Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 4)
Assalamualaikum, salam sejahtera buat semua. Selamat datang di Coretan Karya oleh Zahra Wardah. Kali ini Coretan Karya mempersembahkan kembali kisah Mas Juki dan Mila. Menurut kalian bagian mana yang paling seru? Tulis di kolom komentar, ya. Jangan lupa share juga.Oh, ya bagi teman-teman penulis yang karyanya mau saya review dan masuk ke sini segera hubungi Zahra Wardah. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan. Aamiin.
****
Bab 4: Mendua dengan Ibu?
Aku amati orang itu dari area parkir. Kupastikan kalau itu memang benar-benar Ibu dengan mengucek kedua mataku terlebih dahulu. Benar, itu Ibu. Biasanya Ibu tak mau pergi-pergi selain pakai kendaraannya sendiri dengan alasan mobil orang kurang bersih, bauk, atau pernyataan-pernyataan yang menurutku tak masuk akal. Sementara mobilnya sedang kupakai. Namun, kini Ibu tiba-tiba saja sudah berada di rumah sakit. Pasti yang dikunjunginya teman spesial sampai-sampai Ibu rela keluar dari rumah tanpa mobilnya sendiri.
“Hai! Mil, kenapa kamu melamun di sini? Ayok, pulang.” Indah sudah berhelm mengendarai motornya.
“Enggak pa-pa. Eh, kamu enggak pa-pa pulang sendiri?” Meski suka resek, tetapi rasa simpatiku kepada Indah sampai sekarang belum pudar. Enggak tahu kalau besok, ya.
“Aku baik, kok. Ya, sudah aku duluan, ya.” Indah menstater motor, lalu meninggalkanku di posisi semula.
Rasa penasaran masih membayangiku. Untuk memuaskan rasa itu, aku putuskan kembali masuk ke rumah sakit mencari Ibu. Sialnya, sudah puluhan menit aku menyusuri bangunan ini tak kudapatkan Ibu. Ponselnya pun dimatikan. Aku berdecak, kesal. Di lorong rumah sakit, kubalikkan badan masih dengan menatap ponsel. Tiba-tiba aku menabrak seseorang.
“Loh, Mila masih di sini?”
“Iya. Maaf, Mas tadi saya enggak lihat jalan.” Aku meringis malu.
“Oh, enggak pa-pa. Saya yang salah karena buru-buru ada tamu di ruangan anak saya.” Mas Juki berlalu begitu saja kecuali senyumnya yang masih melekat di hatiku.
Anggukanku mengantarkan kepergian Mas Juki sampai tak terlihat. Kenapa aku harus terpikat dengan duda tampan ini? Apakah otakku masih aman? Benar dengan pepatah lama ‘cinta itu buta’, tak memandang usia dan status.
Sebenarnya aku masih ingin berada di rumah sakit ini. Sekedar mencuri pandang bahkan mengambil hati Anin. Akan tetapi, tak ada alasanku untuk tetap di sini. Tak sadar ternyata kakiku menuju ruangan Anin dirawat. Aku berniat mengetuk pintu ruangan itu, tetapi urung.
“Sudahlah. Aku sudah gila pasti.”
Dengan menggeleng aku putar balik menuju tempat parkir. Namun, baru beberapa langkah aku mendengar pintu ruangan Anin terbuka. Lebih kagetnya lagi suara Ibu ada di sana. Aku segera bersembunyi di balik tembok, lalu mengintip. Ternyata benar. Berarti tamu yang dimaksud Mas Juki tadi Ibu.
***
Sepanjang jalan aku dan Ibu tak ada yang mengeluarkan suara. Hingga akhirnya Ibu yang membuka percakapan kami.
“Ibu hanya menjenguk anak tetangga yang kecelakaan. Kamu sendiri ngapain ke rumah sakit?” Ibu sepertinya mengerti isi kepalaku.
“Menjenguk atau menjenguk. Kenapa tiba-tiba Ibu begitu antusias. Biasanya untuk ke rumah sakit demi kesehatan sendiri saja Ibu malas.”
Aku sangat penasaran alasan Ibu. Rasa buruk sangka menguasaiku. Semenjak Ayah meninggal, Ibu tak terlalu suka keluar rumah dengan alasan di luar begitu banyak polusi. Dia tak suka itu.
“Menjenguk, Mila.”
“Dan Ibu tegaskan lagi. Ibu tak suka kamu dekat duda tetangga baru kita itu,” lanjutnya.
Seketika konsentrasiku melemah. Hampir saja aku menyerempet pengendara motor di depanku.
“Ibu menyuruhku untuk menjauhi Mas Juki. Sementara Ibu sendiri dengan senang hati mendekatinya. Apa maksud Ibu?” Nadaku meninggi.
