Cerita Singkat tentang Kehidupan Berjudul Secuil Hati di Pesantren
“Aku enggak mau dijodohkan dengan anak desa, Yah. Anak pesantren lagi, kolot pasti,” rengek Nur kepada ayahnya sembari beranjak meninggalkan meja makan malam itu.
“Nur! Kamu mau Ayah dan Ibu disiksa di neraka karenamu?” tanya Pak Amri dengan nada meninggi seraya memandang putrinya yang mulai menjauh darinya.
Nur berhenti sejenak dengan posisi yang masih membelakangi ayahnya, mencerna maksud pertanyaan Pak Amri. Akan tetapi, perempuan pemilik alis tebal itu melanjutkan langkahnya. Ucapan ayahnya dianggap angin yang masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Perempuan itu menutup daun pintu kamarnya dengan keras.
Malam semakin pekat. Perempuan yang bernama lengkap Nur Rahmi itu ternyata tak sanggup menutup matanya. Perkataan sekaligus pertanyaan Pak Amri terakhir kali kepadanya, membuat gadis itu pusing. Semalaman gadis berkulit putih itu memikirkan hal itu matang-matang. Satu sisi, dia tak mau dijodohkan. Namun, sisi yang lain Nur tak mau melukai hati Pak Amri.
Pergaulan Nur di luar rumah sangat bebas. Pakaiannya sopan. Hanya saja gadis itu belum berjilbab. Dia sangat suka mengikuti teman-temannya yang bebas tanpa ada aturan-aturan yang mengikat.
Hal itu sangat mengganggu pikiran Pak Amri sebagai kepala keluarga. Itu juga yang menjadi alasan beliau menjodohkan Nur dengan anak Kiai Saleh di kampung. Tempat kelahiran Pak Amri dahulu. Sebelum hidup di kota, lelaki yang berkumis tebal itu dulu bertempat tinggal di sebuah desa kecil. Lantas mencari peruntungan hidup ke kota, hingga sukses seperti sekarang.
“Yah, aku mau dijodohkan dengan putra Pak kiai itu. Tapi dengan syarat aku enggak mau diatur-atur nantinya.” Nur terpaksa mengikuti perintah Pak Amri setelah semalaman menimbang.
“Itu masalah kamu dengan suamimu nantinya. Kalau sudah nikah, Ayah enggak ada lagi tanggung jawab atasmu,” jelas pria dengan kemeja putih yang membalut tubuhnya. Dia sangat bersyukur akhirnya putri satu-satunya itu menyetujui perjodohannya dengan teman sekaligus sahabat kecilnya itu.
Pagi itu anak dan ayah itu sarapan bersama dalam satu meja. Dua lembar roti tawar berikut dengan segelas susu hangat sudah tersedia di benda yang berbentuk persegi panjang itu. Nur menyantapnya dengan lahap. Sekilas wajahnya yang putih tampak semakin cerah karena terkena sinar matahari yang menembus masuk ke ruangan itu.
Istri Pak Amri sudah lama meninggal. Jadi, Nur tumbuh tanpa sentuhan kasih seorang ibu. Makanya dia bisa sekehendak hati melakukan apa pun sesuai keinginannya. Sebab, Pak Amri sangat sibuk sekali bekerja, sampai waktunya untuk Nur sangat terbatas.
***
Hari yang membahagiakan bagi Pak Amri pun tiba. Lelaki itu sangat bersemangat dan antusias menyalami tamu yang mulai berdatangan. Akhirnya Nur telah sah menjadi istri Ustaz Karim putra Kiai Saleh.
Berbeda dengan raut wajah si mempelai perempuan yang sedang duduk bersanding dengan Ustaz Karim, wajahnya yang sudah berpoles make up ditekuk. Tak ada lengkungan sempurna di sana.
“Dek, kalau kamu belum rida. Saya tidak akan memaksamu untuk menjalankan kewajiban sebagai istri. Saya siap menunggumu,” ucap Ustaz Karim yang menyadari bahwa istrinya mungkin tak nyaman dan belum ikhlas menjadi istrinya karena dijodohkan. Dia bisa melihat itu di sepanjang pesta tadi.
“Terima kasih sudah memahamiku. Maaf,” lirih Nur.
Ustaz Karim pun dapat memaklumi istrinya. Kemudian, dia mengambil satu bantal dan tidur di sofa yang ada di ruangan itu. Lelaki berkumis tipis itu membiarkan Nur tidur di kasur sendiri.
