Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Contoh Cerpen tentang Kehidupan yang Berjudul Berlian yang Hilang

Contoh Cerpen tentang Kehidupan yang Berjudul Berlian yang Hilang


Assalamualaikum. Halo, Teman-Teman. Selamat datang di Coretan Karya. Kali ini contoh cerpen dengan judul Berlian yang Hilang. Selamat menikmati. Semoga ada hikmah dan manfaatnya. Aamiin. Oh, ya, jangan lupa share juga, ya Terima kasih.

****


“Ana! Kamu mencuri cincin Mama yang kemarin di meja sini?” tanya Mutia seraya matanya aktif memindai ke seluruh tubuh putri sambungnya itu.

“Eng—enggak, Mah.” Gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun itu ketakutan kala mama tirinya mulai murka. 

Bukan hal yang jarang terjadi Mutia itu murka kepadanya. Ana yang hanya sebagai anak tiri kerap mendapatkan hal-hal yang tak diinginkan saat ayahnya tak di rumah. Apa yang biasanya di sinetron tentang kisah ibu tiri itu benar-benar dialami oleh Ana.

“Terus kamu punya tas baru itu dari mana? Dari hasil jual cincinku, kan?” tanya wanita yang memoles bibirnya dengan warna merah menyala. Dia tak peduli dengan usia Ana yang masih belia. Yang ada dalam pikirannya hanya Ana sebagai pencuri cincin berlian itu.

Dengan cepat Mutia menghampiri Ana yang sedang tertunduk ketakutan. Darahnya memanas. Dia hendak melampiaskan kemurkaannya kepada Ana. Akan tetapi, saat baru melangkah beberapa senti, dia terserempak tubuhnya jatuh. Lantai di sana ternyata masih basah. Mutia meringis kesakitan.

“Aduh! Bagaimana, sih, Bik Inah ini. Kan, kakiku jadi sakit.” Wanita berparas tinggi itu memijat kaki kanannya yang sakit.

“Ana! Bukannya nolongin malah pergi. Ke mana dia?” sambungnya seraya bersungut-sungut saat melihat Ana lari meninggalkan dirinya.

Ana melihat ada darah di lutut ibunya. Dia lekas mencari perkakas obat untuk mengobati Mutia. Tak lama kemudian, Ana kembali ke posisi tempat ibu tirinya terjatuh dengan membawa beberapa alat untuk pengobatan.

“Ini berdarah, Mah. Maaf, aku bantu obatin, ya?” Tak perlu jawaban dari Mutia, Ana lantas mengobati dengan telaten. Rasa takutnya tadi menguap begitu saja kala melihat ibunya kesakitan. Meski sering disakiti, Ana tetap menganggap Mutia sebagai ibu dan menghormatinya.

“Bagus. Jadi anak memang harus begitu.” Dengan wajah melengos, Mutia beranjak selepas Ana mengobati lututnya. Tak ada sedikit pun rasa terima kasih yang terucap dari mulutnya. Egonya begitu tinggi untuk mengakui kebaikan putrinya.

Ana hanya menggeleng pelan, lalu membereskan kembali peralatan yang tadi dibawanya. Kemudian, gadis itu meletakkan kembali pada tempatnya semula. Anak sekecil itu ilmu maklum kepada ibu tirinya sudah tingkat tinggi.

***

Matahari berada hampir tepat di atas kepala manusia. Bel pertanda pelajaran usai pun berbunyi. Ana bersemangat pulang, berharap segera mengisi perutnya yang sejak tadi sudah meminta hak. Langkahnya mantap. Kebetulan rumahnya tak jauh dari sekolah, sehingga dia selalu jalan kaki saat pergi dan pulang sekolah. Sampai di depan pintu Ana mendengar suara ayahnya. Hatinya sangat gembira karena sudah seminggu ayahnya keluar kota. Akan tetapi, suara Mutia pun muncul juga. 

“Tapi, Ana yang mencuri cincin berlianku itu, Mas,” ucap Mutia dari dalam.

“Kamu jangan asal nuduh, ya. Apa gara-gara kamu tak menyukai Ana. Jadi, kamu memfitnah dia? Hah.” Suara lantang itu milik ayah Ana.

