Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Pengobat Lara

Cerpen Pengobat Lara

     Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk menahan air yang mulai menggenang di mata. Akan tetapi, usahaku tak membuahkan hasil. Malah cairan bening itu mengalir deras membasahi pipi. Di pojok tempat menjemur baju para santri inilah aku sekarang berada. Sengaja diri ini menyendiri supaya tak ada orang yang mengetahui. Rasanya malu jika ada yang tahu bahwa seorang lelaki sepertiku menangis. Bagaimana tidak?

    Di pondok ini akulah satu-satunya santri termuda. Sekarang aku masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Keputusan untuk pergi mondok pun aku sendiri yang meminta, atas usulan Nenek. Nenek yang selama ini banyak mengajariku. Baik itu tentang agama, adab, dan doa-doa penting sehari-hari. Aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri. 

    Ketika awal masuk ke sini tak ada tumpah air mata seperti santri-santri lainnya. Namun, hari ini saat semua santri sudah pulang untuk berlibur, aku sangat sedih sekali sendirian di sini. Kenapa tak ada wali yang menjemputku seperti yang lain? Walau Ibu tak terlalu peduli, tetapi beliau selalu mengantar dan menjemputku di pondok ini. Beliau selalu menyempatkan waktunya untuk itu di sela-sela bekerjanya sebagai karyawan kantor. 

    “San, kok, nangis di sini ayok, pulang. Aku yang akan mengantarmu. Ibumu tak bisa menjemput katanya. Lagian sudah dapat izin dari Yai,” kata Kang Ahmad seraya mendekatiku.

    Aku yang masih tersedu-sedu menoleh ke arah asal suara. Ada rasa senang mendengar pernyataan Kang Ahmad barusan. Kuseka semua air mata yang sudah membasai sebagian muka. Entah sekarang bagaimana bentuk wajahku? Dengan sisa kepercayaan diri yang kumiliki,  aku menatap Kang Ahmad. 

    “Be-ne-ran, Kang?”

    “Iya, makanya sudah nangisnya. Buruan! Aku nanti yang ngantar,” jelas salah satu pengurus pondok pesantren Al-Ikhsan itu.

    “Terima kasih, Kang. Aku siap-siap dulu, ya.”

    “Iya, aku tunggu di ruang tamu,” ucap Kang Ahmad seraya berlalu.

     Aku pun mengekor di belakangnya menuju kamar untuk menyiapkan baju-baju yang akan kubawa. Hati ini bahagia, akhirnya bisa pulang seperti teman-temanku yang lain. Rindu ini sudah mendalam kepada Nenek dan Ibu.

***

    Sehari sebelum aku memutuskan untuk pergi mondok, kejadian memilukan terjadi tepat di depanku. Ayah dan Ibu bertengkar hebat. Ayah pergi membawa barang-barangnya. Entah apa yang membuat mereka bertengkar. Yang jelas aku mendengar kata ‘pisah’ dari kedua belah pihak. Tak kuat oleh pemandangan itu, aku berlari ke kamar. Ternyata Nenek membuntuti sampai ke kamarku.

    “Hasan ... nenek yakin kamu anak yang kuat dan hebat. Kamu masih punya nenek yang selalu menyayangimu.” Suara Nenek yang sudah mulai senja terdengar sedikit meneduhkan. Dia mengelus pelan punggungku yang sedang menangis.

    “Bagaimana kalau kamu mondok di desa sebelah? Di sana kamu akan senang mendapat teman-teman baru. Kalian bisa bersama-sama belajar dan mengaji,” ucapnya lagi.

    Tanpa pikir satu anggukan pelan menjawab pertanyaan wanita yang sangat aku percayai itu. Aku yakin setiap omongan Nenek itu pasti benar dan akan membuatku kepada kebaikan. Jadi, tak ada alasan lagi untuk menolaknya.

    “Nanti di sana doakan kedua orang tuamu. Doa anak saleh insyaallah cepat dikabulkan oleh Allah, Nak.” Nenek memberi petuahnya untuk cucu satu-satunya ini.

    Aku menghentikan tangisan dan berbalik memeluk Nenek. Selang beberapa menit aku melepaskan pelukan, lalu mengelap sisa-sisa air mata di wajahku. Tampak perempuan yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tersenyum manis. 

    “Kalau begitu aku harus bersiap-siap, Nek.”

    “Iya. Besok biar ibumu yang mengurus perpindahan sekolahnya.”

    Aku bersemangat sekali membayangkan di pondok bertemu dengan teman-teman baru. Pun bebas dari rumah yang isinya hampir setiap hari pertengkaran kedua orang tuaku. Ransel besar berwarna hitam aku ambil dari lemari. Beberapa baju masuk ke dalamnya dibantu oleh nenek kesayanganku. 