“Tak mungkin kita beda kamar. Nanti semuanya curiga. Mendingan saya tidur di sini saja supaya tidak khilaf.” Lelaki berparas tinggi dan berkulit putih bersih itu dengan sabar mampu menghadapi istrinya. Hingga akhirnya Nur pun mulai meleleh karenanya.
Sebulan sudah pernikahan mereka. Nur mulai menaruh hati kepada Ustaz Karim. Penampilannya sekarang sudah berubah atas didikan dari suaminya itu. Wanita itu berniat nanti malam akan menyerahkan segenap jiwa dan raganya untuk sang suami, menjadi seorang istri sepenuhnya.
“Dek, sudah siap? Kita berangkat sekarang, yok,” ajak Ustaz Karim dari luar kamar mereka.
Kali ini mereka berdua ditugaskan oleh Kiai Saleh untuk menilik pembangunan pesantren yang nantinya akan dipimpin oleh Ustaz Karim.
“Iya, sebentar lagi, Mas,” balas Nur dengan nada sedikit tinggi supaya lawan bicaranya mendengarnya.
***
Perjalanan mereka ditempuh hampir satu jam. Sepanjang perjalanan Nur sangat mensyukuri nasibnya telah bertemu dengan Ustaz Karim. Hidupnya semakin terarah dan menenangkan jiwa. Dia memandangi suaminya sampai bulu matanya tak bergerak. Sungguh, Tuhan telah mengirimkan orang terbaik untuknya.
“Kamu kenapa, Dek? Terpesona dengan ketampananku? Hehehe.” Gurauan Ustaz Karim baru kali ini sukses mengukir lengkungan sempurna pada bibir Nur. Hal itu pun membuat lelaki berkopiah hitam itu membalas senyuman itu. Hatinya serasa terbang ke awan.
“Iya. Aku sudah terkagum dengan suamiku,” lirih Nur. Dia tak mau Ustaz Karim sampai mendengarnya. Akan tetapi, lamat-lamat suaminya itu mendengar.
“Apa?” tanya lelaki berhidung mancung itu, memastikan. Dia mengalihkan pandangannya sejenak kepada istri yang duduk di sampingnya. Hampir pria itu kehilangan fokus untuk mengemudi sampai hampir menabrak trotoar jalan. Untungnya segera Ustaz Karim bisa mengendalikan semua.
“Kamu enggak kenapa-kenapa, kan, Dek?” Ustaz Karim khawatir dengan istri tercintanya.
Nur bukannya ketakutan karena mobil yang mereka tumpangi hampir menabrak. Dia justru tertawa. Tangannya menutup mulutnya supaya tak ketahuan bahwa dia sedang menertawakan Ustaz Karim. Semakin ke sini perangai Nur berubah menjadi seorang wanita yang lembut.
Baca juga: Cerpen Singkat tentang Kehidupan Berjudul SEBUAH PECI
“Enggak, Mas.”
Ustaz Karim menghela napas, lega. Dia pun melanjutkan perjalanannya kembali. Sampai di sana sepasang suami istri itu di sambut oleh para pekerja pembangunan pesantren itu. Semua orang ramah dan sangat menghormati mereka berdua. Ustaz Karim dan Nur diantar oleh salah satu pekerja di sana untuk melihat-lihat gedung. Ada yang sudah hampir selesai. Ada juga yang baru menaikkan batu bata. Tiba-tiba dari atas ada alat berat yang jatuh.
“Awas, Mas!” pekik Nur kepada suaminya.
Istri Ustaz Karim itu lari menghampiri suaminya yang tak jauh darinya. Di depan mata kepalanya Ustaz Karim mengembuskan napas terakhir.
“Mas, maafin aku, Mas. Jangan pergi dengan begini. Aku akan mengabdikan semua jiwa dan ragaku hanya untukmu. Aku mencintaimu, Mas.” Butiran bening yang turun dari sudut matanya mengiringi kelopak mata Ustaz Karim yang mulai menutup pelan-pelan.
Wajah Ustaz Karim tampak semringah. Lamat-lamat dia mendengar pengakuan istrinya. Mungkin, hal itu yang bisa membuat lelaki itu berpulang dengan tenang untuk selamanya.
***
Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: pixabay.com