Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 2)

Cerita Bersambung Mas Duda Mendua Bab 2



Assalamualaikum, semuanya. Selamat datang di Coretan Karya. Kali ini Coretan Karya akan melanjutkan cerita bersambung tengtang tetangga tampan Mas Duda. Mau tahu kisah lanjutannya? silakan disimak. Terima kasih. Bagi yang ingin mendengarkan cerita ini boleh meluncur ke youtube: Cerita Keren, ya. Jangan lupa share.


****


Bab 2: Penasaran


Indah menyadarkanku dengan air yang tiba-tiba menetes di pipi. Lekas kuseka sisa-sisanya. 

“Enggak. Enggak ada. Hanya ada debu tadi yang masuk ke mata.” 

“Halah. Kamu ini. Akhirnya nangis juga, kan,” ejek Indah seraya tangannya menyambar kuaci. Dia mencebik. 

“Aku kemarin nonton ini enggak nangis, kok.”

Indah akhirnya mengiyakan pembelaanku. Mungkin hal itu dilakukan supaya tak berlanjut keributan kami, sampai melewatkan beberapa adegan filmnya. Suasana hening kembali, hanya ocehan dari pemain film yang kami tonton. Namun, masuk suara yang sepertinya tak asing bagiku ke gendang pendengaranku. 

“Ndah.” Suaraku setengah berisik memanggil Indah, tetapi dia tak bergerak atau membalasku.

“Ndah!” Kali ini meninggi.

“Apaan, sih? Ini lagi seru tahu.” Indah menjawab tanpa menoleh. Dia tetap saja fokus dengan filmnya.

Aku tak memedulikan Indah, beranjak sendiri menuju pintu. Sedikit kubuka pintu untuk mengintip siapa yang bertamu. Kebetulan ruang tamu dengan kamarku dekat, jadi siapa pun yang bertamu biasanya suara mereka sampai ke kamar. 

“Betul. Mas tampan tadi,” lirihku. Sejenak aku mendengar dia mengenalkan diri dengan nama Juki. 

“Juki,” sambungku. Aku kembali menuju Indah. Segera aku menggeret tangannya menuju posisiku sebelumnya. 

“Ada apa, sih, Mil? Lagi seru tahu.” Indah mengerucutkan bibir. 

“Lihat itu. Aku tadi lihat lelaki itu.”

“Terus?” 

“Coba kamu lihat baik-baik. Wanita mana coba yang enggak tertarik kepadanya.”

Spontan Indah menunjuk dirinya sendiri. “Sudahlah, Mil. Sudah berapa lelaki yang kamu incar, tapi semuanya menolak kamu. Menyerah saja.” Bunyi kejam itu keluar dari mulut Indah. Sungguh tak berakhlak teman seperti itu, bukan? Dia melenggang lagi mendekati laptop.

“Jangan begitu, dong, Ndah. Ayok, ikut aku.” Aku kembali menggait lengannya, keluar menemui Mas Juki. Sepertinya Indah sudah pasrah. Tak ada perlawanan seperti sebelumnya.

Aku dan Indah setengah berlari ke ruang tamu. Namun, Mas Juki sudah tak ada di sana.

“Ada apa, Mila, Indah?” tanya Ibu penasaran. Kedua alisnya terangkat seraya memandang kami secara bergantian.

“Bu, tadi itu tetangga baru kita, kan?” Aku tak menghiraukan pertanyaan Ibu. Kali ini yang ada di kepalaku hanya Mas Juki. Benarkah dia tetangga baru?

“Iya, benar. Tadi, dia pinjam kuali. Katanya mau masak.”

“Wah, suami idaman, tuh. Pintar masak. Jadi, aku tak perlu repot-repot masak.” Garis bibirku spontan tertarik ke atas secara simetris. Anganku melayang meninggalkan raga.

“Dasar, kamu ini, Mil. Perempuan ya harus pandai masak. Bukan begitu, Bu?” Sekarang Indah ikut membuka suara untuk memojokkan sahabatnya.

“Sudah. Sekarang bukan saatnya berceramah. Ayok, ikut aku.”

“Aku keluar dulu, Bu,” sambungku.

Kembali adegan menggaet tangan Indah terjadi. Pun sifat pasrah Indah kepadaku yang tak luntur sedikit pun. Kami berhenti sejenak kala sampai di rumah bercat cokelat muda. Di sana tampak seorang lelaki tampan di garasi mobil, sepertinya hendak pergi dengan mobilnya. 

Mendadak aku dan Indah berhenti di balik pohon mangga pinggir jalan. Rasa penasaranku mampu mengalahkan egoku untuk segera menghampiri lelaki tampan itu. Kami, lebih tepatnya aku mengamati lelaki tampan. Sedangkan, Indah hanya merengut dengan memalingkan wajah. 

