Cerpen: Keajaiban Tangan Ibu
Senja telah menyapa. Hari pergi meninggalkan siang. Sebentar lagi perubahan dunia terang menjadi gelap. Aku terseok-seok dari arah lapangan bola yang tak jauh dari rumah. Butiran-butiran bening keluar dari sudut mata. Dari depan rumah pandanganku belum menangkap sosok wanita yang telah mengandungku sembilan bulan.
“Bu, kakiku sakit!” Tangisku semakin pecah seiring dengan darah yang terus mengucur dari lututku.
Ibu tampak tergopoh-gopoh dari dalam rumah. Panik. Wajahnya yang teduh berubah menjadi gambar kekhawatiran yang memuncak.
“Innalillahi. Kenapa bisa begitu, Nak kakimu?” tanya wanita yang berbaju hijau tua itu seraya memapahku ke dalam rumah.
Mulutku belum sanggup menjelaskan dengan rinci. Aku memilih diam sejenak dan menahan rasa sakit yang kujalani. Sesampai di kursi kayu yang sudah mulai lapuk di ruang tamu itu aku didudukkan Ibu. Segera beliau mencari peranti untuk mengobati kaki kananku. Obat merah dengan balutan kain bersih yang sudah tak terpakai ditutupkan Ibu ke lututku yang luka.
“Bagaimana ini ceritanya? Kok, bisa sampai begini?” tanya perempuan yang sangat kuhormati itu lagi.
“Tadi waktu main bola, Deki dengan sengaja menjegal kakiku sampai aku terjatuh. Sepertinya dia tak terima kalau kelompoknya kalah,” ungkapku seraya meringis kesakitan.
Sejak masuk sekolah dasar sampai sekarang madrasah tsanawiyah, aku hobi sekali main sepak bola. Kalau tak ada tugas dari sekolah maupun dari Ibu aku pasti bermain bola di lapangan. Cita-cita menjadi pemain sepak bola tak pernah akan berganti. Seperti kebanyakan cita-cita anak yang lain yang kadang ingin menjadi dokter, lambat laun berubah menjadi guru atau sebaliknya.
“Hemmm ... makanya kalau main bola hati-hati. Ibu percaya kamu anak hebat. Tak usah menaruh dendam pada Deki, ya. Balasan itu Allah yang ngatur. Kita hanya ikhtiar dan berdoa.” Ibu menasihatiku. Satu-satunya perempuan panutanku. Sekali pun tak pernah beliau marah kepadaku. Beliau hanya memberi petuah dengan cara yang sukses membuatku mengikutinya selalu.
Sejak Bapak meninggal dunia, beliaulah satu-satunya tumpuanku. Beliau berhasil membuatku bangga menjadi anaknya. Aku juga sangat yakin Bapak pasti bahagia di sana karena Ibu telah berhasil menggantikan posisinya sebagai kepala keluarga. Bagaimana tidak? Siang, malam Ibu menjahit mencari nafkah untuk makan sehari-hari kami. Tak pernah aku mendengar sekali pun mulut beliau mengeluarkan keluhan.
Sebagai anak yang masih sekolah kelas delapan MTS aku belum bisa banyak membantu Ibu. Malah selalu merepotkannya. Kadang malu sekali sebenarnya untuk meminta uang jajan sekolah. Akan tetapi, aku juga tak bisa menahan seharian di sekolah tanpa ada pengganjal perut. Sesekali kala jahitan Ibu sedikit dan belum keluar gajinya, aku dibuatkan bekal dari rumah walaupun seadanya sebagai pengganti jajan. Untungnya untuk uang bayaran sekolahku gratis karena aku seorang anak yatim.
***
Sudah seminggu ini aku ke sekolah menggunakan kruk. Kakiku masih belum pulih, justru seperti mati rasa. Beberapa kali Ibu mengajakku pergi ke puskesmas, tetapi aku menolaknya. Bukan tanpa alasan, melainkan karena keuangan beliau sedang minim. Uang gaji Ibu bulan ini belum turun dari bosnya.
“Nak, ayok kita ke puskesmas periksa kakimu. Biar kamu bisa main bola lagi. Ini Ibu baru saja gajian. Jangan khawtir,” jelas Ibu dengan semringah seraya menunjukkan kepadaku amplop dari hasil jerih payahnya.
Aku bergeming. Betul juga kata wanita yang sangat kucintai itu. Aku harus segera sehat dan bermain bola lagi demi menggapai cita-citaku. Semakin aku sakit pasti Ibu semakin repot, pikirku. Maka dari itu, kali ini kuputuskan untuk menerima tawaran beliau pergi ke puskesmas.
