Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Lelaki Berwajah Monster

     

Lelaki Berwajah Monster


“Kamu jangan mimpi bisa jadi polisi, Man. Hahaha,” ejek Mamad.

Candaan teman sekolahku itu sangat menohok tepat di ulu hati. Memang ada benarnya perkatakaan lelaki yang mampu dengan mudah menggaet setiap wanita yang diinginkannya. Wajahnya yang putih dan hidung mancung membuat teman-teman wanita di kelas banyak mengaguminya. Sangat berbeda denganku saat ini.

Kasus kebakaran yang diketahui karena gas bocor di dapur sekolah itu membuat duniaku hancur. Sebagian wajah tampan ini hilang diserang api yang begitu cepat menyambar, saat berusaha membantu meredakan api. Dari kejadian itu aku dirawat di rumah sakit sampai seminggu. Melihat wajah baru di cermin, saat itu yang ada dipikiranku ‘lebih baik mati saja, dari pada hidup dengan wajah buruk rupa’. Percaya diriku musnah begitu saja. 

Ibulah yang kala itu ada untuk menguatkan diri ini. Beliau berkata, “Allah tidak melihat hamba-Nya dari wajah, tapi dari hatinya alias ketaqwaannya. Ibu yakin, kamu lelaki tangguh dan kuat, Man. Nanti kita coba ikhtiar yang terbaik, setelah itu serahkan kepada Allah. Kamu ingin menjadi polisi, ‘kan?”

Menjadi seorang polisi adalah cita-citaku sejak kecil. Sejak kejadian itu ibu dan ayahku berusaha keras untuk mengobati dan mengembalikan wajahku seperti semula. Namun, takdir berkata tak bisa. Walau begitu Ibu tak henti-hentinya menyemangatiku. Berbeda dengan Ayah yang semakin hari seperti membenci dan mengganggapku seperti anak tiri. Beliau selalu membeda-bedakan aku dengan kakakku yang sudah menjadi pilot. Ya, mungkin beliau sudah lelah oleh pengobatanku yang menghabiskan banyak uangnya.

Sebagai anak aku tak bisa menyalahkan ayah, saat marah tanpa sebab. Sebagai kepala keluarga beliaulah yang bertanggung jawab atas semua anggota keluarga. Seharusnya diri ini yang sadar diri. 

Untungnya dengan wajah yang seperti monster ini masih ada teman yang mau bergaul denganku di sekolah, Mamad. Sebagian besar orang yang melihat kami jalan beriringan, pasti mereka berbisik dengan orang disebalahnya. Aku tak tahu  jelas entah apa yang mereka gunjingkan. Mungkin, wajah kami yang sangat kontras membuat mereka begitu. Sedih. 

Jarak antara sekolahku dengan rumah tidak terlalu jauh, sehingga aku memutuskan untuk berjalan kaki setiap pergi sekolah. Pernah suatu hari ketika pulang dari sekolah, aku mendapati seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan mangkuk di tangan kanannya. Sepertinya beliau sedang berusaha memberi makan balita itu. Lamat-lamat aku mendengar ibu itu berkata, “Itu ada mas-mas serem. Nanti kalau enggak mau makan nasi, kamu dimakan oleh mas itu, lho.” 

Anak yang berada digendongan itu sepertinya semakin lahap. Aku berlalu begitu saja. Diri ini berpura-pura tak mendengar perkataan ibu itu. Apakah ini berkah dari jeleknya wajahku? Aku jadi teringat kata-kata ibu, ‘bagaimana pun keadaan kita harus selalu bersyukur. Setiap semua yang menimpa pada kita pasti ada hikmahnya’.

***

Semua teman-teman hari ini bersenang-senang. Ya, hari ini adalah hari kelulusan SMA kami. Namun, aku sebaliknya. Di saat mereka bercerita untuk melanjutkan pendidikan sesuai dengan keninginan mereka, aku hanya bisa pasrah dengan masa depanku yang masih hitam. Belum jelas ke mana arahnya dengan muka seperti ini. 

“Kalau kamu mau melanjutkan ke mana, Mad setelah ini?” tanyaku pada Mamad yang sedang memaan es krim di tangannya.

“Aku mau daftar di jurusan penerbangan. Pengin jadi pilot seperti kakakmu. Kalau kamu?”

“Aku enggak tahu, Mad. Malu dengan mukaku yang begini.”

Percakapan kami selesai begitu saja, saat Mamad dipanggil oleh teman main basketnya. Sebelum kejadian nahas itu, kami berdua sering bermain basket bersama. Akan tetapi, sekarang aku mundur pelan-pelan. Aku lebih suka kesepian dari pada keramaian.

Pulang dari sekolah, aku menuju dapur pelan-pelan mencari ibu. Aku berharap di sana tidak ada ayah. Sebab, aku sangat takut mengungkapkan sesuatu jika ada ayah. Setelah pandanganku menangkap sosok ibu sendirian, diri yang lemah ini segera mendekatinya.

“Bu, aku mau mondok saja.”

“Tapi kamu ingin menjadi polisi?” tanya Ibu sembari menjeda aktivitas menggorengnya.

“Enggak mungkin dengan mukaku seperti ini, Bu. Boleh, ya?” pintaku memelas.

