Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Penyesalan Tak Berujung

Penyesalan

     

Malam penuh dengan suara katak, karena baru saja hujan lebat mengguyur rumah sepasang suami istri. Mereka baru melangsungkan akad nikah beberapa hari lalu. Suasana pengantin baru masih terhirup di rumah dua insan itu. Terdengar suara tangisan tak terhenti dari bangunan sederhana itu.

    “Mas! Bangun, Mas!” Sesekali Narti menggoyang-goyang tubuh suaminya.

    Perempuan itu masih memastikan bahwa Maman suaminya yang sudah tak bernyawa. Sesekali dia memeluk mayat itu dengan sesenggukan. Dia tak sanggup lagi memberi tahu seseorang atas kematian suaminya barusan. Kakinya lemah juga tenaganya sudah terkuras oleh kejadian mendadak saat hujan turun. Untungnya beberapa saat kemudian, ibunya Narti berkunjung ke rumah mereka mengantar sop ayam kesukaan Narti.

    “Ya Allah, Nduk, kenapa?” Bu Aisyah setengah lari menuju anak perempuannya setelah meletakkan rantang di tangannya begitu saja.

    “Mas Maman ... udah enggak ada, Buk?”

    Wanita paruh baya itu bergegas memijat pelan tangan kanan Maman, lalu meletakkan jari di bawah hidung lelaki kaku itu. Bu Aisyah memastikan kebenaran ucapan putri kandungnya barusan. 

    “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,” ucap Bu Aisyah setelah memeriksa Maman.

    Narti semakin menangis. Lelaki yang baru menikah dengannya kini sudah tak ada. Kejadian itu begitu cepat. Narti mengetahui bahwa suaminya sudah tidak bernyawa, saat dia kembali dari dapur. Perempuan itu membuatkan kopi yang diminta oleh Maman. Tiba di depan televisi, Narti menawarkan kopi yang masih panas kepada lelaki yang sedang tidur di sofa. Tak ada sahutan dari lelaki itu. Pelan-pelan wanita berdaster itu mendekati suaminya. Dia mengguncangkan tubuh lelaki berkulit eksotis itu. Narti tersentak kala tak ada respons dan perlawanan dari Maman.

***

    Beberapa saat sebelum Maman berpulang, dia meminta Narti untuk duduk di sampingnya. Lelaki itu menatap lekat istrinya dari ujung rambut hingga bawah. Hal itu menyebabkan Narti salah tingkah. Kikuk.

    “Kenapa Mas ngelihatin aku begitu?” tanya Narti setelah sekian menit dihabiskan Maman hanya untuk menatapnya.

    “Dek, boleh aku meminta sesuatu … yang pernah aku minta juga kepadamu,” pintanya penuh harap.

    “Apa? Pakai jilbab lagi?” Narti mencebik, lantas memajukan bibirnya beberapa sentimeter. 

  Maman menarik napas berat melihat respons istrinya. Dia tak langsung menjawab, karena mempersiapkan perkataan supaya bisa menyentuh hati wanita yang duduk di sampingnya. Sudah beberapa kali Maman meminta supaya mahkota Narti ditutup dengan kerudung. Namun, perempuan tanggung itu selalu menolak, bahkan memberontak.

    “Iya, Dek. Kamu mau aku disiksa karena auratmu?”

    “Tapi sayang, Mas. Rambutku sudah diwarnai masak ditutup. Percuma, dong,” jawab Narti setengah membentak seraya berlalu menyisakan Maman yang hanya bisa geleng kepala.

    Sebagai imam di rumah tangganya, Maman sudah sekuat tenaga menasihati istrinya. Hasilnya tetap nihil. Walaupun tak ada perubahan sedikit pun dari Narti, Maman tetap bersabar dan selalu mendoakan istri tercintanya itu. Maman tak mau membuat istrinya semakin jengkel dengannya. Sebab, perjodohan yang dilakukan oleh orang tua Narti yang awalnya ditolak oleh wanita itu.

    Narti dijodohkan oleh orang tuanya dengan alasan klasik yang tidak bisa diterima oleh Narti. Ya, alasan bahwa kedua orangnya yang menjadi sahabat orang tua Maman. Narti paham apa pun alasannya yang dikeluarkan nanti pasti tak akan diterima oleh orang tuanya, terutama sang ayah yang mempunyai sifat keras dan otoriter. Dengan berat hati perempuan itu menerima perjodohannya dengan Maman. Hal itu yang membuat Narti sering memberontak dan abai akan perintah suaminya.

