Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Tetangga Julid

Gambar abstrak


     “Pak, Akhir-akhir ini sering sekali kurir datang ke rumah Rusmin. Apa yang mereka beli, ya? Padahal, kan, Rusmin cuma seorang petani yang uangnya pas-pasan untuk makan sehari-hari,” celoteh sore Bu Sri kepada suaminya, setelah seorang kurir melewati halaman rumahnya.

    “Ya, tanya sendiri sana, Bu. Bapak mana tahu.” Respons Pak Yayan santai seraya menyesap kopi buatan istrinya barusan.

    Posisi rumah Rusmin yang berada di ujung desa, membuat semua pengantar paket selalu melewati halaman rumah Pak Yayan. Sebab itu, Bu Sri sangat paham sudah berapa kurir yang berlalu-lalang di depan rumahnya. Sebagai istri seorang ketua RW dan termasuk orang terkaya di kampungnya, wanita bertubuh gempal itu tak mau kalah saing dengan ibu-ibu yang lain. Saat arisan ibu-ibu, Bu Sri pasti unjuk gigi. Dia Memamerkan semua hartanya, bahkan terkadang sampai menganggap orang lain lemah. Tak segan terkadang wanita itu menyakiti hati ibu-ibu yang lain.

   “Ih, Bapak ini.” Istri Pak Yayan itu melenggang masuk meninggalkan suaminya sendiri di teras rumah. 

    “Apa salahku?” Suara ketua RW itu terdengar samar di telinga Bu Sri yang kini telah berada di dalam kamar.

    “Dasar lelaki tak peka. Tak mengerti maksud istrinya, ih,” lirih Bu Sri seraya mengentak-entakkan kaki ke lantai. Menyadari tak ada respons lagi dari suaminya, Bu Sri meraih ponsel di nakas, lantas dia menuliskan sesuatu di sana. 

***

    Hari yang biasa dinanti-nanti oleh ibu-ibu RW 06 kini tiba. Beberapa ibu sudah berkumpul di rumah Bu Sri. Bulan kemarin yang mendapatkan arisan adalah Bu Sri. Sudah keputusan sejak awal, untuk arisan selanjutnya diadakan di rumah orang yang mendapatkan arisan bulan ini. Seperti sekarang ini juga, arisan diselenggarakan di rumah Bu Sri. 

    “Ibu-ibu silakan dicicip kuenya. Jauh-jauh saya beli ini di dari kota, loh, kemarin. Heheh,” tawar Bu Sri.

    “Wah, enak banget ini, Bu Sri. Berapaan ini kalau beli?” tanya ibu berkerudung merah.

     “Ah, enggak mahal, kok. Cuma sejuta itu satu stoples.”

       Sontak seisi ruangan bak paduan suara mengucap, “Hah?” bebarengan.

    “Waduh, kalau saya, ya mendingan buat beli beras, sayur, dan lauknya, Bu.” Kali ini ibu yang berkerudung hitam mengeluarkan suaranya.

    Bu Sri hanya senyum. Dia kembali menuju dapur, mengingat minuman belum tersedia di sana. Setelahnya, dia mempersilakan ibu-ibu untuk meminum juga seusai menikmati kue mahal darinya.

   “Eh, Bu Sri. Yang ibu bilang di status FB Bu Sri siapa? ‘jarang keluar, tapi banyak paket berdatangan. Uangnya darimana?’. Apa tetangga yang satu itu?” ibu berkerudung merah tadi berusaha mengungkap isi status Bu Sri kemarin. Wajahnya diarahkan ke arah rumah Rusmin. Yang dimaksud ibu itu adalah istri Rusmin.

    Mereka menggunjingkan Rusmin dan istrinya. Semenjak menikah dengan Yani beberapa bulan lalu, Rusmin tetap seperti biasa ke sawah untuk menggarap padinya. Akan tetapi, kali ini seusai pekerjaan di sawah, dia segera kembali ke rumah. Berbeda saat masih lajang dulu, lelaki berkulit eksotis itu selalu mampir ke kedai kopi dan membaur dengan bapak-bapak dan pemuda di sana. Ditambah istri Rusmin yang masih asing di desa itu, membuat ibu-ibu arisan sore itu menerka-nerka apa yang dilakukan Rusmin dan istri.