“Baiklah, Ibu hanya bisa mendoakan anak-anak ibu. Sebenarnya kalau kamu berpisah jauh seperti kakakmu, ibu akan sangat kesepian. Ayahmu sering keluar kota. Tapi … jika niatmu tulus dan ikhlas menggali ilmu di pesantren ibu sangat senang,” terang beliau sembari mengelus pelan pundakku.

Ibu memang panutanku. Beliau begitu bijaksana dan penyabar. 

***

Hari itu tiba. Di mana aku berangkat ke salah satu pesantren di kotaku, diantar oleh ayah dan ibuku. Jarak desa ke kota menghabiska  waktu sekitar dua jam. Mobil yang dikendarai ayah melaju cepat. Sepanjang jalan Ayah tak banyak berbicara. Terlihat jelas di wajahnya suatu kekesalan dan kekecewaan terhadap anak bungsunya ini. Hanya Ibu yang selalu menasihati dengan petuah-petuahnya. 

Setelah sampai di pondok pesantren milik Kiai Hadi, ayah menyerahkanku dengan senang hati di sana. Tak lama ibu, ayah, dan Kiai bercakap di ruang pengunjung di Pondok Pesantren Tahfiz Quran Al-Amin. Ayah minta diri, beliau beralasan ada pekerjaan penting yang harus beliau kerjakan. 

Ibu melepasku dengan mata yang berkaca-kaca. Sebenarnya tak sanggup diri ini melihat beliau sedih. Akan tetapi, kali ini harus membiarkan hal itu. Sebagai bakti, aku berjanji kepada diri sendiri. Kelak aku akan menjadi anak yang sukses tanpa membebani beliau. 

Di pondok ini aku berniat untuk menghafalkan Al-Qur’an. Kutepis perlahan ego untuk menjadi seorang polisi. Cocok sekali dengan kepribadianku sekarang sebagai penyendiri. Dengan memencil, aku bisa dengan khusyuk menghafal ayat-ayat suci Allah. Kalau dulu aku menyendiri untuk meratapi nasib, sekarang lebih ke bersyukur dan menghafal Al-Qur’an. Rasanaya lebih menenangkan kalbu.

Progresku memahfuzkan Al-Qur’an tergolong bagus. Alhamdulillah, tepat tiga tahun di sini, aku telah lulus bil ghoib 30 juz. Setelah menjadi tahfiz aku tak langsung pulang, aku masih menetap di pondok mengampu ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya, seperti qira’ah sab’ah, tafsir, dan lain-lain. Tiba-tiba Kiai Hadi memanggil melalui pengurus pondok. Aku pun segera menemui beliau di ruangnya.

“Assalamualaikum ….”

“Waalaikumsalam, masuk saja Sulaiman,” jawab Kiai Hadi dari dalam.

Pelan-pelan kumasuki ruangan itu dengan kepala selalu menunduk. Sebenarnya tidak hanya dengan Kiai Hadi saja aku menunduk, kepada setiap orang yang bertemu pun aku menunduk. Menyembunyikan wajah monsterku. Beberapa saat tak hening. Sepertinya Kiai Hadi sedang mengamatiku.

“Kamu enggak ada rencana untuk cari kerja diluar, Man?” tanya lelaki yang sangat aku hormati itu.

“Belum ada rencana pasti, Kiai. Aku masih ingin menuntut ilmu di sini. Lagian di luar juga tidak ada pekerjaan yang pas denganku yang berwajah seperti ini,” jelasku dengan nada memelan.

“Kalau begitu, kamu kerja di sini saja. Menggantikanku menyimak hafalan anak-anak. Nanti aku siapkan komisi untuk itu. Bagaimana?” tawar Kiai Hadi.

Aku hanya mengangguk pelan. Dengan senang hati tawaran itu aku terima. Mungkin, ini salah satu rezeki. Tak mungkin aku menolaknya.

“Bukan hanya itu. Apakah kamu mau menjadi imam untuk putriku satu-satunya?” Beliau melanjutkan pertanyaannya yang membuat jantung berbacu semakin kencang. 

Aku bergeming, berpikir dan mencerna pertanyaan lelaki yang sudah berambut putih itu. Apakah ini mimpi? Putri Kiai Hadi sangat cantik. Banyak sekali para santri yang mengidamkannya. Kenapa harus aku yang dipilih oleh Kiai? Aku mencubit sedikit tangan kiri. Ternyata sakit, berarti ini memang nyata. Ya Allah, nikmat-Mu sungguh tak terduga. Kesabaran itu pasti berbuah manis. Aku yakin sekali pepatah lama itu.

Baca juga: Cerbung Wanita Malam dari Desa (Bab 4)

“Insyaallah bersedia, Yai.” Aku menjawab dengan tegas pertanyaan Kiai tadi.

“Kalau begitu besok siap-siap. Kita akan berobat ke luar negeri untuk mukamu itu. Semoga saja cocok dan bisa kembali seperti semula.”

Tak terasa air mata haru yang dari tadi bergelayutan di ujung mata, kini bertumpah ruah di hadapan Kiai Hadi. Nikmat dan rezeki yang bertubi-tubi telah membungkam mulutku saat itu. Aku hanya bisa bersimpuh di kaki Kiai dan berterima kasih atas semuanya.

***

Karya: Zahra Wardah

Sumber gambar: Liputan6.com