Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerbung Mas Duda Mendua (Bab 11)

 

Cerbung Mas Duda Mendua (Bab 11)


Assalamualaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kali ini kami mempersembahkan Cerbung Mas Duda Mendua (Bab 11). Selamat menikmati teman-teman. Jangan lupa share dan comment adegan mana yang paling kalian sukai. Semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

Bagi teman-teman penulis, jika bukunya hendak direview dan masuk ke sini, silakan langsung saja hubungi Zahra Wardah. Terima kasih. 

****

Cerbung Mas Duda Mendua (Bab 11)Bab 11: Kesedihan Mendalam


Anin berlari dari belakang Mas Duda. Dia menubruk tubuhku, lantas memeluk. Tampak kedua matanya menyiratkan pertanyaan ‘mbak enggak pa-pa?’ setelah wajahnya mendongak, menatapku.

“Bagaimana keadaan Bu Nisa, Dek?” 

“Anu ... itu masih dalam pengawasan dokter. Diabetesnya ternyata sudah akut.” Dengan tenaga yang tersisa aku membalas Mas Duda. Enggak tahu kenapa kali ini tak ada sedikit pun memikirkannya. Berbeda dengan sebelum kabar buruk Ibu sampai ke telingaku.

Aku mengajak Anin dan Mas Duda menuju kamar rawat inap Ibu. Syukurnya orang sakit kala itu tak banyak. Jadi, yang seharusnya Ibu satu kamar untuk dua pasien kini digunakan untuk satu pasien. Aku mengetuk pintu nomor 222, lalu membuka pintunya. 

“Bu, ada Mas Juki dan anaknya ke sini,” bisikku di telinga Ibu.

Ibu membuka matanya, lalu mengerjap beberapa kali. Wanita yang baru kusadari tampak kurus itu hendak duduk untuk menghormati tamunya.

“Sudah, Bu Nisa enggak usah duduk. Istirahat aja dulu,” imbau Mas Duda.

“Saya ke sini karena kaget, tadi Anin menelepon. Katanya Dek Mila mendadak pulang, izin ke rumah sakit. Makanya saya khawatir dan langsung kemari,” lanjutnya.

Aku tak terlalu menyimak obrolan Ibu dan Mas Duda. Hanya bengong oleh bisingnya pikiran saat itu. Sampai beberapa kali Anin memanggil, aku tak dengar. Sampai Anin cemberut dan Mas Duda akhirnya mohon diri pun aku tak begitu fokus.

“Kamu kenapa, Nak?” tanya Ibu usai Mas Duda dan Anin pergi.

“Apa kata dokter tadi?” lanjut Ibu karena sadar aku tak menjawab pertanyaan pertama, lantas Ibu melontarkan pertanyaan lain. 

“Hemmm ... anu. Dokter Hendry menghimbau supaya Ibu mengontrol makannya. Jangan sembarang makan sekarang.” Aku berusaha hati-hati menjelaskannya. Supaya Ibu tak banyak pikiran. Meski harus ada yang kusembunyikan dari Ibu. 

Ibu manggut-manggut, percaya. Kemudian, menutup matanya kembali. Aku menatap Ibu dengan saksama. Wajahnya tampak sayu dan layu. Usia dan penyakitnya menggerogoti wanita yang kusayangi ini. Padahal aku belum bisa sedikit pun membalas kebaikannya. Tolong Tuhan. Tolong sehatkan dan panjangkan umur Ibu.

“Kamu sudah makan, Nak?” tanya Ibu saat memergokiku menatapnya.

Tak sanggup membalas, hanya anggukan yang kupersembahkan. 

“Makan dulu. Sepertinya dari tadi Ibu belum lihat kamu makan. Jaga kesehatan,” nasihat Ibu.

“Baik, Bu. Aku keluar dulu kalau begitu.”

Sebenarnya aku keluar bukan untuk mengisi perut, melainkan supaya Ibu tak sadar bahwa aku sedang menahan tangis. Langkah yang gontai tak tahu harus ke mana. Tampak di samping rumah sakit area taman. Di sana ada kursi. Itulah tujuanku saat ini. Kupercepat langkah supaya air mata yang sudah diujung mata segera keluar kala duduk di sana.

