Cerpen Singkat Tentang Kehidupan Berjudul SEBUAH PECI
“Berapa semua ini, Kang?” tanya Bu Nini seraya menyerahkan belanjaannya kepada lelaki yang berpeci putih.
“Kangkung dua iket dan cabe rawit seperempat 23 ribu saja, Bu,” balas Kang Karmin berikut dengan senyum manisnya.
Selang beberapa menit seusai proses jual-beli ibu-ibu, Kang Karmin lekas pergi meninggalkan sekelompok pelanggannya yang masih bergerombol di tempat semula. Lamat-lamat masuk ke pendengaran lelaki itu suara yang sedikit mengusik hatinya.
“Kang Karmin sekarang pakai peci putih, ya. Seperti orang haji saja. Mungkin dia mabuk haji, kali. Makanya, peci haji pun dipakainya.”
Gelak tawa cemoohan ibu-ibu itu sampai ke telinga Kang Karmin yang sudah menjauh dari tempat sebelumnya. Sepanjang jalan lelaki itu beristigfar sembari mendorong gerobak sayurnya. Lantas lelaki yang bertubuh tinggi dan kurus itu berdoa dalam hati supaya keinginannya sejak dulu untuk berangkat haji terwujud.
Kang Karmin kerap menceritakan tentang keindahan dan keistimewaan kota Makkah sesuai dengan buku yang dia baca kepada para pelanggannya. Meski hanya dari buku, lelaki yang profesinya jualan sayur keliling itu semangat sekali dalam bercerita.
Tampak jelas sorot matanya rasa ingin berkunjung ke sana. Jelas, dari situ ibu-ibu pelanggannya sering meledeknya. Apalagi saat Kang Karmin mulai memakai peci putih yang diberikan oleh Ustaz Nasir tempo hari. Bukan dari pelanggannya saja, para tetangga pun membicarakannya karena peci itu.
“Insyaallah Kang Karmin akan menyusul ke sana juga kelak.” Begitulah ucapan dari Ustaz Nasir yang baru saja pulang dari umrah sambil memberikan peci putih yang sekarang selalu dipakai Kang Karmin.
“Amin.” Dengan lantang dan penuh harap lelaki tinggi itu mengaminkan doa Ustaz Nasir. Beliau sangat yakin bahwa doa dari orang yang baru saja pulang dari Makkah akan terkabul. Entah bagaimana caranya? Dia selalu memasrahkannya kepada Allah.
Malam yang mulai dingin dan pekat. Kebanyakan penduduk desa masih lelap dengan tidurnya. Jam menunjukkan jam tiga dini hari. Kang Karmin membangunkan istrinya untuk salat malam bersama. Di rumah sederhana itu, hanya mereka berdualah yang menghuni. Setelah sepuluh tahun menikah belum ada tanda-tanda kehidupan baru dari rahim istrinya. Seperti malam-malam sebelumnya mereka pun tenggelam dalam buaian kasih yang sejati. Cinta Allah. Dalam bait-bait doa yang dipanjatkan Kang Karmin.
“Kang, aku ingin ke Makkah,” kata istrinya lembut dengan kepala bersandar kepada suaminya yang baru saja selesai salat hajat.
“Sama, Akang juga pengen sekali. Coba kita bayangkan saja dulu. Kita ke sana berdua umrah. Setelah pulang ke Indonesia, kamu hamil. Begitu bahagianya.”
Mereka berdua menatap langit-langit rumah sederhananya. Angan mereka sama, yaitu pergi ke Makkah. Tempat Rasulullah dilahirkan. Tempat setiap doa diijabah oleh Allah.
***
“Jambret! Jambret! Jambret! Tolong dompet saja dijambret.” Pekik seorang ibu-ibu yang hendak pulang dari pasar.
Dengan sigap dan cepat Kang Karmin yang juga baru selesai belanja untuk barang dagangannya mengejar penjambret itu. Dengan keahlian seadanya, pencopet dompet itu akhirnya dapat dikalahkan oleh Kang Karmin. Warga pasar pun ramai mengerubungi pencuri tersebut.
“Sudah. Kita jangan main hakim sendiri, ya, saudara-saudara. Kita serahkan saja ke pihak yang berwajib,” ucap Kang Karmin, mewaspadai supaya tidak ada hal-hal yang tak patut dilakukan oleh warga pasar.
