Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Jemuran Santri

Cerpen jemuran santri

“Kang, bajuku hilang juga di jemuran,” adu Mahmud kepada Rohman, pengurus pondok bagian keamanan. 

Selentingan tentang kasus pencuri jemuran santri putra sedang marak akhir-akhir ini. Dalam minggu ini sudah belasan santri yang melaporkan kehilangan pakaiannya saat dijemur di tempat yang sama. Ada yang kehilangan baju koko, sarung, kaus dalam, bahkan ada juga yang celana dalam. Mungkin memang sudah tak asing di pondok pesantren kehilangan baju saat dijemur. Akan tetapi, ini anehnya mereka semua yang melapor menyatakan bahwa tempat mereka menjemur sebelum baju mereka hilang itu sama, yaitu di samping mesin pompa air. Di situlah mereka kehilangan jemuran. Selain di situ tak ada laporan yang masuk ke pengurus pondok. 

“Kalau begitu, kita langsung panggil saja Qodri ke sini. Kita sidang,” titah Rohman.

“Baik, Kang.” Lelaki bertubuh tinggi itu segera berbalik badan, lantas berlalu menjauh dari Rohman. 

Dari kejadian yang terjadi ini, Qodri menjadi satu-satunya santri yang dicurigai. Sebab, sifatnya yang lain dari yang lain. Dia tak suka bergerombol dan berkumpul dengan santri-santri yang lainnya di luar untuk mengaji dan belajar. Lelaki gempal itu lebih suka menyendiri selalu. Di tangannya selalu ada Al-Qur’an kecil sebagai teman. Jarang sekali dia meminta pertolongan kepada orang lain kecuali saat sangat terdesak. Menurut informasi dari para santri terakhir ini Qodri sering menyendiri di bawah jemuran. Oleh sebab itu, Rohman memanggil Qodri.

“Asaalamualaikum.” Terdengar suara salam di balik pintu ruang pengurus pondok.

“Waalaikumussalam, masuk saja,” sahut Rohman yang masih di sana sejak tadi. 

Qodri bersama Mahmud muncul dari balik pintu. Mereka masuk untuk menghadap Rohman.

“Ada apa panggil saya, Kang?” tanya Qodri dengan wajah santai dan teduh.

“Kamu tahu kalau akhir-akhir ini para santri banyak yang kehilangan jemurannya?” Rohman mengawali penyelidikannya.

“Tahu, Kang,” balas lelaki bersarung motif polos warna hijau itu.

Suasana sejenak senyap, setelah tak ada yang keluar dari setiap mulut yang ada di ruang pengurus itu. Rohman menghela napas berat, lantas memandang Qodri dari ujung rambut sampai ujung kaki secara saksama.

“Kira-kira menurutmu siapa yang mencuri jemuran para santri?” Rohman bertanya penuh curiga.

“Saya enggak tahu, Kang. Saya belum pernah melihat sendiri maling itu soalnya. Kan, enggak boleh menuduh tanpa bukti, to?”

Pengurus pondok bagian keamanan itu mengangguk pelan. “Menurut yang saya dengar kamu sering menyendiri di bawah jemuran itu. Khususnya jemuran yang di samping mesin pompa air pondok,” tegas lelaki berkulit eksotis itu.

“Kenapa kamu sering menyendiri di sana?” tanya Mahmud yang sejak tadi diam menyimak percakapan salah satu santri putra itu dengan pengurus pondoknya.

“Saya hanya berusaha menambah hafalan saya, Kang. Enggak lebih dari itu. Menurut saya menyendiri akan lebih gampang masuk ke otak hafalan saya,” jelas Qodri dengan tenang.

Mahmud tampak geram dengan respons Qodri yang tenang dan berusaha menyangkal. Giginya terdengar gemeretak. Dia tak tahan menahan amarahnya. Tangannya mengepal, baik yang kanan maupun yang kiri. 

“Demi apa kamu tidak pencurinya?” Mahmud bertanya beserta bentakan berang.