“Lihat, deh. Tampan, kan?” Tanganku coba meraih tubuh Indah dengan memerhatikan lelaki itu. Saat aku menoleh, ternyata batang hidung Indah sudah lesap entah ke mana. Sepertinya dia kembali ke rumah.

“Dasar Indah,” gerutuku lirih. 

Spontan aku lari mengikuti mobil yang dikendarai tetangga baru itu. Mobil itu melewati rumahku. Aku pun tersadar. Saat melihat motor Indah di garasi, tak butuh pikir panjang aku segera mengendarainya. Alam pun memihakku. Entah kenapa kali ini kunci motor Indah masih tertempel di sana. Biasanya Indah tak pernah teledor seperti ini, kunci motor selalu dicabut dari motor. 

“Indah! Aku pakai motornya, ya!” Aku memekik sembari pergi dengan melajukan motor kecepatan maksimal. Masa bodoh Indah mengizinkan atau tidak. Yang penting  aku sudah izin kepadanya, meski tanpa tahu jawabannya.

Beberapa menit kemudian, aku berhasil menemukan mobil hitam milik Mas Juki. Hati-hati aku mengikuti ke mana pun mobil itu melaju. Hingga sampai kandang peternakan kambing. Tampak di sana sekat-sekat kamar kambing yang terbuat dari papan dan bertingkat. Dari jarak pengamatanku pun suara khas kambing bisa terdengar. 

Sejurus mobil Mas Juki sampai di sana, gerombolan anak-anak kecil mendekatinya. Bisa kulihat wajah mereka tampak riang dan semringah. Dari mobil itu Mas Juki keluar membawa tentengan di tangannya. Dia membagi-bagikan tentengannya kepada anak-anak di sana. Entah kenapa seketika hatiku menghangat melihat pemandangan itu. 

***

“Dari mana aja kamu!” 

Aku disuguhi suara lantang Ibu saat baru pulang dari menguntit Mas Juki. Matanya tajam memindai dari ujung rambut ke ujung kaki.

“Ih, bauk apa ini?” Ibu mendekat, lantas mengendus bak kucing. Seperti biasa aku malas meladeni Ibu yang sedang marah seperti itu. Tak ada respons berarti dariku. Justru aku meninggalkan Ibu yang masih di depan rumah.

“Hei! Itu Indah sudah nunggu dari tadi motornya. Kasian kalau dimarah orang tuanya nanti!” Nada Ibu makin kencang saja.

“Ini, Ndah kuncinya. Terima kasih, ya.” Di ruang tamu Indah tampak cemas menungguku.

Terdengar samar suara Indah pamit pulang. Sementara aku di kamar tersenyum sendiri dengan bayangan-bayangan Mas Juki. Ternyata selain tampan, Mas Juki juga baik hati   . Tak sadar bantal di samping menjadi sasaran atas responsku. 

“Kok, ada makhluk setampan itu. Aku harus bisa mendapatkannya,” lirihku sembari membekap wajah dengan bantal.

Suara ketukan memalingkan imajinasiku. Tak tahu lagi bahagia apa.

“Ada apa, Bu?”

“Bukain dulu pintunya.”

Langkahku malas membukakan pintu untuk Ibu. Sengaja tadi pintu kamar aku kunci, biasanya mah bodoh amat dengan pintu. Sebab, perasaanku Ibu pasti akan datang mengganggu. Benar, kan, tebakanku.

“Kamu ini badan bau gini enggak cepat mandi.” 

Baca juga: Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Anak Sultan

“Ibu mau tegasin lagi bahwa Ibu tak suka dengan tetangga baru itu. Masak besok kamu mau bau kambing terus kalau jadi sama dia,” lanjutnya.

“Ibu ....”

Belum juga aku membela diri, Ibu berlalu sambil mulutnya tak berhenti mengomeliku. Mungkin, aku juga salah pakai motor Indah sampai tak tahu hari hampir berganti malam. Meski begitu, semangatku untuk dekat dengan Mas Juki makin tinggi.

Aku mengendus sedikit lenganku. Benar kata Ibu, bauk. Aku putuskan untuk membersihkan diri segera mungkin. Namun, tiba-tiba rasa aneh dari dalam perut. Ternyata cacing-cacing di dalam sana sudah tak sabar meminta haknya. Aku baru ingat, sejak pulang sekolah tadi hingga senja lambungku belum terisi nasi. Hanya beberapa biji kuaci saja. Sebenarnya aku tak pernah begitu menghiraukan isi perut kecuali memang sangat lapar seperti sekarang ini.

Baiklah, aku memilih untuk ke ruang makan terlebih dahulu. Baunya sepertinya enak, ayam goreng kesukaanku. Saat tanganku hendak membuka tudung saji, suara teriakan dari ruang sebelah memekakkan gendang telinga. 

“Mila!” 

***


BERSAMBUNG


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixelLab