Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Singkat tentang Kehidupan dengan Judul Anak

Cerpen Singkat tentang Kehidupan dengan Judul Anak


“Wah, sudah lahiran lagi, ya? Perasaan baru kemarin lahiran, tapi sekarang ternyata sudah brojol lagi. Udah berapa sekarang anaknya?,” sindir Bu Juminah seraya mengerucutkan bibirnya. 

Bu Dini tak menjawab beberapa jenak. Sudah beberapa kali pertanyaan-pertanyaan serupa memberondongnya. Seakan sudah kebal dengan kalimat-kalimat tak berpisau, tetapi menancap ke dalam ulu hati begitu dalam. Sakit dan tak berdarah. Mulut satu orang tak ada yang bisa membungkam kecuali si empunya sendiri. Yang bisa dilakukan Bu Dini hanya menutup serapat-rapatnya telinga dari perkataan yang bisa menaikkan darahnya.

“Ini yang keempat, Bu. Mari saya mau masak dulu,” pamit Bu Dini dengan beberapa ikat sayur kangkung di tangan kirinya, seusai berbelanja pada tukang sayur keliling. Dalam hati dia menggerutu, “Enggak punya anak digosipin. Punya anak digosipin juga. Serba gosip, deh.”

Sesampai di rumah, pemandangan penuh warna terpampang jelas di depan mata Bu Dini. Ya, penuh warna. Dinding dan lantai menjadi media kreativitas anak-anaknya. Perasaan senang sekaligus sedih lengket menjadi satu saat itu. Dia pun menghela napas panjang, membuang energi-energi negatif yang muncul. Kemudian, masuk dengan memasang senyuman semanis mungkin. 

“Assalamualaikum ....” 

“Waalaikumussalam.” Pak Tarno keluar dari dalam rumah dengan si bungsu berada di gendongannya.

“Ibu, sudah pulang? Sini biar Bapak bantu,” sambungnya seraya memberikan bayi yang masih tertidur pulas ke pelukan ibunya.

Melihat ketulusan dan keikhlasan suaminya menghadapi dirinya dan anak-anak, Bu Dini serasa mendapat suntikan semangat. Wanita itu sangat bersyukur memiliki suami Pak Tarno yang sering kali rela mengambil alih pekerjaannya, meski di wajah lelaki itu tersirat keletihan yang begitu dalam seusai bekerja di sawah seharian.

“Terima kasih banyak, Mas,” lirihnya sembari memandangi punggung suaminya yang menuju dapur membawa belanjaan Bu Dini.

***

Matahari hampir kembali ke peraduannya. Cahayanya yang jingga masih bisa dinikmati sedikit, bahkan saat inilah biasanya orang-orang sering mengabadikan momennya dengan ciptaan Allah yang sangat luar biasa. Bu Dini sedang menyuapi makan Raka, anak ketiganya yang masih berusia dua tahun. Tiba-tiba terdengar suara tangisan dari luar rumah. Semakin dekat dan semakin jelas di telinga Bu Dini.

“Kenapa adiknya, Ra?” tanya wanita pemilik bulu mata lentik itu kepada anak yang sulung, Rara.

“Adek dimarah sama Bu Juminah. Dek Farhan enggak sengaja tadi jatuhin pot bunga Bu Juminah  saat lari tadi,” ungkap Rara dengan menuntun Farhan mendekati ibunya.

“Benar itu, Nak? Adek beneran jatuhin potnya Bu Juminah?” Bu Dini beralih bertanya kepada anak keduanya itu yang kini sudah berada di pangkuannya dengan linangan air mata. 

Farhan hanya mengangguk pelan berikut dengan sesenggukan tangisnya. Tangis itu mulai mereda setelah pelukan Bu Dini menghangatkannya. Anak yang berusia tiga tahun itu pun akhirnya tertidur di pelukan ibunya. 