    “Bagaimana kalau besok kita ke sana? Sekedar main gitu?” usul Bu Sri pada para hadirin.

    “Boleh, Bu. Saya besok ikut. Penasaran juga.” Salah satu hadirin membuka suara.

    Suasana semakin ramai, banyak yang ingin ikut serta. Mereka antusias sekali. Satu stoples kue kering yang seharga satu juta pun habis begitu saja oleh ibu-ibu arisan. Setelah dirasa tak ada yang digunjingkan, mereka segera mengocok arisan. Pun untuk mengetahui pertemuan berikutnya diadakan di rumah siapa. 

***

    Rasa penasaran meliputi ibu-ibu RW 06. Mereka memutuskan ke rumah Rusmin sore ini. Saat semua aktivitas sehari-hari sudah usai. Namun, sebagian mereka ada yang berhalangan. Mereka diwakili oleh tiga ibu-ibu termasuk Bu Sri.

    “Assalamualaikum ....” ucap Bu Sri sebagai pemimpin kedua ibu-ibu yang berkunjung ke rumah Rusmin.

    “Waalaikumussalam ....” Suara perempuan terdengar dari dalam rumah. 

    Tampak senyum Yani terlukis sempurna di bibir wanita berparas tinggi itu. Dia mempersilakan masuk ketiga tamunya. Lantas menuju dapur untuk membuatkan teh dan menyiapkan beberapa kudapan.

        “Silakan diminum dulu ibu-ibu,” ujar Yani seraya mengangsurkan teh hangat buatannya.

    “Wah! Ini ada gamis, daster, dan jilbab. Ini semua dijual?” tanya Bu Sri membuka percakapan mereka, sembari menunjuk salah satu gamis yang terpampang di ruang tamu.

    “Iya, saya menjadi reseller salah satu agen butik. Karena modal saya terbatas, saya hanya setok di rumah sedikit. Alhamdulillah pelanggan saya sudah ada dari berbagai daerah. Terkadang barang dikirim langsung dari pusat langsung. Jadi, saya tak perlu menyetok barang banyak-banyak di rumah,” jelas wanita berkerudung instan itu.

    Tak ada balasan dari ketiga tamu itu. Yang ada mereka saling beradu pandangan, menyiratkan bahwa pertanyaan mereka selama ini sudah terjawab jelas.

    “Saya juga kadang dibantu oleh Mas Rusmin. Membongkar dagangan dan membungkus pesanan pelanggan saya.” Yani melanjutkan kembali. 

    “Oh.” Suara hampir bersamaan Bu Sri dan kedua pasukannya.

   Yani mengajak tamu-tamunya untuk melihat-lihat barang dagangannya. Dia mengeluarkan semua stok yang dimilikinya. Terlihat jelas di wajah ibu-ibu itu semringah. Seraya ingin membeli semua yang ada di sana. 

    “Bagus-bagus, ya,” ucap Bu Indah.

    “Yang ini boleh dibeli, Say?” tanya Bu Minah dengan kerudung ungu di tangannya.

    “Boleh banget, Bu. Silakan, ini ada warna yang lain juga.”

    Semuanya sibuk dengan barang pilihannya sendiri-sendiri, kecuali Bu Sri. Air mukanya berbeda dengan ibu-ibu yang lain. Istri Pak RW itu hanya duduk di kursi sejak dia masuk tadi. 

    “Halah barang begini juga ada di toko langganan saya di kota. Paling juga ini enggak asli.” Bu Sri tampak menggeleng sebentar berikut dengan bibir bawah yang maju beberapa sentimeter.

Baca juga: Cerpen Anak Istimewa Ibu

    “Ini asli langsung dari pabriknya, Bu. Butik yang jadi langganan saya memproduksi sendiri barang dagangannya,” sanggah Yani sembari menyuguhi seulas senyum kepada Bu Sri.

    “Aku mau borong jilbab yang ini, ya. Untuk anak dan keponakan-keponakan. Bagus ini bahannya adem.”

    Melihat antusias ibu-ibu yang lain, Bu Sri semakin naik darah. Dia pergi begitu saja tanpa izin. Susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah itulah istri dari RW 06, Bu Sri.

***


Karya: Zahra Wardah

Sumber gambar: pixabay.com