Spontan Qodri menjawab, “Demi Allah. Silakan kalau menganggap saya pencurinya. Akan tetapi, sekali lagi. Demi Allah saya tidak mengambil apa yang bukan hak saya, Kang.”

Melihat kesungguhan santri yang didakwa, Rohman memutuskan untuk membubarkan Qodri dan Mahmud. Dia mencari cara untuk menangkap maling di pondok ini. Selama dia menjadi pengurus pondok, belum pernah ada kasus pencurian secara berturut-turut begini.

Siang itu Rohman beserta pengurus lainnya memasang kamera tersembunyi milik pondok. Dia memasang tepat di jemuran baju santri bagian samping mesin pompa air. Setelah terpasang bagus kamera itu, Rohman meninggalkannya sampai esok Subuh rencana mau diambil. Lelaki yang sudah hafal 30 juz Al-Qur’an itu pun berharap ada sesuatu yang didapatkan dari usahanya itu. Rohman sudah tak sabar ingin segera menangkap pencuri jemuran para santri.

***

Baca juga: Cerpen Yusuf

Selepas salat Subuh berjemaah, Rohman segera menuju jemuran. Dia mencari kamera yang sudah disembunyikan tanpa ada yang tahu. Kemudian, dia menuju ruang pengurus setelah berhasil mengambil kamera pondok itu tanpa sepengetahuan santri yang lain. 

Kamera itu disambungkan langsung ke komputer pondok yang berada di ruang pengurus. Rohman mengamati detik demi detik kejadian di jemuran itu. Tak ada yang mencurigakan sama sekali. Namun, saat ada tukang memperbaiki mesin pompa air, lelaki berpeci itu menangkap sesuatu pergerakan yang mencurigakan. 

Tampak tukang itu mengambil jemuran yang berada di sana setelah memastikan tak ada orang yang mengetahuinya. Lelaki yang sudah tua itu memasukkan barang curiannya ke tas perlengkapan tukangnya, sehingga tak ada yang mencurigai. 

“Ternyata tukang pompa air yang meresahkan para santri. Pantas saja, akhir-akhir ini mesin pompa pondok sering rusak. Itu mungkin ulahnya juga, supaya bisa masuk pondok dan mencuri,” gumam Rohman sendiri.

Dia pun mengumumkan kepada para santri tentang apa yang dilihatnya di ruang pengurus tadi. Tentunya sudah dengan persetujuan pengurus yang lain. 

Qodri yang mendengar pengumuman itu pun bernapas lega. Akhirnya tuduhan kepadanya tidak terbukti. Lelaki itu bertekad akan membantu menangkap pencuri yang sesungguhnya. Rohmad dan Mahmud pun mendatanginya untuk meminta maaf atas kejadian di ruang pengurus tempo hari.

“Kalau begitu besok saat tukang mesin pompa air itu ke sini, kita siap semua,” titah Rohman dengan beberapa santri yang tadi ditugasnya untuk menangkap pencuri igu, termasuk Qodri di sana. 

Selepas Asar lelaki tua yang membawa peralatan tukangnya itu datang lagi karena pihak pondok meneleponnya kembali. Dengan wajah yang santai lelaki itu memasuki area jemuran santri yang berarti di sana juga letak mesin pompa air itu. Dia memperbaiki kerusakan yang tak berarti itu dengan bagus. Seusai pekerjaannya beres, bapak tua itu segera melakukan aksinya. Tentunya setelah dia merasa tak ada orang yang melihatnya. Akan tetapi, nasib nahas sore itu menimpanya. 

Tiba-tiba sekelompok santri mendekapnya. 

“Ingat jangan hakimi sendiri. Kita serahkan saja ke pihak yang berwajib!” pekik Rohman mewanti-wanti santri yang ditugaskannya untuk menangkap pencuri itu.

“Nggih, Kang.” Suara yang hampir bersamaan oleh santri-santri itu.

***


Karya: Zahra Wardah

Sumber gambar: pngtree.com