Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Bisikan Kedai Kopi

Cerpen Bisikan Kedai Kopi

  

    Gema suara azan Magrib akan segera tiba. Hati Bu Aisyah resah. Wanita pemilik alis tebal itu mondar-mandir di ruang tamu. Hanya suara detak jarum jam di dinding yang menemaninya. Galau tingkat dewa karena menunggu seseorang. Sesekali dia duduk sebentar di sofa berwarna cokelat di sana.

    “Dari mana kamu? Sudah sore baru pulang!” sergah Bu Aisyah setelah mendengar derap langkah Yanto.

    “Dari warung Bu Sari, Mak. Capek. Aku mau mandi dulu.”

  Anaknya yang berusia tiga belas tahun itu berlalu begitu saja menyisakan ibunya. Dia tak menghiraukan mimik Bu Aisyah. Lelaki berkaus biru itu melangkah cepat menuju kamarnya. Akan tetapi, ada yang dia lupakan. Hingga sebelum masuk kamar dia membalikkan badan dan memandang ibunya.

    “Oh, ya. Assalamualaikum,” ucap Yanto, lalu segera membuka pintu kamarnya. 

    “Waalikumussalam,” lirih Bu Aisyah sembari memijat kepalanya yang sedikit pusing memikirkan sikap Yanto.

    Wanita paruh baya itu kembali menyandarkan diri di sofa. Beberapa detik kemudian, suara azan Magrib bersahut-sahutan antar masjid satu ke masjid atau musala yang lain. Suara azan terakhir terdengar baru selesai. Seseorang kembali muncul dari balik pintu yang tadi sudah ditutup oleh Bu Asiyah.

    “Assalamualaikum ....” 

    “Waalaikumussalam. Dari mana, Pak Magrib begini baru pulang?” Bu Aisyah sewot. 

  “Sama kayak Yanto. Bapak mau salat dulu, Buk.” Pak Salim berlalu begitu saja meninggalkan istrinya. 

    Hal itu tambah membuat wanita bertubuh gempal itu jengkel. Akan tetapi, sebagai umat Islam yang baik, dia pun mengikuti suaminya untuk menunaikan salat Magrib. Salat berjemaah bersama di rumah mereka. 

***

    “Sayur! Sayur!” teriak tukang sayur di depan rumah Pak Salim seraya memberhentikan gerobak sayurnya. 

       Seperti biasa setiap hari penjual sayur keliling itu berhenti di depan rumah Pak Salim. Nanti ibu-ibu sekitar mendekati gerobak itu. Tujuan mereka beda-beda. Ada yang memang mau beli sayuran untuk dimasak. Ada yang hanya sebatas bergosip tanpa membeli sayur. Itu yang kadang membuat jengkel tukang sayurnya.

    Tak perlu waktu lama. Beberapa ibu sudah berkumpul mengelilingi gerobak sayur itu. Termasuk Bu Aisyah. Wanita itu hendak memasak sambal terong kesukaan Pak Salim. Dikarenakan stok terong di kulkas sudah habis, dia hendak membeli terong.

    “Pak terongnya sekilo, ya.” 

    “Banyak banget, Bu beli terongnya. Eh, sudah tahu janda yang baru buka kedai kopi itu? Katanya orangnya cantik, bohai, dan suka menggoda para lelaki. Anaknya ada satu bantuin dia jualan di kedai itu,” Ibu berdaster merah memulai pergosipan.

    “Masak iya, Bu. Oh, pantesan suami dan anak saya kemarin betah di sana. Awas, ya.” Bu Aisyah semakin panas mendengar ucapan rekan belanjanya barusan. 

    “Eh, anakku juga kemarin di sana sampai sore. Entah ada apanya, sih, di warung kopi itu.” Ibu berkerudung hitam menimpali.

    “Udah ibu-ibu. Mending sekarang cepat dibayar. Dari pada gosip yang belum jelas perkaranya.” Pedang sayur itu menengahi ibu-ibu. Dia sangat tak suka mendengar pergunjingan yang belum jelas kebenarannya.

         “Bagaimana kalau besok kita gerebek bareng-bareng ke sana?” tawar Bu Asiyah.

     “Siap!” Suara dari ibu-ibu itu bak paduan suara. Serempak. Hal itu membuat Pedagang sayur keliling hanya geleng-geleng. 

    “Dasar ibu-ibu sukanya gosip,” lirih satu-satunya lelaki di sana. Untung saja tak ada yang mendengar. Kalau salah satu pelanggannya mendengar habislah riwayat pedagang itu diserbu oleh ibu-ibu.

***

Baca juga: Puisi Kemerdekaan

    Ibu-ibu berdaster sudah siap menggerebek kedai kopi yang katanya milik janda muda. Mereka membawa alat masing-masing. Ada yang membawa sapu, kemoceng, penggorengan, dan sebagainya. Ramai-ramai langkah kaki mereka menuju kedai kopi yang baru buka itu. Dari luar tampak sepi warung bercat putih itu. Sampai di sana tanpa mengucap salam, ibu-ibu memasuki warung sederhana itu.

    “Ada apa ini, ibu-ibu?” tanya wanita yang berumur sekitar 25 tahun.

    “Saya mau menggerebek bapak-bapak dan anak-anak di sini. Ayok, pulang. Jangan mentang-mentang pemiliknya janda, terus betah di sini, ya. Kita tutup saja kedai kopi ini!” Bu Aisyah mewakili ibu-ibu yang lain penuh semangat.

    Tak lama kemudian, anak lelaki mendekati Bu Aisyah. Tampak wajahnya malu. Sebab, banyak temannya di sana.

       “Ibu kenapa ke sini?”

       “Ayok, pulang kamu!” teriak Bu Aisyah seraya meraih lengan tangan milik anaknya.

       “Ibuk! Kami sedang mengerjakan tugas di sini. Bu Sari menyediakan hotspot gratis. Makanya kami mengerjakan tugas di sini. Lagian jaringan di rumah jelek. Jadi, tak bisa mengerjakan tugas di rumah, karena ini butuh internet tugasnya. Bapak pun ke sini untuk main mencari pekerjaan lewat internet,” jelas Yanto panjang sekali supaya ibunya itu paham. 

     Kemudian, seseorang muncul dari dalam kedai. Dialah pemilik sebenarnya warung kopi itu, Bu Sari. Penampilan pemilik kedai itu jelas beda dengan informasi yang mereka dapat dari gosip. Dia sudah tua dan anaknya yang membantunya pun sudah mempunyai suami dan anak, Bu Minah. Artinya sudah berstatus menjadi nenek. Bu Minahlah yang tadi mereka gerebek.

        Bu Aisyah dan pasukannya terdiam. Hening seketika. Dugaan mereka salah semua. Ibu-ibu yang lain pun seketika melempem. Tak ada perlawanan lagi. 

       “Hu!” ejek seisi warung kepada pasukan ibu-ibu.

    Bu Aisyah beserta rombongan meminta maaf dan berakhir dengan balik badan dengan tangan kosong. Mereka malu, telah menganggap yang tidak-tidak terhadap pemilik kedai kopi itu. Bertindak sebelum mengetahui kebenarannya adalah hal yang tak patut dilakukan. Seharusnya harus diselidiki terlebih dahulu. Cahaya matahari sore pun turut mengantar mereka semua pulang ke rumah masing-masing.

***


Karya: Zahra Wardah

Sumber gambar: pinterest.com