“Ibu hanya menjenguk dan menghormatinya sebagai tetangga baru, Mila.” Ibu pun tak kalah emosi.
“Sudahlah. Ibu tak mengerti aku, sih. Aku mau istirahat.” Aku bergegas turun dari mobil meninggalkan Ibu setelah sampai mobil benar-benar sudah terparkir.
Aku berlari menuju kamar. Kenapa perasaanku campur aduk begini? Ada rasa senang sekaligus geram. Capek. Pintu kamar sengaja kututup kencang sebagai pelampiasan emosi.
Sejenak kemudian, Ibu mengetuk pintu kamarku. Akan tetapi, tak kutanggapi. Justru wajah ini makin kutenggelamkan di antara bantal dan guling supaya suara Ibu tak masuk ke telinga lagi.
***
“Anin, Kakak pulang dulu, ya. Besok kita belajar lagi.” Aku membereskan buku paket anak kelas satu sekolah dasar.
“Ya, kok pulang, sih, Kak. Kita main dulu, dong,” rengek Anin sembari menggaet tanganku.
“Aku senang dengan Kakak saat pertama kali kita jumpa di rumah sakit. Kakak baik dan perhatian dengan Anin,” sambung anak perempuan Mas Juki.
Bukannya bermaksud untuk menolak permintaan Anin. Namun, aku tak enak dengan Mas Juki jika berlama-lama di rumahnya. Meski sikapku masih sering selengean, tetap saja di hadapan Mas Juki aku harus bersikap baik. Demi mendapat nama baik. Punya alasan ke rumahnya saja aku sangat beruntung, yaitu mengajar les Anin. Bukan aku yang menawarkan diri, melainkan Anin yang memintaku untuk jadi guru lesnya. Alhamdulillah.
“Iya, Anin. Kakak juga senang bisa bermain dan belajar dengan Anin. Tapi, Kakak harus pulang. Ada yang harus Kakak kerjakan di rumah.”
Kalau saja tadi sebelum aku keluar dari rumah Ibu menyuruhku mengganti tabung gas terlebih dahulu, aku bisa bermain sepuasnya dengan Anin di sini. Ibu memang selalu merusak acaraku untuk mendekati Mas Juki dan Anin.
Akhirnya Anin pun melepas kepulanganku dengan terpaksa. Jarak rumah kami tak terlalu jauh, makanya aku memilih untuk jalan kaki. Belum sampai rumah, dari kejauhan suara motor Indah masuk ke pendengaranku.
“Dasar anak ini tak bisa memang jauh-jauh dariku. Malam minggu aja yang diapelin aku,” bisikku dalam hati sembari tersenyum tanpa makna.
Indah menghentikan motornya setelah membunyikan klakson motor yang tak seberapa itu. “Mil, dari mana?”
“Biasa dari rumah gebetan. Emangnya kamu, malam minggu tanpa ada ayang.” Aku tergelak menang.
“Bodo amat. Ya, sudah mau naik enggak.”
Tak mungkin aku menolak tawaran Indah. Sebenarnya aku senang saat Indah datang. Aku bisa sepuasnya bercerita dengannya. Meski kadang hanya dianggap Indah radio rusak. Setidaknya aku sudah puas mengeluarkan yang ingin kukeluarkan semua.
“Aku bawa gorengan, nih. Nanti untuk camilan kita nonton, ya.”
Baca juga: Contoh Teks Puisi tentang Kehidupan Keren
Indah mengambil kantong plastik yang tergantung di motornya seusai memarkir motor di depan rumahku.
“Ternyata ke sini ada maunya.” Aku sedikit kecewa karena tak sesuai ekspektasiku.
“Mumpung sudah tak ada lagi beban di sekolah.” Dia pun masuk ke rumah lebih dulu. Sementara aku, mengekor setelah sadar dia sudah berada dalam rumahku.
Baru masuk rumah, aku mencium bau yang tak biasanya. Seperti harum parfum yang menyengat. Aku telusuri setiap sudut rumah. Sampai di depan kamar Ibu baunya makin menjadi. Tenggorokanku sampai gatal dan rasanya ingin muntah.
“Ibu pakai parfum. Baunya menyengat sekali. Mau ke mana, sih? Tumben.” Mataku memindai dari atas ke bawah tubuh Ibu berbalut baju cerah sekali. Merah merona. Aku makin curiga.
“Emangnya Ibu apaan diendus-endus gini. Ibu sudah lama enggak keluar. Hanya ingin hirup udara segar saja.”
“Udara segar atau udara segar?” tanyaku sangsi.
Belum sampai Ibu menjawabku, Indah memanggil dari kamarku. “Mil, mana laptopmu?”
***
BERSAMBUNG
Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: PixelLab