur. Itu pun kadang hanya makan dengan lauk kecap karena tak ada uang.
Karman mengelus dada sembari menyaksikan punggung Martini hingga hilang. Selang beberapa detik, Karman memutuskan untuk ke suatu tempat. Dia berharap di sana nanti ada solusi bagi kondisi keuangannya. Hingga di depan rumah gedung yang dianggap paling megah di desa itu, langkah kaki lelaki bertubuh ceking itu berhenti. Niatnya mengendur setelah melihat lelaki gendut berkumis tebal di halaman rumah itu. Wanto. Pemilik rumah itu.
“Hai, Man! Ngapain berdiri di situ? Sini, loh,” sapa Wanto.
“I—iya, Mas.” Dengan ragu Karman masuk mendekati Wanto.
“Kamu ngapain tadi?” Pertanyaan diulang lagi karena belum dijawab oleh Karman.
“Anu, Mas. Boleh aku pinjam uang, Mas?” Nada Karman merendah. Terutama pada kalimat tanya.
“Dasar kamu ini, Man. Utang yang kemarin aja belum kamu bayar. Berani pinjam lagi.” Nadanya memang agak membentak, tetapi seulas senyum masih bisa tampak di bibir Wanto.
“Kalau mau uang berlimpah seperti aku, kamu mau ngikuti aku?” bisik Wanto tepat di samping telinga Karman.
“Kalau boleh tahu ngapain itu, Mas?” tanya Karman hati-hati.
***
“Buk, mau ke mana?” 
“Mau cari uang. Nunggu uang dari Bapak kelamaan.” 
Martini pergi meninggalkan Karman yang masih mematung di halaman rumahnya. Karman sadar bahwa dirinya sebagai lelaki tak bisa diandalkan. Bekerja baru beberapa bulan, di tempatnya bekerja sedang besar-besaran memangkas karyawan. Termasuk Karman. Setelah itu sudah mencari sana-sini belum dapat pekerjaan lagi. Dia pun tak bisa mengekang istrinya di rumah. Sementara kebutuhan rumah dan anak habis. 
“Lihat ini, Pak. Aku bisa dapat duit, kan. Enggak sepertimu. Bisanya merenung doang di rumah,” sindir Martini sesaat setelah masuk rumah.
“Dari mana dapat segitu banyak, Bu?” 
“Udah enggak usah banyak tanya. Jangan ngurusi apa yang enggak urusanmu. Oke.”
Martini berlenggang meninggalkan suaminya. “Satu lagi. Jangan berani-berani masuk ke kamar belakang, ya,” imbuhnya.
Sampai saat ini Karman tak bisa berkutik di depan Martini. Wibawanya sebagai seorang pemimpin sudah tercoreng oleh istrinya sendiri. Lelaki itu kembali merenung di ruang tamu. Baru beberapa detik Martini berlalu, tiba-tiba ada suara anak menangis dari luar.
“Kenapa kamu, Jan?” 
“Kakiku sakit, Pak. Tadi ngejar layang-layang dan tersandung batu,” keluh Ojan yang baru saja sampai.
Karman mendekati Ojan, mengecek lutut anaknya. Benar. Lututnya tergores-gores dan berdarah. Ojan kesakitan saat diobati Karman dengan obat merah. 
“Ya, sudah besok kalau main hati-hati, ya. Sana mandi dulu. Sudah sore.”
***
“Pak, kamu jaga rumah, ya. Jangan lupa nyapu dan nyuci piring. Aku buru-buru. Nanti aku kasih uang rokok.”
“Kamu sebenarnya kerja apa, Bu? Aku sebagai suami berhak tahu.” Karman tak tahan lagi yang sudah lama mengganjal di hati. Kali ini nadanya sedikit keras.
“Emangnya kalau kamu tahu. Kamu mau ngapain? Mau bantu? Mau ngelarang aku? Mau makan dari mana nanti kamu, ha!” Martini pun tak kalah meninggi.
Melihat respons istrinya bak harimau yang mau menerkam, Karman pun hanya bisa diam seribu bahasa dan membiarkan Martini pergi. Padahal Ojan sedang tergeletak tak berdaya di kamar.
“Jangan lupa kasih obat ke Ojan!” pekik Martini dari kejauhan.
Karman pun menuju kamar anak satu-satunya. Dia mengetuk tiga kali, lalu salam dan masuk ke kamar Ojan. Sampai di sana mata Karman nanap menyaksikan Ojan kejang dengan mulut yang berbusa. 
“Ojan! Ojan! Sadar Ojan!” Karman menggoyang-goyangkan tubuh Ojan. Panik. 
Baru kali ini Karman menangis tersedu karena Ojan. Tak butuh lama kondisi Ojan seperti pertama kali dilihat Karman. Akhirnya Ojan mengembuskan napas terakhir. Tubuh Ojan mulai kaku. 
“Tidak!” 
Tetangga yang mendengar jeritan Karman pun berdatangan. Tak lama kemudian, suara pengumuman dari masjid atas kematian Ojan disiarkan. Martini mendengar. Perempuan itu lari pulang dari kediaman Wanto.
“Ojan!” Martini menangis tersengut-sengut setelah melihat jasad Ojan sudah terkujur kaku di kelilingi oleh para petakziah.
“Maafin Ibu anakku,” lanjut Martini dengan napas yang tak beraturan.
Martini beringsut kepada suaminya yang berada di seberang jenazah Ojan. Perempuan itu bersimpuh. 
“Pak, maafin aku, ya. Gara-gara aku ngebet sama uang. Aku membuat perjanjian. Orang yang aku cintai aku korbankan. Ojan.” Martini menoleh ke jenazah anaknya. 
“Jadi kamu membuat perjanjian dengan Wanto? Kamu sudah tak waras, Bu.” Seketika Karman pingsan. Sementara itu, Martini tak bisa berkutik dan mengelak tentang perkataan Karman barusan.
***

Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: pixabay.com