Beberapa orang pun mengamankan pencuri itu dan menelepon polisi supaya ditindak lanjuti. Sementara itu, wanita tambun yang baru saja kehilangan dompetnya mendekati Kang Karmin. Dia sangat berterima kasih kepada tukang sayur tersebut. Begitu berharganya dompetnya, hingga perempuan itu menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah. Akan tetapi, Kang Karmin menolaknya secara halus.
“Kalau begitu. Nama Akang siapa? Kalau saya Bu Indah. Akang tinggalnya di mana? Mana tahu kapan-kapan saya bisa main ke sana?” Senyum manis itu terlukis indah sesuai dengan nama perempuan itu, Indah.
“Saya Karmin, Bu. Tukang sayur di desa sebelah. Rumah saya tepat di perbatasan desa. Tanya saja dengan penduduk sana kalau mau mampir ke gubuk saya, pasti mereka sudah kenal saya.” Lelaki itu pun membalas dengan menundukkan kepalanya sedikit. Kemudian, dia undur diri karena harus segera menjajakan dagangannya keliling desa.
***
Dua hari semenjak kejadian di pasar itu. Tiba-tiba di halaman Kang Karmin masuk sebuah mobil mewah berwarna merah. Tampak Bu Indah dengan seorang lelaki keluar dari sana. Mereka mendekati pintu rumah Kang Karmin.
“Assalamualaikum ....”
“Walaikumussalam ....” Sejenak terdengar suara jawaban salam perempuan pula dari dalam rumah sederhana itu. Lantas muncul dari pintu Bu Aisyah, istri dari Kang Karmin.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu, Pak?” tanya istri Kang Karmin seraya memandang ke Bu Indah dan lelaki yang berada di sebelahnya.
“Betul ini rumah Kang Karmin penjual sayur?”
“Iya.”
“Saya Bu Indah dan ini suami saya, Pak Eko. Kang Karmin tempo hari membantu saya mengambil kembali dompet saya yang dimaling saat di pasar.”
“Oh, ya. Akang sempat cerita juga sama saya. Mari masuk dulu. Akang sedang mandi. Sebentar lagi juga selesai. Silakan-silakan.”
Mereka berdua lantas duduk di sofa yang sudah tampak lawas. Sementara itu Bu Aisyah izin ke dapur untuk menyiapkan minuman dan kudapan untuk mereka berdua. Tak ada yang istimewa di ruangan itu. Hanya ada gambar ka’bah besar sekali terpasang tepat di tengah-tengah dinding ruangan persegi empat itu.
“Wah! Ada tamu, ya.” Kang Karmin datang dengan mengenakan peci putih kebanggaannya, lalu menyalami tamunya. Aroma lemon dari sabun mandi yang Kang Karmin pakai menguar sampai ke ruang tamu. Kemudian, tamu dan pemilik rumah itu bercakap-cakap, mencoba saling memasuki dunianya.
“Itu gambarnya bagus banget, ya, Kang. Sepertinya beda dengan yang lain.” Pak Eko menunjuk satu-satunya gambar yang ada di ruang tamu itu.
Baca juga: Puisi Teruntuk Ananda Naylul Mufida
“Masak, Pak? Itu saya beli di pasar, kok. Saya dan istri sangat ingin ke sana. Makanya saya beli itu untuk pengingat dan doa kami.”
“Kalau ada yang nawarin ke sana, Kang Karmin mau?” tanya Bu Indah.
“Ya, siapa yang enggak ingin ke sana, Bu,” balas Kang Karmin.
“Kalau begitu. Yok, bulan depan kita umrah bersama.”
Deg. Seketika dada Kang Karmin berdebar kencang. Dia mencerna tawaran Bu Indah barusan. Lelaki itu mencubit tangannya sendiri. Sakit. Ini bukan mimpi. Ini Nyata. Berulang-ulang yang keluar dari mulut lelaki itu hanyalah hamdalah dan ucapan syukur kepada Bu Indah dan Pak Eko.keinginnya bersama istri untuk berziarah ke tempat kelahiran Rasulullah akan segera terwujud.
***
Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: freepik.com