Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Bersambung Wanita Malam dari Desa (Bab 10)

 

Cerita Bersambung Wanita Malam dari Desa (Bab 10)


Assalamualaikum. Salam sejahtera. Kembali lagi di Coretan Karya. Kamu lagi gabut? galau? Jika iya, tepat sekali kamu di sini, menikmati karya Zahra Wardah. Semoga terhibur dan bisa diambil hikmahnya. Oh, ya jangan lupa share juga, ya. Selamat menikmati dan terima kasih.

****

Bab 10: Mulai Bergerak


“Pak Tohir kenapa di sini?” 

“Aku yang seharusnya tanya, itu kaki mulusmu kenapa?” Pak Tohir mengerutkan dahi. 

“Panjang ceritanya, Pak. Ngomong-ngomong Bapak mau pulang? Boleh saya nebeng mobilnya?” tanyaku memelas supaya diperbolehkan Pak Tohir. 

“Ya, sudah ayok. Bisa jalan.”

“Bisa, Pak.”

Mungkin tanpa aku meminta pun Pak Tohir akan menawarkan mobilnya. Meski sedikit genit, aku tahu Pak Tohir itu sebenarnya enggak tega melihat orang lain sengsara. Diam-diam tak sengaja aku sering melihat beliau bagi-bagi makanan ke tetangga sekitar yang kurang mampu dengan tangannya sendiri. Pepatah lama yang menyatakan ‘jangan lihat isi dari kovernya’ itu ada betulnya.

Di tengah jalan pulang, dari dalam mobil tampak Mas Walid. Dia seperti mencari seseorang. Sekilas wajahnya tampak khawatir. Apakah dia mengkhawatirkanku? Tidak, tidak mungkin. Tadi saja dia marah. Sudahlah. Saat ini mungkin lebih baik menyendiri dulu. Aku dan Mas Walid butuh waktu sendiri untuk kemudian menjelaskan dengan hati yang sudah dingin dan tenang.

“Kalian ada masalah?” tanya Pak Tohir tiba-tiba.

“Enggak, Pak.” Lebih baik aku menyembunyikan sedihku. 

“Tampak jelas di wajahmu itu. Mulutmu bisa bohong, tapi raut wajahmu tidak.”

Ternyata aku tak pandai menyembunyikan sesuatu. Wajahku terlalu polos, tak bisa diajak kompromi di saat hati gelisah. 

“Hanya sedikit salah paham, Pak.” Aku tersenyum kaku. 

“Asal kamu tahu saja, Yati. Walid itu orang baik. Mungkin dia marah, tapi dalam hatinya sebenarnya lembut. Aku tahu betul itu.” Pak Tohir manggut-manggut meyakinkanku. Pun tatapannya yang mengisyaratkan bahwa yang dikatakan itu benar.

***

Energiku dini hari ini terkuras maksimal. Pertemuan dengan beberapa lelaki kali ini sangat menghabiskan kekuatanku. Mulai dari Mas Tresno yang mengejutkanku, Mas Walid yang salah paham, dan untungnya berjumpa dengan Pak Tohir yang mampu sedikit mengembalikan energi positif. Aku rebahkan tubuhku. Tak lama kemudian, terdengar ponselku berbunyi.

“Iya, ada apa, Mas?”

“Yati, maafkan aku, ya. Tadi aku mungkin salah paham denganmu. Aku terlalu banyak pikiran hari ini.” Suara Mas Walid dari seberang sana terasa tenang daripada sebelumnya.

“Iya, Mas. Maafkan aku juga. Tadi itu karena Mas Tresno terlalu terpuruk karena warungnya kebakaran. Dan teman bekerjanya hanya aku. Jadi, kami berdua dalam duka.” Aku jelaskan sejelas-jelasnya supaya tak ada lagi kesalahpahaman. 

“Baiklah kalau kamu sudah memaafkanku. Ada satu lagi yang mau aku bicarakan kepadamu, Cantik.”

“Apa, Mas?”

“Sekitar seminggu ke depan aku harus mengantar pesanan karpet dari beberapa kota. Jadi, aku sedikit sibuk. Aku harap kamu bisa memaklumi. Setelah urusanku selesai, aku akan bicara baik-baik dengan Umi, lalu aku hendak meminangmu.” 

Deg. Hatiku tiba-tiba menghangat. Namun, satu sisi ada kesedihan karena pasti tak akan jumpa untuk seminggu ke depan. Hem, itu kan demi pekerjaan. Aku enggak bisa egois sendiri.

“Baik, Mas. Hati-hati. Aku akan mendoakanmu.”

“Ya, sudah kalau begitu tidur lagi. Kamu pasti sangat lelah. Dini hari begini sudah terkejut oleh kebakaran,” titahnya.

“Baik, Mas. Dah.”

Aku mematikan saluran telepon terlebih dahulu setelah salam. Akhirnya, perasaan sedih sedikit terhapus. Kini tubuhku butuh pasokan energi. Tidur. 

