Cerpen Singkat tentang Kehidupan Berjudul Pertandingan Bola
Malam ini merupakan malam yang sangat menegangkan. Para lelaki di desa Makmur telah berkelompok menjadi dua kubu. Pertama, tim Persija dan lainnya tim Persik. Kedua grup bola yang sudah tak asing di gendang telinga warga Indonesia itu kali ini berhadapan. Itulah yang ditunggu-tunggu kaum lelaki malam ini. Pasalnya mereka sudah mengadu nasib dengan uang puluhan juta untuk kemenangan pertandingan malam ini.
“Pak Joko. Persija pasti kalah malam ini,” ujar Pak Asep yang berusaha menurunkan semangat tim Pak Joko seraya mengunyah gorengan yang tersaji di sana. Sampai makanan yang di dalam mulutnya itu pun hampir muncrat keluar.
Sekilas Pak Joko menatap si empunya suara yang barusan seperti menantangnya. Pandangannya tajam menatap Pak Asep tanpa kata, lalu dia fokus kembali pada layar persegi panjang yang berada di pos ronda itu. Rahangnya sempat mengeras, tetapi melentur kembali setelah atensinya kembali pada layar bergambar itu. Lelaki berkulit eksotis itu memang terkenal tak banyak bicara. Akan tetapi, saat dirinya terusik dia bisa beringas seperti harimau yang mau menerkam mangsanya, kecuali dengan istrinya. Berbeda dengan Pak Asep yang suka berceloteh sampai ke mana-mana.
Sesaat kemudian, suara teriakan memenuhi pos ronda. Bahkan, sampai ke telinga Bu Indri—istri Pak Joko yang berada di dalam rumah. Rumah lelaki garang itu tak jauh dari pos ronda tempat bapak-bapak menonton bareng perlombaan sepak bola di televisi secara live.
“Semoga saja tim suamiku yang menang kali ini,” harap Bu Indri. Dia bermonolog sembari duduk di ruang tamu. Telinganya ditajamkan supaya mendengar suara dari pos ronda itu. Kebetulan di rumahnya tak ada televisi, jadi istri Pak Joko itu tak bisa menyaksikan sendiri pertandingan bola malam ini. Rasa gengsinya tinggi untuk sekedar nimbrung bersama para bapak-bapak di pos ronda.
Wanita gempal itu tak bisa tidur sebelum suaminya pulang bawa uang hasil dari kemenangan tim suaminya. Tentu saja setelah dibagi dengan pendukung Persija lainnya. Angan-angan untuk membeli emas setelah mendapat uang itu sudah menari-nari indah di kepala Bu Indri. Sesekali senyumnya tertarik sendiri ke atas. Di sisi lain, perempuan itu dengan terpaksa harus rela kehilangan uangnya yang telah digunakan untuk taruhan.
Satu ide muncul di benak Bu Indri. Dia segera ke dapur, membuat kopi hangat satu teko. Setelah itu, istri Pak Joko itu membawa kopi tersebut ke pos tempat menonton bola bareng. Itu caranya untuk bisa menikmati sejenak pertandingan itu di sana. Namun, sayangnya Bu Indri tak bisa lama-lama di sana. Tak ada satu pun perempuan yang bercokol di sana. Perempuan itu tahu diri. Setelah ada isyarat dari suaminya supaya dia segera pulang, Bi Indri pun lekas kembali ke rumahnya.
“Pak, bagaimana hasilnya? Kita menangkan?” tanya Bu Indri selepas Pak Joko memasuki rumah mereka dengan perasaan cemas.
“Tim kita kalah, Buk,” balas Pak Joko lemah. Di depan istrinya dia sangat tak berkutik. Walau wajah galak, tetap saja di depan Bu Indri dia bisa meleleh tak berdaya.