“Baik, Bu. Ayo, kita berangkat sekarang kalau begitu.”
Kami berdua akhirnya ke puskesmas desa. Kebetulan ada tetangga baik hati yang siap membantu kami ke mana pun, Pak Sugi. Menggunakan mobil Pak Sugi kami ke tempatku periksa. Walaupun jarak puskesmas tak terlalu jauh dari tempat tinggalku, tetap saja dengan kondisi kakiku yang belum pulih tak mungkin kami berjalan kaki.
Ibu memayangku masuk ke gedung bercat putih itu. Di sana disambut baik oleh petugasnya. Sejenak kami menanti dokter datang, lalu dipanggil masuk ke ruangan yang di depannya bertulis nama dr. Geri.
“Bagaimana keluhannya, Han?” tanya lelaki yang sudah hampir separuh kepalanya dipenuhi oleh uban.
“Sepertinya semakin hari enggak terasa apa-apa dan tak bisa digerakkan, Dok bagian lutut ke bawah,” jelasku.
Lelaki itu lalu mengecek kakiku. Dipijat sedikit di bagian lututku. “Terasa sakit kalau diginikan?” tanyanya.
“Enggak, Dok?”
“Ini harus diperiksa di rumah sakit yang ada alat lengkap untuk scan kakimu. Takutnya ini bisa lumpuh selamanya. Kali ini saya kasih obat supaya otot-ototnya enggak kaku.” dr. Geri memberikan beberapa obat dari rak-rak obat yang ada di belakangnya.
Ibu yang juga berada di ruangan itu syok, mendengar penjelasan lelaki satu-satunya di dalam ruangan itu. Beliau mengerutkan dahi, lantas memijatnya. Meski beliau tak mengeluh, tetap saja jelas di wajah teduh itu menggambarkan bahwa jiwanya tak baik-baik.
***
Baca juga: Review Novel Indigo Mencari Tuhan
Butuh biaya yang banyak untuk ke rumah sakit. Wanita berwajah teduh itu hanya bisa pasrah sembari menabung supaya bisa ke rumah sakit. Setiap harinya beliau memijat seraya merapal doa-doa untuk kesembuhan kakiku. Sampai tabungan Ibu dirasa sudah cukup untuk periksa ke rumah sakit dengan peralatan lengkap. Seperti biasa Pak Sugi mengantar kami. Kaki kananku yang cedera diperiksa dengan alat yang tak kuketahui namanya.
Sosok lelaki mengenakan jas putih menjelaskan hasil dari pemeriksaan itu. Seperti yang dikatakan dr. Geri dulu di puskesmas tempo hari. Kakiku bisa saja lumpuh, kecuali dengan beberapa terapi dan obat yang itu tak murah biayanya. Itu pun harapannya hanya sedikit.
Aku tahu setiap malam, Ibu ke kamarku untuk mengurut kakiku. Tanpa sepengetahuan beliau, aku mendengar jelas setiap doa yang dipanjatkannya. Pun isakan tangis yang terdengar jelas ke pendengaranku. Sesak. Dadaku terasa pengap saat mendengar itu semua. Tangisku tanpa suara menjadi saksi setiap bait doa Ibu. Hal itu terjadi selama berbulan-bulan lamanya.
Berangsur kakiku mulai bisa berjalan dengan lancar. Pun lari. Diagnosa dokter ternyata salah besar. Aku hanya berlatih sendiri di rumah untuk menggerakkan kaki dan pijatan dari tangan wanita yang telah melahirkanku itu. Kini kakiku bisa bergerak seperti sedia kala.
“Ini karena tangan Ibu penuh keajaiban. Terima kasih, Bu,” ucapku saat Ibu masih saja memijat kakiku yang sudah mulai bisa berjalan. Kini tak ada lagi bullyan di sekolah, terutama cemoohan dari Deki. Di selalu saja iri kepadaku karena setiap ada lomba sepakbola yang selalu didahulukan oleh sekolah adalah aku sebelum kakiku cedera.
“Ini semua atas izin Allah, Nak. Jangan lupa semuanya disyukuri, ya. Semoga cita-citamu tercapai.” Masih seperti biasa Ibu selalu bijak dan menenangkan jiwa lawan bicaranya.
Kini setelah beberapa tahun kejadian itu dengan semua keahlian yang ada pada diriku, aku masuk ke dalam klub sepak bola ternama di kota. Yang lebih membahagiakan lagi aku terjaring dalam tim nasional Indonesia. Bermain dengan pemain-pemain bola favoritku.
***
Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: freepik.com