Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Anak Istimewa Ibu

    

Cerpen anak istimewa ibu


    Hujan begitu lebat di luar. Saat ini aku kesal sekali di dalam kamar. Baru saja kakakku ketahuan oleh Ibu bermain hujan-hujanan di halaman rumah. Sebab itu, Ibu memarahiku. Kakak yang bermain hujan, aku yang dimarahi. Sedih. Dari dulu sering terbesit di otak. Kenapa harus aku yang disalahkan? Padahal jelas sekali yang berbuat itu Kakak. Sebel. Tidak adil. Misal, saat kaki kakak terkena pecahan kaca gelas yang baru saja dijatuhkannya. Pun aku yang dimarahi Ibu. Wanita itu selalu berpesan kepadaku untuk selalu menjaga Kakak. 

    “Sir, maafkan Ibu tadi, ya. Bukan maksud Ibu marah kepadamu. Ibu hanya ingin kamu menolong Ibu untuk selalu menjaga kakakmu.” Suara Ibu yang tiba-tiba masuk ke kamar memenuhi telingaku. Kalimat terakhirnya sudah sering menghiasi setiap perkataan Ibu kandungku itu. 

  Aku tak merespons Ibu. Hanya kepala yang mengangguk pelan dengan tubuh masih membelakanginya. Hening. Tetesan hujan yang saat itu menjadi saksi kedongkolanku pada Ibu. Ingin rasanya aku ungkap semua luka yang mendera batin. Akan tetapi, aku tetaplah seorang insan yang telah dilahirkannya. Tak pantas rasanya hanya karena secuil emosi, lantas aku melampiaskan semua.

      “Kamu memaafkan Ibu, kan?” tanya Ibu kembali setelah tak mendengar satu kata pun dariku.

    Tak tega aku membelakangi Ibu. Kuputar badan untuk mengadu pandangan dengan Ibu. Tampak air muka sendu wanita yang usianya menginjak setengah abad itu. Tangannya yang mulai keriput dapat kurasakan menyentuh tangan kananku. 

    “Iya, Bu. Maafkan Yasir juga. Tadi enggak mengawasi Kakak.”

    Spontan Ibu memelukku. Aku bisa merasakan kesedihan Ibu mendalam. Aku merasakan baju lengan atas bawah. Ini pasti air mata wanita berbaju kuning yang sedang kupeluk. Sesekali napas tersengal-sengal itu masuk ke pendengaranku.

    “Terima kasih banyak, Yasir,” lirihnya tepat di telingaku.

***

    “Sir. Bangun, Sir. Tolong kakakmu, Nak. Badannya panas banget. Yok,  kita bawa ke puskesmas.”

    Tengah malam yang dingin. Sebab, hujan baru saja reda. Ibu mengetuk pintu kamarku. Aku yang masih mengenakan jaket hitam karena dinginnya udara segera terjaga. Ya, kalau bukan aku siapa lagi yang akan menolong Ibu? Ayah sudah meninggal sejak aku masih bayi. Ibu hanya sendiri mengurus kami berdua. Maka dari itu aku selalu ingin membahagiakan wanita yang telah melahirkanku itu. Aku terpaksa kerja di bengkel milik paman untuk membantu Ibu yang hanya seorang buruh cuci baju tetangga-tetanggaku.

    “Ada apa, Bu?” tanyaku setelah membukakan pintu.

    “Ayok, bawa kakakmu ke puskesmas. Panasnya tinggi banget.”

    Tampak jelas begitu di wajah ayu Ibu kekhawatiran mendalam. Aku segera meraih tas kecil yang tergeletak begitu saja di atas ranjang. Kemudian menyiapkan bemo (becak bermotor) yang kumiliki. Sejak dulu motor yang dibelikan Ibu untukku didesain menjadi bemo, supaya jaga-jaga jika suatu saat terjadi sesuatu kepada Kak Ahmad seperti sekarang ini. Kita bisa langsung segera pergi ke puskesmas terdekat menggunakan kendaraan sendiri. Tanpa membenani orang lain. Mandiri. Itulah prinsip hidup Ibu yang diterapkan kepada kami.

    Cepat-cepat langkahku ke dalam rumah untuk membantu Ibu menyiapkan Kakak dan yang lainnya. Ternyata aku sudah mendapati Ibu sudah siap semua. Tinggal menggendong anak pertamanya itu menuju bemo.