***

Sinar matahari berdesakan melalui celah jendela yang tertutup gorden kamarku. Cahayanya menyentuh mataku, hingga aku terbangun. Ya, Allah jam berapa ini? Aku kesiangan. Aku menepuk dahi. Aku lupa warung Mas Tresno dini hari kebakaran, jadi mulai hari ini enggak kerja lagi di sana. Untungnya tadi subuh sempat salat Subuh, kemudian tidur lagi karena rasa kantuk masih meliputiku. 

Aku lirik jam dinding. Jarum jamnya menuju angka 10. Hari ini santai, aku bisa leluasa bersih-bersih kamar dan diri. Aku coba menormalkan kembali tenaga yang sudah banyak terkuras. Hari ini aku mulai dengan mengatur kamar indekos dengan rapi. Sebab, mulai dari pertama datang ke sini belum sempat merapikan kamar sedemikian rupa.

Usai kamar tampak rapi, dari dalam perut terdengar suara keroncongan. Cacing-cacing di dalamnya meminta haknya. Akan tetapi, aku belum membersihkan diri. Aku tak bisa makan dengan badan yang belum bersih. Akhirnya kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu. Setelah mandi kucek ponsel. Di sana ada panggilan tak terjawab dari Mas Tejo beberapa kali. Aku penasaran, lantas nomor Mas Tejo kupanggil balik.

“Halo, Mas ada apa? Tadi aku masih mandi.”

“Tangan Aisyah mulai bergerak, Yati.” Suara di seberang sana begitu bersemangat.

“Beneran, Mas? Terima kasih, ya Allah.” Aku pun tak kalah girang.

“Tapi matanya masih belum terbuka. Kata dokter kita pantau saja kondisinya. Semoga ini pertanda baik.”

“Alhamdulillah. Terima kasih, Mas. Bentar lagi aku ke sana. Mas di sana?” 

“Iya. Ya, sudah kalau gitu.”

Mas Tejo mengakhiri percakapan kami. Aisyah, Ibu segera datang. Aisyah harus kuat. Kita semua sayang Aisyah. Aku mengenakan baju terbaik hari ini. Mana tahu nanti Aisyah membuka matanya. Aku pun segera ke rumah sakit. Sampai-sampai melupakan nasib perutku yang belum terisi. 

Sampai di rumah sakit, aku mendapati Mas Tejo dengan wajah yang sangat cerah. “Bagaimana, Mas?”

“Seperti yang aku bilang di telepon tadi. Kita pantau saja terus.”

Aku mengangguk sembari melihat Aisyah dari kaca pintu ICU. 

“Kakimu kenapa, kok, jalannya begitu?” Mas Tejo memindai kakiku. 

“Kemarin aku jatuh. Tapi, sudah enggak masalah, kok.” 

“Oh, ya aku pamit dulu, ya. Mau kerja dulu. Kamu di sini, kan?” tanya Mas Tejo.

“Iya, Mas tenang saja.”

Baca juga: Review Buku Kumpulan Cerpen Anak yang Berjudul Cerita Islami untuk Anak Sholeh dan Sholehah

Setelah mengenakan pakaian khusus untuk masuk ke ruang ICU. Aku duduk di samping Aisyah. Aku sangat berharap keajaiban itu datang segera. Akan tetapi, sampai sekitar dua jam aku di sana tak ada tanda-tanda Aisyah siuman. Bahkan tangan Aisyah tak bergerak seperti yang diceritakan Mas Tejo. Aku sedikit heran dan panik. 

Penasaranku tinggi, hingga aku keluar untuk bertanya kepada dokter yang jaga. Katanya, hal itu tak masalah. Yang terpenting diamati terus perkembangan kondisi Aisyah. Aku pun menghela napas lega setelah mendengar sendiri penjelasan dokter itu.

Bayanganku tiba-tiba terlintas sosok Mas Tresno yang sedang berduka. Kuambil ponsel di tas, lalu memencet nomornya. Tiga kali tak ada jawaban dari sana. Aku makin cemas dengan keadaan Mas Tresno. Coba kuulangi lagi hal yang sama. Lama suara ‘tut’ untungnya kali ini dijawab.

“Halo, bagaimana keadaan, Mas?” tanyaku segera setelah diangkat.

“Aku baik, Yati. Kamu di mana? Baik?” Suara Mas Tresno dari seberang sana masih terdengar lemah.

“Aku di rumah sakit, Mas. Nungguin anakku. Mas enggak pa-pa, kan?” 

“Aku hanya masih syok. Untungnya rumahku tak sampai terkena api. Kalau tidak. Entah bagaimana nasibku. Maafkan aku, Yati.”

“Kamu tak harus minta maaf, Mas. Tak boleh menyesali takdir. Kita hanya harus berusaha dan doa.”

“Tapi, Yati ....”

***


BERSAMBUNG


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixelLab