Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen tentang Kehidupan Berjudul Di Penghujung Tahun

Cerpen tentang Kehidupan Berjudul Di Penghujung Tahun


Malam semakin pekat di penghujung tahun 2009. Jarum jam pendek di dinding rumah Bagas hampir menuju ke angka dua belas. Atmosfer perayaan menyambut tahun baru tercium sampai ke kediaman anak berusia sebelas tahun itu. Seusai mendapatkan izin dari orang tuanya, lelaki tinggi itu segera keluar rumah. Dia menghampiri Rozi, teman sekaligus sahabatnya sejak kecil.

Kedua anak lelaki itu hendak membunyikan petasan yang sudah mereka beli sore tadi. Bagas dan Rozi menuju lapangan di dekat rumah Rozi dengan beriringan. Senyum dan tawa mereka menemani langkah menuju lapangan bola. Sesampai di sana Bagas mulai menyalakan petasan itu. 

“Rozi! Rozi! Rozi!” seru Bagas saat melihat Rozi tergeletak setelah mendengar suara petasan yang besar. 

Sontak Bagas segera membopong sahabatnya yang sudah tak sadarkan diri, menuju rumah Rozi. Hari yang seharusnya menjadi kebahagiaan kedua anak lelaki itu berubah menjadi sendu. Rozi dinyatakan meninggal dunia seusai diperiksa mantri desa mereka. Menurut perkiraan mantri, Rozi sepertinya terkena serangan jantung mendadak saat mendengar bunyi petasan yang dinyalakan oleh Bagas. 

Dari situ Bagas sangat menyesal dan merutuki dirinya sendiri. Saat suara di luar sana petasan dan kembang api saling bersahutan, dia mengurung diri di kamarnya. Riuh pergantian tahun tak mengubah hati Bagas yang begitu sedih atas kepergian sohibnya yang begitu mendadak. Sampai-sampai seruan kedua orang tuanya pun tak dihiraukan. Anak lelaki itu mengurung diri di kamar beberapa hari. 

Bagas sama sekali tak mau keluar dari biliknya. Hanya sesekali untuk ke kamar mandi dan makan. Itu pun hanya jika perutnya sampai melilit. Kalau tidak, ya, masakan yang sudah disediakan ibunya dibiarkan dan tak dijamahnya sama sekali. 

Sampai beberapa hari Bagas menyendiri di kamarnya. Tubuhnya tampak semakin ceking. Tenaganya pun masih belum normal. Bahkan, untuk jalan saja dirinya dia masih terlihat sempoyongan. Untung saja saat itu sekolah juga libur beberapa hari. Jadi, Bagas tak sempat absen sekolah.

Dulu Bagas dan Rozi sudah berjanji untuk menjadi dokter sama-sama. Bagas memilih untuk menjadi dokter gigi, sedangkan Rozi memilih untuk menjadi dokter hewan. Oleh sebab itu, mereka berdua saling menyemangati dan saling mendukung dalam hal belajar. Termasuk jangan sampai terlewatkan atau absen tanpa ada uzur yang sangat mendesak.

Mulai hari itu lelaki yang masih berseragam SD itu bangkit lagi. Dia belajar dengan sungguh-sungguh supaya bisa meraih cita-citanya. Bagas yakin suatu hari nanti saat dia benar-benar menjadi dokter gigi, pasti Rozi di alam sana akan bahagia. 

***

Di penghujung tahun 2010, saat teman-teman Bagas yang lain bermain kembang api di luar rumah. Masih jelas di ingatan anak lelaki itu tentang kematian sahabatnya.

“Kamu enggak lihat kembang api, Nak?” tanya Bu Sari.

“Enggak, Bu. Lebih baik di rumah saja belajar. Kalau mau lihat kembang api bisa saja lihat dari televisi,” timpalnya.

Meski esok sekolahnya libur, Bagas tetap saja mengasah otaknya dengan membaca beberapa buku pelajaran. Dia sangat bersyukur semester kemarin bisa meraih juara satu di kelasnya. Kalau biasanya Bagas selalu berlomba dengan Rozi. Peraih juara satu kalau tidak Rozi pasti Bagas. Hal itu sudah menjadi maklum bagi semua orang. Dari situlah salah satu yang bisa menjadikan mereka berdua bersahabat baik. 

Keesokan harinya, sebelum berangkat ke warung untuk membelikan gula ibunya, Bagas tak sengaja mendengar berita televisi yang sedang ditonton oleh ayahnya. Tangannya melemas. Seketika memorinya memaksa memutar kembali satu tahun yang lalu. Kejadian tewasnya Rozi sama persis dengan berita yang sedang disiarkan. Bagas terpaku.

“Sejak kapan kamu berdiri di situ, Nak? Bukannya Ibu tadi minta tolong untuk ke warung?” tanya Pak Rahmad setelah menyadari keberadaan putranya di ruang televisi itu.

“Eh, iya. Bagas pamit dulu, ya, Yah.” Bagas terkesiap, lalu mencium punggung tangan ayahnya. Setelah menormalkan kembali suasana hatinya, dia baru melangkahkan kaki dari rumah. Sepanjang jalan mulutnya selalu merapalkan doa untuk Rozi yang telah pergi untuk selamanya tepat satu tahun yang lalu. 

***

Baca juga: Cerbung Wanita Malam dari Desa (Bab 5)

“Mas, besok ke rumah sakit?” tanya Suci.

“Enggak, Sayang aku mau ambil cuti dulu di tahun baru ini. Aku mau seharian bersama istriku tercinta,” goda Bagas. Kini Bagas sudah meraih cita-citanya sebagai dokter gigi. Dia bekerja di salah satu rumah sakit ternama di kotanya. 

“Di luar ramai sekali. Mas Bagas enggak mau keluar melihat meriahnya tahun baru?” Perempuan yang sedang di pangkuan suaminya itu kembali melontarkan pertanyaan. Jam sudah menuju angka satu malam hari. 

“Kita di rumah saja, ya. Kita lihat dari televisi saja.” Setiap pergantian tahun bayangan sosok Rozi kembali lagi muncul di otak Bagas. Kemudian, lelaki yang bertubuh tinggi itu menceritakan semua yang pernah dialami bersama Rozi.

Istri Bagas pun memaklumi hal itu, selepas Bagas bercerita panjang lebar kepadanya. Sepasang suami-istri itu pun hanya menikmati teh hangat di malam yang semakin pekat itu seraya menonton televisi mereka. Santai. 

“Rozi, aku berharap kamu di sana bahagia. Tahun ini aku sudah berstatus menjadi dokter gigi. Mungkin, jika kamu masih di dunia ini kamu pun akan menjadi dokter hewan seperti impianmu,” bisik Bagas dalam hati. 

Tak lama lelaki pemilik hidung mancung itu mendapati istrinya yang sudah terlelap di ribaannya. Dia menatap lekat istri yang baru beberapa bulan terakhir dinikahinya itu. Bagas sangat bersyukur di akhir tahun ini semua asanya telah tercapai. Bahagia. Senyumnya terlukis lebar di sana. Semoga tahun berikutnya lebih menyenangkan.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com