Tanpa menoleh kanan dan kiri, aku langsung terduduk. Air mata langsung luruh seketika. Aku tak tahu kalau ternyata ada sepasang mata yang memperhatikanku. 

“Menangislah. Supaya lepas sesak di dada.” Suara itu berasal dari belakang, lalu si empunya suara duduk di samping tanpa permisi terlebih dahulu. Aku kenal suara itu.

“Mas Juki?” lirihku.

“Iya. Aku sudah tahu keadaan ibumu. Dan aku paham kondisimu saat ini, Mila. Boleh aku memanggilmu ‘Mila’?” 

Sebenarnya malu sekali di hadapan Mas Duda dengan kondisi terlemahku. Namun, bagaimana lagi. Aku tak punya sandaran. Aku begitu lemah. Butuh seseorang untuk sekedar meminjam bahu. 

Mas Duda menungguku sampai puas menangis. Dia memberikan sapu tangannya kepadaku. Meski orang bilang ini adegan seperti pada drama-drama romansa, tetap saja bagiku ini hal yang sangat memalukan. Hati dan pikiranku kacau..

“Yok, ke kantin. Kamu belum makan, kan?” tanyanya seraya bangkit dari duduk, meninggalkanku.

Aku yang memang sejak tadi terasa lapar pun mengekor di belakangnya. Sungguh momen yang sangat aku tunggu, tetapi kenapa harus dalam kondisi seperti ini? Bodoh amatlah. Setidaknya pintu ke hati Mas Duda terbuka sedikit untukku. 

“Makanlah.” Beberapa jenak saat aku di sana dua mangkuk bakso datang ke meja kami. 

Sejak tadi aku hanya diam. Malu. Kini aku pun masih membisu. Tak kuat menahan godaan bakso, makanan favoritku, aku pun melahap. Sesekali aku melirik Mas Duda yang berada di hadapanku. Tampaknya dia santai. Apa aku terlalu kentara kalau lapar?

“Sudah teruskan saja makannya. Enggak usah hiraukan aku,” ucapnya seperti tahu isi pikiranku. 

Akhirnya mangkukku isinya lesap lebih dahulu. Beberapa menit aku menunggu Mas Duda dengan hening. Hanya suara sendok dan garpu yang terdengar. Kebetulan di kantin hanya kami berdua pelanggannya saat itu. Tepat seusai Mas Duda menyelesaikan makannya, seseorang tergopoh masuk ke kantin. 

“Apa Mbak wali dari pasien nomor kamar 222?” tanyanya dengan napas masih naik turun.

“Benar. Ada apa?” Spontan aku berdiri. 

“Ayok, segera ikut kami ke kamar pasien.” Perempuan yang berpakaian perawat rumah sakit itu setengah berlari menuju kamar Ibu. Pun aku.

Sesampai di ruangan yang bergradasi putih itu, Dokter Hendry dan timnya ternyata sudah berkumpul di sana. Dokter Hendry mendekatiku.

“Maafkan, kami. Ibu Anda belum bisa kami selamatkan,” ujar Dokter Hendry sebelum meninggalkanku.

Seluruh tubuhku terasa tak bertulang lagi. Lututku lemas. Aku terjatuh. Kepalaku pusing. Sekilas aku tampak Mas Duda yang menolongku. Setelah itu, tampak gelap gulita.

***

Baca juga: Kumpulan Puisi Indonesia Terbaru

“Kak. Kak Mila, bangun.” 

Terdengar suara Anin. Tubuhku pun terasa digoyang-goyang. Perlahan mataku mengerjap. Ini sudah di kamarku. Aku segera bangkit kala mengingat Ibu.

“Ibu. Ibuku mana Anin?” tanyaku, tetapi tak dijawab oleh Anin.

Aku berlari ke ruang tamu, meninggalkan Anin. Di sana banyak orang. Tua, muda, berkumpul membaca surat Yasin untuk Ibu. Jenazah Ibu sudah terbungkus rapi oleh kain kafan. Siap disalatkan. Aku mendekati jenazah Ibu pelan-pelan. Berharap ini salah bukan Ibu dan hanya mimpi. Namun, semua itu ternyata salah. Aku memeluk Ibu untuk yang terakhir kalinya.

“Ibu!” pekikku sembari menangis tersedu.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com dan pixelLab