Bu Dini tak habis pikir. Kenapa tetangganya itu berbuat demikian dengan anaknya. Menurutnya Bu Juminah itu sudah lama membencinya dan sering menyudutkannya saat berkumpul-kumpul dengan ibu-ibu yang lain. Bu Dini pun tak tahu penyebabnya. Dia hanya berusaha menekan semua marah dan kesalnya kepada Bu Juminah. Akan tetapi, sekarang justru Farhan yang menjadi pelampiasan Bu Juminah. Padahal anak itu tak ada salah sama sekali.

“Mas, Bu Juminah itu sepertinya sudah keterlaluan. Masak tadi sore Farhan dimarah-marah sampai menangis.” Bu Dini mengadu kepada suaminya, setelah memberikan segelas kopi.

“Kamu sudah mengkonfirmasi dengan benar?” tanya Pak Tarno dengan mimik yang tenang.

“Iya, Mas. Masak, sih, Rara bohong. Lagian Farhan pun membetulkan pernyataan Rara, kalau dia dimarahin Bu Juminah.” 

“Ya, sudah. Kita doakan saja semoga beliau bahagia.”

“Loh, kok, malah didoain bahagia. Wong dia sudah buat anak kita nangis kejer gitu.” Bu Dini naik pitam. Rahangnya mengeras. Dia tak terima usulan dari suaminya. Bibirnya pun maju beberapa senti.

“Beliau itu belum punya anak. Sebenarnya hatinya itu sangat sedih. Jadi, kita yang hidup tentram dan bahagia inilah yang jadi sasaran dalam mengungkapkan kesedihannya. Sebenarnya beliau itu kasihan.” 

“Makanya kita doakan saja semoga bahagia. Kalau beliau bahagia, kan, enggak mengusik kita lagi. Benar, kan?” sambung lelaki yang berwajah teduh itu.

Bu Dini pun diam dan mencerna penjelasan suaminya barusan. Hatinya pun melunak. Tenang. Kini dia paham. Tak ada alasan untuk membenci orang lain. Yang ada adalah rasa syukur yang harus diperbanyak lagi.

***

Baca juga: Cerpen Singkat tentang Kehidupan Berjudul Pertandingan Bola

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” ucap Pak Tarno setelah mendengar berita kematian Bu Juminah dari masjid. Seketika beliau menghentikan aktivitas mencangkul di sawahnya. Kemudian, pulang ke rumah, hendak takziah ke rumah tetangganya itu. Beliau pun membersihkan diri terlebih dahulu ke kamar mandi sebelum ke sana. Seusai mandi, pandangan Pak Tarno menangkap Bu Dini yang baru saja masuk rumah.

“Mas, sepertinya Bu Juminah sudah meninggal dari kemarin, deh. Suaminya, kan, kemarin keluar kota tiga hari. Hari ini baru pulang dan langsung mendapati Bu Juminah tergeletak di kamar mandi.” Bu Dini dengan semangat bercerita setelah barusan dari rumah Bu Juminah takziah.

“Makanya, kita harus bersyukur. Punya banyak anak. Tidak kesepian seperti mereka. Kalau saja beliau punya anak, kan, kemungkinan besar mayatnya sudah ditemukan sejak pertama kali meninggal dan bisa menuntun kita di akhir ayat untuk mengucapkan syahadat.” Panjang lebar lelaki bertubuh tinggi itu berpidato di depan istrinya.

“Iya, ya, Mas. Semoga anak-anak kita semua menjadi anak saleh dan salehah, ya. Aamiin.”

“InsyaAllah atas kesabaran dan ketulusanmu dengan izin Allah anak-anak kita menjadi anak saleh dan salehan. Ya, sudah aku ke sana dulu, ya.”

“Iya, Mas.”

Bu Dini lantas mencium punggung tangan suaminya sebelum suaminya melangkahkah kaki keluar rumah. Wanita itu pun lalu melakukan aktivitasnya sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, setelah sempat tadi terjeda untuk pergi takziah ke rumah Bu Juminah.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com