Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Bintang Layu

Cerpen Bintang layu


Dari luar rumah Pak Hamdi mendengar suara sesuatu terjatuh. Lelaki yang sedang menembel dinding kayu yang mulai keropos itu segera keluar, melihat apa yang terjadi. 

“Ya Allah, Nduk. Kok, bisa jatuh. Lututmu juga berdarah itu.” Lelaki berkumis tebal itu panik.

“Enggak pa-pa, kok, Pak,” respons Aisyah, putri Pak Hamdi yang masih mengenakan seragam sekolah dasar.

“Enggak pa-pa bagaimana? Sini tak obatin.”

Pak Hamdi mengobati luka putrinya dengan telaten. Lelaki berkulit cokelat sudah bagaikan seorang ibu sekaligus ayah bagi Aisyah. Sebab, istrinya telah meninggal sesaat setelah melahirkan gadis kecil itu. 

“Aku juara lagi, Pak bela dirinya. Insyaallah minggu depan tanding tingkat nasional. Hadiahnya besar, loh, Pak. Doakan Aisyah, ya,” pinta Aisyah.

Bukannya senyum lebar, netra bapak dari Aisyah itu malah berkaca-kaca. Dia sangat bangga dan terharu kepada putri semata wayangnya itu. Sejenak Pak Hamdi menjeda dalam membersihkan luka Aisyah. Beliau mengusap sedikit butiran bening yang hendak keluar melalui sudut matanya. Lantas menuntaskan pengobatan kaki putrinya. 

Bagaimana tidak? Sudah sering gadis itu memenangkan lomba bela diri yang digemarinya berikut dengan hadiah yang dia dapatkan. Hadiah itu sengaja ditabung semata-mata untuk membantu bapaknya. Kulkas, kipas angin, sepeda bekas, dan masih banyak lagi dibeli dengan uang simpanannya. Belum lagi piala dan medali-medali yang berjejer rapi di lemari rumah sederhananya.

“Terima kasih banyak, Nduk. Bapak bangga sekali denganmu. Tapi, kakimu luka.” Pak Hamdi sedikit ragu.

“Bapak tenang saja. Besok juga sembuh. Cuma lecet sedikit, kok.” Begitulah Aisyah sudah kebal dengan luka-luka yang menggores tubuhnya. Kaku-kaku otot dan kram pun sudah menjadi makanannya sehari-hari. Hal itu malah menambah semangat dan gigih belajar dengan hal yang disukai itu. Sebab, dengan bela diri itulah dia bisa membantu sedikit perekonomian ayahnya.

Mendengar penjelasan dari anaknya, wajah cemas Pak Hamdi menguap berubah menjadi semringah. “Baiklah kalau memang begitu. Bapak tak bisa memberi apa-apa. Hanya doa yang bisa Bapak panjatkan untukmu. Tangan Pak Hamdi menyentuh pelan pundak Asiyah.

***

Setelah beberapa hari mengikuti lomba bela diri tingkat sekolah dasar, gadis kecil yang masih duduk di kelas lima itu mendapat juara lagi. Juara pertama. Senyumnya tak pernah luntur di setiap perjalanan pulang. Dia sudah membayangkan rumah papannya diganti dengan batu bata yang kokoh, supaya Pak Hamdi tidak capek-capek menambal dinding yang bolong akibat kayu dinding yang usang.

Mobil berwarna hitam masuk ke halaman rumah papan Pak Hamdi. Aisyah turun bersama gurunya setelah mobil itu terparkir sempurna. Sorotan cahaya matahari siang menyambut kedatangan mereka. Hangat. 

“Assalamualaikum ...” ucap Bu Risma, guru yang selama ini mendampingi Aisyah.

“Waalaikumussalam ....” Tak perlu lama menunggu suara yang sangat dikenal Aisyah itu terdengar dari dalam rumah.

Pak Hamdi tampak tergopoh-gopoh dari dalam. Dia sudah tahu hari ini putrinya pulang. Entah membawa hadiah atau tidak itu tidak penting baginya. Yang terpenting adalah kepulangan anaknya dengan selamat. Itu saja sudah cukup bagi lelaki berkumis tebal itu. Beberapa hari ditinggal Aisyah rindu sudah menggerogoti jiwanya. Aisyah bak nyawa bagi lelaki itu.

“Alhamdulillah sudah pulang,” syukur Pak Hamdi.

Aisyah yang tadi di samping gurunya itu berhambur kepada bapaknya. Lantas memeluk lelaki cinta pertamanya itu masih dengan ukiran senyum yang sangat sempurna. 

“Alhamdulillah, Pak. Kali ini Aisyah mendapat juara satu lagi tingkat nasional.” perempuan berkerudung merah itu menjelaskan kepada bapaknya Aisyah tentang hasil perlombaan yang diikuti gadis kecil itu. 

Lelaki itu mengendurkan pelukannya, lalu menatap putrinya itu lekat. Tampak manik-manik matanya berkaca sebelum akhirnya memeluk kembali gadis kecil itu semakin erat. Pertahanannya runtuh di depan guru Aisyah. Air bening itu tumpah ruah membasahi pipi sekaligus kepala putrinya.

“Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu, ya, Pak. Assalamualaikum.” Bu Risma berlalu menyisakan ayah dan anak yang masih terharu biru oleh nasib yang menimpa mereka.

“Waalaikumussalam,” lirih Pak Hamdi setelah menyadari kepergian Bu Risma. Setelah kondisi semua normal barulah mereka berdua memasuki rumah.

***

Tampak beberapa tukang bangunan sedang menyusun batu bata untuk mengganti rumah kayu Pak Hamdi. Tidak semua ruangan yang diganti dengan batu bata, hanya ruang tamu dan dua kamar tidur saja. Selainnya masih dibiarkan menggunakan kayu. Sebab, uang hadiah Aisyah hanya cukup untuk ruangan itu saja. Berulang-ulang Pak Hamdi mengucap Hamdalah. Pun berterima kasih kepada Aisyah. 

“Pak Aisyah pergi sekolah dulu, ya. Assalamualaikum,” pamit gadis kecil berseragam sekolah dasar itu setelah mencium punggung tangan Pak Hamdi.

“Iya. Hati-hati, ya, Nduk. Walaaikumussalam.” 

Jarak sekolah yang tak terlalu jauh membuat Aisyah pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Derap langkah gadis itu tampak tegas, terasa sekali semangatnya untuk mencari ilmu. Namun, Saat menyeberang jalan tiba-tiba motor dengan kecepatan tinggi menabrak gadis kecil itu. Aisyah tergeletak tak sadarkan diri. 

Untungnya mobil Bu Risma sedang berlalu di sana juga. Jadi, murid SD itu segera mendapat pertolongan. Bu Risma segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Sesampai di sana beberapa petugas segera membawa Aisyah untuk ditangani oleh dokter.

Selang beberapa puluh menit pandangan Bu Risma menangkap sosok dokter yang tadi menangani Aisyah. Lantas dia menghampiri dokter tersebut dengan tergopoh-gopoh. 

“Bagaimana, Dok kondisi murid saya?”

“Menurut semua yang kami periksa tadi tak ada yang parah. Hanya saja mungkin kakinya tak bisa berjalan seperti biasanya. Sekarang anaknya sudah sadar. Silakan kalau mau melihatnya,” jelas dokter itu, lantas berlalu begitu saja.

Bu Risma bagaikan tersambar petir. Meski bukan anak kandung, Aisyah sudah bagaikan anak sendiri baginya. Kebanggaan sekolah. Bak bintang  dari sekolahnya. Tubuh guru Aisyah itu melemah. Beliau menjatuhkan tubuhnya di kursi yang ada di sebelah kanannya. 

Pak Hamdi datang berikut dengan napas yang masih memburu. Lelaki itu menuju tempat guru putrinya itu duduk. Cemas. 

“Bu, bagaimana kondisi Aisyah?”

“Aisyah sudah sadar, Pak. Tapi ....”

Baca juga: Cerpen Jemuran Santri

“Tapi apa, Bu?” Pak Hamdi tak sabar ingin mendengar penjelasan Bu Risma yang terputus.

“Sepertinya kakinya tidak bisa digunakan seperti biasanya,” lanjut wanita berkerudung hitam itu.

Hampir seperti Bu Risma barusan, Pak Hamdi tak kuasa menahan diri. Perlahan tubuh lelaki yang sudah beruban itu terjatuh ke lantai. Dia tak sanggup melihat putrinya jika kehilangan senyuman. 

“Ayo, Pak. Kita lihat Aisyah,” ajak Bu Risma setelah kondisi membaik.

Tanpa menjawab lelaki itu pun mengikuti guru putrinya yang masuk ke ruangan terlebih dahulu. Pak Hamdi menatap Aisyah penuh sendu.

“Bapak kenapa? Aisyah enggak pa-pa, kok.” Itulah yang selalu gadis kecil itu ucapkan saat terjadi sesuatu kepadanya.

“Iya, Nak. Bapak yakin Aisyah kuat. Jangan seperti bintang yang layu, ya.”

“Maksud Bapak?” tanya Aisyah.

“Kata dokter kaki Aisyah belum bisa digunakan untuk jalan. Jadi, Aisyah harus pakai kursi roda dulu, ya,” ungkap Bu Risma terpaksa. Walau bagaimana pun gadis itu tetap akan tahu kondisi sebenarnya.

Spontan perempuan kecil itu menangis sejadi-jadinya, meratapi nasibnya. Menurut Aisyah, tak apa-apa tubuhnya luka, asalkan masih bisa mengikuti lomba-lomba bela diri selalu. Akan tetapi, kini dia harus pasrah dan lemah tanpa bisa mengikuti olahraga yang sangat digemarinya itu. 

Setelah kejadian itu, gadis kecil itu selalu merenung sendirian di rumah.  Dia menjadi seorang pendiam, malu ke sekolah dengan kursi roda. Semangatnya telah padam. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com