Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Anak Sultan

Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Anak Sultan


Assalamualaikum, selamat datang di Coretan Karya oleh Zahra Wardah. Kali ini kami mempersembahkan sebuat cerpen singkat tentang kehidupan yang berjudul Anak Sultan. Bagi yang ingin mendengarkan cerita-cerita dari Coretan Karya, bisa meluncur ke YouTube: Cerita Keren. Oh, ya, jangan lupa share, ya. Terima kasih dan selamat menikmati.


****

 

“Teman-teman, aku duluan, ya. Itu sopirku sudah jemput.” Melia melambaikan tangan sambil lalu menjauh dari kedua sahabatnya tanpa menghiraukan balasan dari mereka. Dia melenggang dengan sebelumnya menjulurkan lidah sebagai ejekan terlebih dahulu. 

“Gaya banget, tuh, anak. Pulang pergi selalu dijemput sopir. Mobilnya gonta ganti lagi,” sahut Hesti berikut dengan bibir yang maju beberapa senti. 

“Kebiasaan emang , tuh, anak. Selalu pamer,” timpal Nur.

Meski Hesti dan Nur selalu ceriwis tentang sikap Melia yang sering kali menonjolkan kekayaan orang tuanya, tetapi Melia menganggap angin lalu dan tetap bersahabat dengan mereka sejak pertama kali masuk ke MTs Al-Islam ini. Mereka berteman sudah hampir enam bulan. Fakta berbedaan sifat dan sikap mereka malah semakin mengeratkan.. 

Siang itu, panas matahari sedang santer. Hesti dan Nur pun berpisah di gerbang sekolah. Hesti jalan kaki karena rumahnya tak terlalu jauh dari area sekolah. Sementara itu, Nur berlari menuju ayahnya yang baru saja sampai untuk menjemput menggunakan motor. Kedua sahabat Melia tampak sederhana. Sangat kontras dengan gadis bertubuh tinggi itu.

Sehari-hari pun Melia sering menganggap dirinya lebih dari kedua sahabatnya. Lebih dari kecantikan, kepintaran, dan kekayaannya. Gadis itu kerap menceritakan keadaan keluarganya yang berkecukupan bahkan berlebih. Tak hanya dengan kedua sahabatnya, dengan orang lain pun lagaknya tinggi sekali.

***

“Aduh! Bagaimana Abang ini. Dorong gerobaknya hati-hati. Jilbabku, kan, jadi basah.” Melia menggerutu dengan mengibas-ngibaskan ujung kerudungnya yang terkena kuah bakso saat berjalan menuju kelas bersama Nur. 

“Sudahlah, Melia. Lagian kamu cuma ujung kerudung yang terkena kuah. Lihat Abang itu, baksonya tumpah. Ya, udah ayok kita pergi. Maafkan kami, ya, Pak.” Nur menggait lengan Melia. Dia sangat malu dengan kelakuan temannya yang kurang etis. Nur lekas membawa Melia masuk ke kelas tanpa persetujuan Melia.

“Kasihan abang baksonya tahu, Mel. Lebih baik nanti sebelum pulang kamu minta maaf terlebih dahulu. Sepertinya tadi baksonya yang tercecer di jalan banyak banget,” saran Nur.

“Enggak mau. Lagian dorong gerobak enggak lihat-lihat ada orang jalan di depannya.” Melia masih bersungut-sungut menghadapi situasi saat itu. 

Hesti yang tengah duduk di bangkunya sejak tadi, bertanya kepada Nur dengan isyarat. Kepalanya maju ke depan sebentar, lalu kembali lagi seperti semula.

“Ini temanmu yang paling cantik tadi menabrak abang tukang bakso di depan sekolah,” adu Nur. 

“Emang bagaimana ceritanya?” tanya Hesti penuh selidik. Kedua alisnya meninggi. Dia sangat yakin, kalau Melia yang salah tentang perkara yang sedang dibahas kedua wanita di hadapannya itu.

Sejenak hening, tak ada yang buka suara. Baik Melia atau Nur. Akan tetapi, Nur akhirnya menjelaskan kronologi yang menimpa Melia dengan tukang bakso barusan dengan detail sesuai fakta. 

“Kalau begitu menurutku betul kata Nur. Kamu seharusnya minta maaf, Mel. Lagian abang tukang bakso yang di depan itu, kan, sudah tua banget. Kasihan tahu.” Setelah menjadi pendengar yang baik dari cerita Nur, Hesti memutuskan untuk berpihak kepada Nur. 

“Ah, kalian ini selalu begini. Enggak pernah membelaku,” timpal Melia seraya melenggang keluar dari kelas meninggalkan kedua sahabatnya. 

Hesti dan Nur pun hanya bisa menggeleng pelan atas tingkah laku gadis yang mereka sebut sahabat itu. 

***

Sinar matahari mulai merangkak. Hangat. Langit pun cerah pagi ini. MTs Al-Islam mengundang para wali murid untuk pembagian hasil belajar anak-anak pada semester ganjil ini. Murid-murid masih tetap seperti biasa masuk terlebih dahulu, sedangkan undangan wali muridnya sekitar jam 9 pagi. 

“Mel, kamu masih marah dengan kami?” tanya Hesti setelah sikunya disenggol pelan oleh Nur.

“Enggak,” jawab Melia ketus. 

Mereka bertiga dari gerbang menuju kelas. Namun, tidak seperti biasanya. Melia berjalan lebih dahulu di depan Nur dan Hesti. Dia tidak mau berjalan sejajar dengan kedua sahabatnya itu. Kejadian kemarin masih membelas di memorinya. 

“Tuh, jalannya cepat banget. Kami ditinggal,” gerutu Nur dengan nada sedikit meninggi supaya suaranya sampai ke telinga Melia.

Melia tak menghiraukan ocehan kedua sahabatnya yang di belakang. Dia hanya terus melangkah menuju kelas. Hari ini dia sangat malas sekali meladeni kedua perempuan yang mengoceh di belakangnya. 

Para siswa menanti pengumuman dan pertemuan para wali murid yang diadakan di aula sekolah. Sebenarnya untuk siswa-siswi hari ini adalah hari tenang dan bebas. Akan tetapi, murid-murid tak diperkenankan berkeliaran di luar kelas tanpa ada kepentingan. 

“Wah! Itu bukannya ayah dan ibunya Nur, ya?” tanya salah satu teman kelas Nur, Melia, dan Hesti setelah melihat suami-istri keluar dari mobil mewah di halaman sekolahnya.

Spontan Melia, Nur, dan Hesti pun mengarahkan pandangan menuju luar melalui jendela kelas mereka. Selain itu semua siswa satu kelas mereka pun ikutan penasaran. 

“Itu orang tuamu, kan, Nur?” tanya Melia pelan dengan pandangan masih tertuju ke luar kelas tanpa menatap Nur.

Baca juga: Contoh Teks Cerita Anak Singkat yang Berjudul Sandal Jepit

“Ya, iyalah. Ayah dan ibuku. Kamu, kan, sudah tahu Mel,” balasnya santai.

“Lalu itu mobilmu?” Sekarang berganti Hesti yang mengungkapkan pertanyaannya.

“Iya, itu mobil kami. Sebenarnya ayahku adalah salah satu pengurus tinggi di sekolah ini. Tapi, beliau tidak mau tersorot. Sebab itu, kalau hanya mengantar-jemput aku beliau hanya menggunakan motor biasa,” jelas Nur.

Seketika Hesti mengguncang-guncang tubuh Nur dan histeris, “Wah! aku punya sahabat tajir melintir. Keren.” 

Melihat perilaku Hesti, Melia pun tersenyum kecut. Dia tak suka ada yang lebih darinya. Gadis itu memutuskan untuk kembali duduk di kursinya daripada membahas keluarga Nur yang ternyata seorang sultan. Padahal selama ini dia yang berusaha tampil layaknya anak sultan. Diantar-jemput oleh sopir pribadi. Sebenarnya sopir itu hanya sopir online yang dipesannya. Melia rela berbohong demi terlihat kaya.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com