“Haduh, Pak! Bagaimana, dong. Pokoknya enggak mau tahu uangku harus kembali. Makanya kalau milih tim itu yang bener. Jadinya begini, kan. Ibu enggak jadi, deh, beli perhiasan.” Bu Indri berang dengan nada sedikit tinggi. Seusai bersungut-sungut kepada suaminya, wanita itu lekas melangkahkan kaki menuju kamar. Sengaja pintu kamar ditutup dengan keras supaya Pak Joko mengetahui kemarahannya. Sementara itu, Pak Joko masih terpaku di posisi awal.
***
Pagi ini cerah sekali. Burung merpati yang baru kemarin dibeli di depan rumah Pak Joko bernyanyi sangat merdu. Sinar matahari pun hangat menerobos kaca jendela rumah bercat hijau muda itu, sampai juga di ruang makan rumah tersebut. Tampak di sana Bu Indri duduk sambil mengerucutkan mulut di kursi makan, hanya memandangi piring di depannya yang sudah terisi nasi lengkap dengan lauk-pauknya.
“Dimakan, to, Buk nasinya. Kan, sudah bapak siapkan itu. Tinggal makan. Nanti kalau Bapak ada uang, uang Ibu yang Bapak pinjam untuk taruhan bola semalam Bapak kembalikan lagi,” rayu lelaki bertubuh tinggi itu. Menyadari perutnya sudah dari tadi berdemo meminta haknya, Pak Joko makan terlebih dahulu.
“Pokoknya sebelum uangku kembali, aku malas makan.” Bu Indri beranjak dari duduknya, lalu berlalu menyisakan Pak Joko sendiri di ruang itu.
Sembari memasukkan nasi ke dalam mulutnya, Pak Joko memikirkan supaya istri yang dicintai itu tidak merajuk kembali. Sedikit demi sedikit nasi di piring lelaki itu pun habis. Dia hendak berangkat ke sawah untuk melihat padinya yang sudah mulai menguning. Sepanjang jalan ke sawah otaknya dipenuhi oleh bayang-bayang istrinya yang masih marah. Inilah salah satu kelemahannya, jika Bu Indri sudah berang, apa pun akan dilakukan untuk wanita itu. Sebab, dia sangat sayang sekali dengan istrinya.
“Hei! Pak Joko. Mau taruhan lagi enggak untuk pertandingan nanti malam?” sapa Pak Asep dari kejauhan yang melihat Pak Joko menuju sawahnya.
“Enggak!”
Baca juga: Cerpen Kehidupan tentang Kehidupan Berjudul Di Penghujung Tahun
Tiba-tiba ide muncul begitu saja setelah berjumpa Pak Asep. Pak Joko mengikis jarak antara dirinya dengan Pak Asep.
“Pak Asep, aku pinjam uang dulu boleh? Soalnya uang yang tadi malam itu milik istri saya, jadi saya harus mengembalikannya.” Baru kali ini wajah Pak Joko tampak memelas kepada Pak Asep.
“Uangnya mau aku buat bayar sekolah anakku, Pak. Lagian bentar lagi, kan, padi Pak Joko bisa panen padi.”
“Masih lama itu. Pinjam, dong.”
Menyadari Pak Joko yang memaksa, Pak Asep mengabaikan lawan bicaranya itu. Dia berlalu begitu saja, meninggalkan Pak Joko.
Hal itu sukses membuat Pak Joko naik darah. Beberapa kali lelaki itu memanggil nama Pak Asep, tetapi tak ada balasan. Amarahnya tersulut. Pak Joko pun melempar arit yang dari tadi sudah ada di tangan kanannya. Arit itu terbang, lalu mengenai kepala belakang Pak Asep.
Pak Asep seketika tergeletak dengan darah yang mengucur dari belakang kepalanya. Hari itu adalah hari terakhir Pak Asep menghirup udara di dunia ini.
Berawal dari taruhan pertandingan sepak bola, kini Pak Joko sangat menyesali dan merutuki nasibnya sendiri. Permintaan maafnya pun tak cukup dan penjaralah kini lelaki itu mendekam.
***
Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: pixabay.com