    “Nenek enggak pa-pa di rumah sama ibu sendiri? Ayah sudah pergi, ‘kan?” tanyaku pelan.

  “Nenek sama ibumu sudah dewasa. Ditinggal sendirian pun tak masalah.” Beliau berusaha menenangkan hati, disertai senyum khas Nenek yang sungguh manis menurutku.

***

    “Kang, kenapa Ibu enggak bisa jemput aku?” tanyaku yang duduk di belakang Kang Ahmad.

    Motor yang kami boncengi melaju kencang. Kalau tidak pegangan baju Kang Ahmad, mungkin aku bisa saja melayang. Lelaki yang mengendarai motor di depanku tak menjawab pertanyaanku. Entah tidak mendengar atau sengaja tak mau menjawab. Aku tak tahu. Hal itu kubiarkan begitu saja. Yang jelas rindu ini akan segera terobati setelah sampai rumah. Akan tetapi, tak begitu jauh sebelum sampai, aku memerhatikan rumah yang ramai. Benar itu rumah kami. Ada apa di sana?

    Kang Ahmad segera memarkir motornya di antara banyak beberapa motor. Sekarang halaman rumah penuh dengan motor. Dia menepuk pelan pundakku. 

    “Sabar, ya, San,” ucapnya. 

    Ada apa ini? Pelan-pelan aku menuju rumah. Mengabaikan Kang Ahmad yang sudah mengantarku tadi. Ada satu papan ucapan di sana. Aku membacanya pelan-pelan, memastikan bahwa ini nyata.

    “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Kami turut berduka cita atas meninggalnya Nenek Surti.”

    Butiran bening kembali tumpah ruah. Aku bergegas masuk. Sekujur tubuh yang sudah kaku berada di sana. Kain kafan sudah membalut Nenek. Jenazah itu hendak berangkat ke tempat terakhir. Nenek yang dengan sabar membantuku mengeja huruf demi huruf hijaiyyah. Beliau juga yang menuntun dan mengajariku bersepeda. Kini tinggal kenangan bersamanya. 

    “Awalnya nenekmu sakit perut, San. Belum sampai dibawa ke rumah sakit, malah beliau sudah tidak ada,” ucap lelaki yang aku kenal betul suara siapa itu.

    Aku menoleh ke lelaki itu. Iya, dia ayah. Apakah Ayah kembali hanya untuk nenek dan kemudian pergi lagi? Atau kembali kepada Ibu? Banyak pertanyaan yang mendesak di otak. Sebetulnya Ayahlah putra kandung Nenek, sedangkan Ibu hanyalah menantu yang bersedia mengurus Nenek. Semua pertanyaan kusimpan rapat-rapat. Saat waktunya nanti semuanya akan aku sampaikan kepada Ayah.

***

    Senja tampak indah saat itu. Jelas di atas banyak burung bermain-main. Aku melihatnya dari depan rumah. Pun hatiku, hari ini sangat bahagia. Di samping kanan dan kiri ada Ayah dan Ibu yang kini telah kembali bersama. Aku memang tak tahu pasti apa masalah mereka dulu, yang pasti sekarang aku sangat bersyukur. Sebab, keduanya ada di sini. 

    “Sebelum nenekmu meninggal, beliau berpesan kepada ayah supaya kembali ke rumah dan jangan sampai membuat kalian menangis lagi. Ayah minta maaf, ya, Bu ... San.” Dengan berkaca-kaca lelaki yang aku anggap sebagai pahlawan itu menatap Ibu dan aku secara bergantian.

    “Sama-sama, Yah.” Kami menjawab hampir bersamaan. 

Baca juga: Cita-Cita Naya

    Lantas kami bertiga saling memeluk disaksikan oleh indahnya alam sore itu. Ubi hangat pun turut menghangatkan suasana saat itu. Tidak terasa ludes begitu saja oleh kami bertiga. 

    “Yok, kita sama-sama baca Alfatihah buat Nenek. Semoga beliau diampuni segala dosa, dan diterima semua amalnya. Juga mendaoatkan rida dari Allah. Aamiin. Alfatihah.” 

    Ayah memimpin doa untuk nenek tercinta. Kami pun semua membaca surah Alfatihah bersama-sama. Kami dibubarkan oleh suara azan Magrib yang mulai menggema. Ayah dan aku menuju masjid, sedangkan Ibu salat di rumah.

***


Karya: Zahra Wardah

Sumber gambar: rumahkeluargaindonesia.com