    “Ya, sudah terserah kamu, Dek. Aku hanya bisa memberitahu dan tak bisa memaksakan kehendak. Tenggorokanku kering, Dek. Tolong buatin kopi, ya.” Suara lelaki bersarung motif kotak itu meninggi, supaya istri yang sedang di dapur mendengarnya.

    “Iya.” Air muka Narti tampak seperti singa yang siap memangsa seekor rusa. Padahal baru kali ini Maman meminta tolong kepada wanita berambut panjang itu.

***

    Siang itu terlihat cerah sekali. Awan putih menghiasi birunya langit. Namun, hati Narti begitu terpukul oleh kepergian suami yang mulai dicintainya. Hatinya hancur. Tangisnya tak kunjung reda. Dia tak menyangka sekarang statusnya berubah lagi menjadi janda setelah beberapa hari lalu menjadi seorang istri. 

    “Sudah, Nduk. Ibu yakin kamu orang yang tabah. Kita doakan semoga Maman diampuni segala dosa dan diterima semua amalnya. Aamiin.” Wanita paruh baya itu mendekap putri malangnya.

    Penyesalan yang tak berujung meliputi Narti. Sering kali dia memberontak atau berselisih paham dengan suaminya itu. Dia menyaksikan jenazah Maman dimasukkan ke liang lahat. Tiba-tiba terngiang kembali ucapan Maman sebelum meninggal di telinga wanita itu. 

    “Kamu mau aku disiksa karena auratmu?”

    Pernyataan Maman yang berupa pertanyaan itu mulai membayang-bayanginya. Ada rasa takut yang mendalam di lubuk hatinya. Kekhawatiran demi kekhawatiran terhadap suaminya muncul berkelaluan. Hingga jenazah Maman tertelan oleh bumi masih saja wanita itu bersusah hati dan resah. Bagaimanakah kelanjutan nasib Maman di dalam sana? Apakah Maman di dalam benar-benar disiksa karenanya? Pertanyaan-pertanyaan itu sangat mengganggu pikirannya.

    “Ayok, Nduk kita pulang. Jangan bersedih lagi, ya.” 

    Suara Bu Aisyah menyadarkan Narti. Semua orang telah pulang, kecuali dirinya dengan Bu Aisyah. Dengan lembut dan hati-hati wanita berkerudung hitam itu menuntun anaknya. Mereka menuju gerbang area pekuburan desa Sukamaju. 

   “Bu apakah Mas Maman bahagia di sana?” tanya Narti mengawali perbincangan di perjalanan pulang. 

    “Insyaallah. Kamu kenapa, to? Yang penting kita doakan saja, semoga lapang kuburnya.”

    “Aku takut, Bu.” Narti menghentikan langkah kakinya yang diikuti oleh Bu Aisyah.

    “Takut kenapa?” Perempuan di samping Narti itu mengernyitkan dahi.

    Narti mengambil napas panjang, lantas membuangnya pelan-pelan. Berusaha menormalkan suasana hatinya. 

    “Apakah Mas Maman nanti disiksa karena aku tidak pakai jilbab?” 

    Narti menunduk. Seakan sudah tahu bagaimana jawaban ibu kandungnya itu. Sesekali dia mengusap jejak-jejak air matanya yang masih tersisa.

    “Jilbab itu kewajiban seorang muslimah seperti kamu ini. Nah, selain kamu sendiri nanti yang mendapat imbalan karena tidak melaksanakan kewajiban itu. Suami sebagai lelaki yang bertanggung jawab atas dirimu juga bisa terkena dosa juga ... jika dia membiarkan begitu saja istrinya memamerkan rambutnya.” Kini giliran Bu Aisyah yang mengambil napas panjang. 

    “Makanya dari dulu ayahmu sudah sering menasihati, kan? Kamunya yang tidak peduli.” 

Baca juga: Pengobat Lara

    Narti bergeming. Dia sadar bahwa perkataan ibunya memang benar. Sejak dulu dia tak pernah menghiraukan perkataan ayah dan ibunya. Wanita itu seketika memeluk Bu Aisyah. Tangisnya pecah kembali. Area pemakaman itu sebagai saksi rasa bersalah dan penuh sesal Narti.

    “Sudah. Yang penting setelah ini kita berubah menjadi muslimah yang baik. Menutup aurat, ya,” pinta Bu Aisyah seraya menepuk pelan punggung putrinya.

    “Nggih, Bu. Maafkan Narti, ya, Bu.”

  Perempuan paruh baya itu menjawab dengan anggukan pelan. Kemudian, melanjutkan lagi perjalanannya menuju rumah bersama putri tercintanya.

***


Karya: Zahra Wardah

Sumber gambar: ejurnal.unp.ac.id