Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Cincin

Cerpen Cincin


“Bu, tolongin ini tanganku enggak bisa keluar. Sempit kali ini.” Pak Ramdi tiba-tiba menyembul dari balik pintu kamar mereka seraya berlagak kesulitan mengeluarkan tangannya dari saku celana. 

Bu Hasanah yang tadinya duduk di tepi ranjang segera beranjak, lalu hendak menolong lelaki berkumis tebal itu. 

“Tarraaa!” Suami Bu Hasanah mengeluarkan tangannya berikut dengan kotak merah kecil sebelum Bu Hasanah meraih tangan Pak Ramdi. 

“Apa itu, Pak?” tanya wanita berdaster itu dengan wajah terkejut.

Pak Ramdi tak langsung menjawab. Dia mengangsurkan benda itu kepada istri tercintanya. “Buka aja sendiri.”

Beberapa bulan lalu Bu Hasanah pernah bercerita tentang tetangganya yang menggunakan cincin baru. Wanita itu sangat menginginkan sebuah cincin. Akan tetapi, dia juga paham akan kondisi keuangan keluarga yang tidak sepatutnya hanya karena egonya, kebutuhan keluarganya menjadi tak terpenuhi. Bisa makan untuk makan sehari-hari saja rasanya sudah sangat bersyukur. Ditambah tiga anak yang masih masa pertumbuhan itu membuatnya harus pintar-pintar dalam mengelola keuangan yang ada.

“Ya Allah, Pak. Beneran ini? Cincin?” Bu Hasanah memastikannya seraya mengambil benda berbentuk lingkaran kecil itu. Dijawab dengan anggukan lengkap dengan senyum oleh suaminya. Seketika itu Bu Hasanah memeluk pria tambun itu.

“Terima kasih, ya, Pak,” lirih wanita yang berusia empat puluh tahun itu.

“Sama-sama, Bu. Itu hasil Bapak nabung karena Bapak lihat Ibu pengin sekali dengan cincin. Itu hanya ada satu-satunya di dunia ini. Bapak pesan itu. Lihat itu ada mata putihnya beda dari yang lain dan ada nama Ibu di baliknya,” jelas Bu Hasanah.

Wanita itu segera mengecek kebenaran yang dikatakan suaminya. Ternyata benar dia bisa melihat namanya di balik cincin itu. Wajah semringah tak bisa ditahan oleh Bu Hasanah. Hatinya berbunga-bunga tak karuan. Ingin rasanya malam ini segera berubah menjadi pagi, supaya bisa mengumumkan kepada ibu-ibu yang lain tentang cincin barunya. Pamer.

***

Bunyi yang ditunggu oleh Bu Hasanah lamat-lamat mulai terdengar. Semakin lama semakin jelas. 

“Yur. Sayur!” teriak Pak Asep, si tukang sayur keliling. Dia menjajakan sayurannya dengan gerobak ke seluruh desa. 

“Pak, beli. Sini,” panggil Bu Hasanah sembari melambaikan tangan kanannya.

Pak Asep dengan sigap mampir di halaman rumah Bu Hasanah. Dalam sekejap gerobak itu pun dikelilingi oleh ibu-ibu tetangga Bu Hasanah yang juga berbelanja. Sebenarnya mereka berkumpul begitu terkadang bukan hanya karena hendak membeli sayur, melainkan sekalian kesempatan bergosip ria. Contohnya Bu Hasanah sekarang ini. Niatnya untuk pamer diembel-embeli dengan belanja sayuran. 

“Ehem. Pak ini kangkungnya berapa seiket?” tanya Bu Hasanah sambil menyodor-nyodorkan tangannya yang bercincin.

“Tiga rebu, Bu. Wah! Cincin baru, nih.” Pak Asep yang melihat Bu Hasanah baru pertama kali mengenakan cincin bertanya penasaran.

Sontak semua pasang mata yang hadir di sana menjuruskan pandangannya pada tangan Bu Hasanah. 

“Wah, iya. Baru, Bu?” tanya Bu Wartik yang sedang memilih bawang merah.

“Iya, Bu. Ini khusus dibuatkan untuk saya dari suami. Ini ada ukiran nama saya di sini.” Bu Hasanah lantas mencopot cincin bermata putih itu dan menunjukkan kepada semuanya. 

“Halah paling juga hutang,” sahut Bu Tini yang selalu dengki saat yang lain dapat rezeki seraya memiringkan bibirnya.

“Eh, enggak, ya, Bu. Ini hasil nabung suami saya. Emangnya situ banyak hutang,” sanggah Bu Hasanah dengan bibir melengkung miring.

Semua ibu-ibu pun memuji cincin baru Bu Hasanah, kecuali Bu Tini. Dia dengan cepat membayar lantas berlalu begitu saja meninggalkan yang lainnya, mengingat apa yang dikatakan Bu Hasana barusan ada benarnya.

***

Baca selanjutnya: Cerpen Bintang Layu

Pagi-pagi buta kala Pak Ramdi masih tertidur, Bu Hasanah heboh membangunkan suaminya. Tubuh gempal lelaki itu digoyang-goyangkan. 

“Pak! Pak! Bangun, Pak!” 

“Ada apa, sih, Bu? Masih ngantuk ini.”

“Cincinku hilang, Pak,” jawab Bu Hasanah.

Dengan terpaksa akhirnya lelaki itu pun tersadar lantas beranjak dari tidurnya. Dia masih mencerna perkataan istrinya barusan seraya mengucek kedua netra sipitnya.

“Kok, bisa, Bu. Hilang di mana?” 

“Enggak tahu. Tadi sepertinya siap buang air besar tadi di kamar mandi. Atau jangan-jangan ....”

Bu Hasanah tak bisa menahan kesedihannya. Butiran bening pun keluar dari sudut matanya. “Masuk ke closet,” lanjutnya lagi. 

“Gimana, sih, Bu. Kalau sudah dibeliin, ya, dijaga. Hati-hati kalau punya barang berharga itu.“ Pak Ramdi dengan nada meninggi. Amarahnya memuncak, tetapi berusaha ditekannya. Kemudian, lelaki itu memilih berlalu meninggalkan Bu Hasanah keluar kamar. 

Wanita itu hanya menekuk wajah. Sesekali bahunya bergoyang akibat tangisnya yang tak bisa berhenti. Dia tak berpikir akan kehilangan benda yang sangat disayang itu. Andaikan uang yang dibelikan cincin itu untuk beli beras. Mereka tak akan repot-repot berpikir untuk makan mereka. Mulai saat itu Bu Hasanah akan lebih hati-hati, jika memiliki benda yang berharga. Bisa jadi hal itu juga teguran dari Allah karena Bu Hasanah sudah pamer-pamer supaya dibanggakan oleh ibu-ibu yang lain.

“Maafkan Ibu, Pak,” lirihnya setelah Pak Ramdi menghilang dari penglihatan Bu Hasanah.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: freepik.com