    “Sudah siap semua, Bu?” tanyaku setelah menyadari Ibu sudah berada di dalam bemo.

   Dalam perjalanan aku selalu merutuki diri sendiri. Cerobohnya aku membiarkan Kak Ahmad berhujanan ria. Sekarang gara-gara itu Kak Ahmad deman tinggi sekali. Kakakku itu selain keterbelakangan mental, badannya juga lemah. Bawaan dia sejak bayi begitu Ibu pernah berkata padaku. Ibu dengan sabar dan sangat telaten mengurus Kak Ahmad. 

    Untungnya jarak puskesmas dengan rumah tak begitu jauh. Jarak tempuh hanya sepuluh menit. Di sana kami disambut oleh para  perawat yang membawa brankar untuk Kak Ahmad. Mereka cekatan sekali dalam menangani pasien. Di dalam sana mereka sedang mengecek semua kesehatan Kak Ahmad. Aku jadi teringat tingkah laku Kak Ahmad kemarin kepadaku.

    “Selamat ulang tahun, adikku!” seru Kak Ahmad kepadaku seraya bertepuk tangan riang gembira bak anak kecil.

    Aku yang baru saja pulang bekerja di bengkel menghela napas panjang, saat melihat kamar sudah berantakan oleh Kak Ahmad. Guling, bantal, seprai sudah berpisah berjauhan. Setiap kali dari luar aku selalu dikejutkan dengan tingkah-tingkah anehnya. Dia menganggap setiap hari adalah ulang tahunku. Iya aneh. Kak Ahmad memang berbeda. Berbeda dari yang lain. Dia bertingkah seperti anak kecil padahal usianya sudah dua puluh tahun lebih. 

    Ibu bilang Kak Ahmad adalah anak istimewa. Tubuhnya yang tak bisa tinggi, membuat banyak orang menggunjingnya. Walau orang lain mengoloknya, tetap saja kita harus membuat hatinya gembira. Pernah suatu hari dia sedih, karena sepedanya rusak. Sebab itu, seharian dihabiskan hanya untuk menangis. 

    “Ya, terima kasih, Kak.” 

    Aku berusaha memasang senyum palsu untuknya. Itu pun atas desakan Ibu yang berada di samping Kak Ahmad. Sebenarnya rasa malu kadang menyelusup ke hati, saat teman-teman mengejekku sebagai adik dari kakak yang tidak normal. Sedih.

***

    Ibu yang baru keluar dari dalam ruang di mana Kak Ahmad diperiksa menangis menghampiriku. Melihat pemandangan itu aku tersentak. Perasaan diri ini mulai tak enak. Ada apa di dalam?

    “Kakakmu ... kakakmu.”

    “Kakak kenapa, Bu?” Aku bertanya setelah Ibu tak meneruskan kalimatnya.

    Ibu tambah tersedu. Aku semakin bingung. Punggung Ibu aku tepuk-tepuk pelan.

   “Kakakmu sudah tidak ada, Sir. Tadi sempat kejang beberapa kali. Setelah itu sudah tak ada lagi,” lanjut beliau.

    Aku bergeming. Kucoba mencerna kata demi kata yang barusan keluar dari mulut Ibu. Apa ini mimpi? Kucubit sedikit tanganku. Sakit. Berarti ini bukan mimpi. Tak terasa butiran bening pun turun dari sudut mata. Tak kuasa aku menahannya. Kakakku yang malang selamat jalan. Hanya tangis yang menyelimuti kami waktu itu. 

    “Maafkan aku Ibu,” lirihku yang mungkin tak terdengar oleh Ibu. 

Baca juga: Penyesalan Tak Berujung

  Mobil ambulan puskesmas pun disiapkan untuk mengusung jenazah kakakkku tercinta. Ibu melepaskan pelukan seraya mengusap jejak-jejak kesedihan di pipinya. Dengan gontai dia menuju mobil itu. Mobil yang selalu ditakuti Kakak, karena dia dulu sempat melihat ayah meninggal di dalam mobil itu. Hingga dia berpikiran bahwa mobil ambulance itu jahat. Sekarang kakaklah yang berada di dalamnya. Sedangkan, aku pulang dengan mengendarai bemo. Kami pulang beriringan. Sepanjang jalan rasanya masih tak percaya, Kakak meninggal secepat itu. Allah lebih sayang Kakak.

***


Karya: Zahra Wardah

Sumber gambar: kompasiana.com