Seketika Ana terpaku di depan pintu. Bukan niat untuk menguping, melainkan tak sengaja mendengar namanya disebut oleh ayahnya. Rasa penasarannya semakin dalam, lalu dia menajamkan pendengaran.

“Walaupun Ana bukan darah dagingku, bukan berarti kamu seenaknya saja menuduhnya. Dia anak baik. Aku yakin itu. Jadi, jaga mulutmu itu!” Suara lelaki yang selama ini dianggap sebagai ayah itu sukses meluruhkan butiran bening dari sudut matanya. 

Ana tak kuat akan hal itu, seketika dia lari menjauh dari rumahnya. Kabur sejauh mungkin membawa beban berat di jiwanya. Hatinya hancur. Bukan karena tuduhan yang ditujukan Mutia kepadanya, melainkan fakta bahwa dirinya bukan anak kandung ayahnya itu yang sangat menyakitkan. Jadi, siapa sebenarnya orang tua Ana? Dengan kaki yang gontai, gadis itu tetap berjalan tanpa arah seusai kelelahan berlari. Hingga hari merangkak gelap.

Sementara itu, Pak Hermawan masih kebingungan mencari keberadaan Ana. Dia begitu sayang dengan Ana. Peluhnya mengucur deras. Menurutnya hari ini seharusnya bisa meredam rindunya, tetapi karena ulah istrinya rasa kangennya tak terobati. Ana pergi dari rumah gara-gara dituduh oleh Mutia. Kini itulah yang selalu melekat di otaknya. Sampai larut pun tak kunjung menemukan Ana, hingga lelaki yang sudah lelah itu memutuskan untuk kembali pulang. Jalannya terhuyung-huyung, menuju kamar. Saking penat dan capeknya tak sampai lima menit lelaki itu terlelap di ranjangnya.

***

“Mas, aku ikut ke kantor polisi, ya. Aku menyesal, Mas,” pinta Mutia.

“Kamu di rumah saja. Mana mau nanti Ana pulang. Kalau kamu ikut nanti Ana kasihan di rumah enggak ada orang,” balas lelaki yang sedang mengenakan baju kemeja putih.

“Ngomong-ngomong cincin berlianmu sudah ketemu?” lanjutnya.

Mutia menunduk, ketakutan. Dalam beberapa detik tak ada yang keluar dari mulutnya. 

Baca juga: Cerita Bersambung Wanita Malam dari Desa (Bab 10)

“Emmm ... sudah, Mas. Aku lupa, ternyata cincinnya ada di lemari.” Mutia menjawab pertanyaan suaminya dengan hati-hati. Dia tak mau membuat Hermawan marah lagi kepadanya.

Hermawan menarik napas berat. Dia menghampiri istrinya, lalu berkata, “Makanya lain kali teliti kalau punya barang itu. Jangan asal tuduh.” 

Lelaki yang beralis tebal itu berlalu menyisakan Mutia yang masih tertunduk di posisi semula. Rasanya akan sia-sia jika meluapkan kemurkaannya lagi. Itu tak akan membuat Ana kembali ke rumah. Dalam kepalanya hanya ada Ana, Ana, dan Ana. Hermawan mengemudi mobil dengan kecepatan maksimum. Tak perlu lama hanya beberapa menit, pria itu sudah berada di halaman kantor polisi. 

Seusai memastikan mobilnya terparkir dengan baik, dia segera menuju ruangan untuk melapor orang hilang. Dengan ramah suami Mutia itu disambut oleh petugas yang berada di ruangan itu.

“Saya mau melapor, Pak. Anak saya sejak kemarin belum pulang juga dari sekolah,” kata Hermawan langsung pada masalahnya.

“Baik. Kalau begitu saya butuh data-data anak bapak.” Petugas itu lantas memainkan komputer yang ada di depannya.

“Nama anak bapak siapa?” tanya petugas tersebut.

“Nama Berlian Anandita.” 

 Hermawan memberikan semua data yang diperlukan dan menceritakan sebelum hilangnya Ana untuk membantu pihak kepolisian dalam mencari gadis kecil itu. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com