Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Keciput Amin

Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Keciput Amin


Halo, Teman-Teman. Selamat datang di Coretan Karya. Kali ini kami mempersembahkan Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Keciput Amin.  Di sini juga kamu bisa menikmati puisi, cerbung, cernak, cermin, dan review buku. Bagi teman-teman penulis yang bukunya ingin direview dan masuk ke coretan karya silakan langsung hubungi Zahra Wardah. Jangan lupa share, ya. Oh, ya bagi yang ingin mendengarkan dan menonton cerita-cerita di sini kamu bisa mengunjungi channel Cerita Keren di Youtube. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan. Aamiin.


****


Para jemaah salat Idul Fitri sudah berhamburan dari masjid dengan wajah yang semringah. Kembali ke rumah masing-masing dengan berbagai makanan yang sudah menggugah selera. Sebulan berpuasa cukup membuat bahagia kala pagi ini lambung boleh terisi makanan kembali. 

“Buk, aku pamit ke tetangga dulu sama teman-teman, ya,” pamit Amin seusai menghabiskan satu piring nasi berikut opor ayam masakan Bu Warti dengan cepat.

“Iya, hati-hati.” Bu Warti setengah memekik karena melihat putranya yang sudah menjauh darinya.

Semburat kebahagiaan tampak jelas di wajah Amin. Pasalnya sebentar lagi dia akan menikmati kue lebaran kesukaannya, keciput. Berhubung ibunya lebaran tahun ini tak membuat keciput sendiri seperti tahun-tahun sebelumnya, Amin mengincar makanan itu di rumah tetangganya. 

“Ayo, Ham kita mulai dari tempat Pak RT,” ajak Amin kepada sahabatnya.

Kedua anak berusia sepuluh tahun itu lantas mendekati rumah berwarna hijau, tepat di samping rumah Amin.

“Assalamualaikum ...,” ucap Amin dengan semangat.

“Waalaikumussalam ....” Suara si pemilik rumah terdengar dari dalam menyambut mereka.

“Wah, Amin sama Ilham, to. Silakan masuk sini. Ini tamu pertama kita di lebaran pertama ini. Silakan-silakan dimakan ini jajannya.” Pak Rozak menyambut tamu kecilnya berikut dengan seulas senyum seraya membukakan stoples-stoples yang sudah tersedia di meja tamu.

Pandangan Amin menatap tajam pada salah satu stoples yang berada di ujung. Posisi yang jauh darinya membuat Amin mencolek Ilham sebagai syarat meminta tolong untuk mengambilkan kue favorit Amin itu. 

“Alah, kamu, Min. Baru saja duduk sudah ingin nyantap keciput saja,” gerutu Ilham. Meski begitu tetap saja tangannya sambil meraih stoples yang berwarna merah tutupnya.

Amin menyuguhi senyuman manjanya dengan memperlihatkan gigi-giginya berbaris. Untung saja Pak Rozak tak ada di tempat, ke dapur memanggil istrinya yang sedang mencuci piring. Beberapa menit kemudian, ketua RT itu kembali lagi ke ruang tamu.

“Kok, jajannya dianggurin, Min, Ham?” tanya Pak Rozak kala melihat dua anak tersebut tak ada yang membuka stoplesnya.

“Amin sudah duluan makan keciput, Pak. Dia malu. Nampak Bapak ke sini langsung cepat-cepat, tuh, keciput ditelan. Hahaha,” adu Ilham seraya tergelak-gelak.

Wajah Amin seketika merona. Malu. Namun, tangannya pun tak sanggup dikendalikan. Masih saja meraih kue kesukaannya itu, meski tuan rumah ada di sana juga.

“Amin, Amin. Ya, sudah kamu juga makan jajannya, Ham. Silakan.” Pak Rozak mengulas senyum tanda maklum terhadap anak-anak itu.

***

Hari semakin panas. Matahari mulai merangkak ke atas. Tepat sebelum azan Zuhur Amin dan Ilham singgah ke musala, hendak mengikuti salat jemaah Zuhur.

“Setelah salat, kita ke rumahmu dulu, ya, Ham. Kita istirahat di sana. Lagian aku juga belum salim dan silaturahmi dengan orang tuamu,” ujar Amin sambil berjalan menuju tempat wudu.

“Iya, kamu pasti mengincar keciput di rumahku, to? Saat puasa kemarin ibuku buat banyak keciput. Jadi, kamu bisa puas nanti makannya.” 

“Hehehe, kamu tahu aja. Ibuku kemarin enggak buat keciput, Ham. Beliau kehabisan bahan dan uang kami tak cukup untuk membuat bahan keciput itu. Kata Ibu lebih baik uangnya dibuat beli beras dulu. Soal keciput kalau ada rezeki lagi bisa dibuat, meski lebaran sudah usai.” 

Panjang lebar Amin menjelaskan kondisinya dan Bu Warti. Kondisi Bu Warti seorang janda buruh cuci pakaian kadang memaksa Ilham untuk berpikir dan bersikap lebih dewasa. 

“Oke. Nanti kamu boleh bawa pulang keciput semaumu,” balas Ilham.

“Terima kasih, Ham. Kamu memang sahabat terbaikku.” 

Meski Ilham terkadang suka bercanda, tetapi dialah satu-satunya teman Amin yang sangat mengerti Amin sebagai anak yatim. Kebaikannya itu yang sukses membuat Amin semakin dekat. Bukan karena orang tua Ilham yang termasuk orang kaya, lantas Amin mendekat dengan Ilham. Bukan.

***

“Buk, Pak. Ini ada Amin berkunjung.” Ilham menyelusuri rumahnya untuk mencari kedua orang tuanya.

Langkahnya sudah menyusuri semua lorong rumah yang luas itu. Namun, tak ada satu pun orang ditemui Ilham. 

“Ke mana, Ibuk sama Bapak? Kok, pintu depan enggak dikunci?” anak lelaki itu bermonolog.

“Enggak ada, Ham orang tuamu?” tanya Amin setelah menyadari Ilham muncul kembali ke ruang tamu dengan wajah ditekuk.

Ilham menggeleng pelan. Akan tetapi, baru saja anak lelaki itu menjatuhkan bebannya di kursi ruang tamu, terdengar suara salam dari luar. Ilham pun lekas menuju asal suara salam tersebut. Wajah yang tadinya tampak sedih berubah semringah.

“Bapak sama Ibu ke mana tadi? Pintu rumah, kok, enggak dikunci?” Beberapa pertanyaan seketika keluar dari mulut Ilham kala pandangannya menangkap sosok Bapak dan Ibunya. 

“Entah ini bapakmu. Tadi disuruh ngunci rumah dulu malah lupa. Kebiasaan itu,” cerocos wanita berkerudung merah itu. 

Sudah makanan sehari-hari Pak Kardi dengan omelan istrinya itu. Dia sudah maklum atas ocehan istrinya barusan itu. Jadi, dia hanya geleng-geleng pelan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. 

“Oh, ada Amin. Dimakan jajannya itu,” kata Pak Kardi setelah netranya menemukan Amin sedang duduk di ruang tamunya. Dia memasang wajah bahagia menyambut tamu yang sudah datang lebih dulu. Sedangkan, istrinya hanya melewati Amin begitu saja menuju kamar. Sangat kontras sifatnya dengan Pak Kardi. 

“Maklumin saja, ya, Min ibunya Ilham begitu. Maafkan beliau, ya,” sambungnya lagi.

Amin canggung saat berada di tengah keluarga Ilham. Dia hanya manggut-manggut pelan. Pernah suatu ketika dia tak sengaja mendengar bahwa Bu Rini tak menyukai Ilham bermain dengannya karena status sosial Amin di bawah mereka. Akan tetapi, Ilham berusaha memberi pengertian supaya tetap diperbolehkan bergaul dengan Amin. Hal ini Amin pendam sendiri. Dia menganggap hal itu hanya angin saja yang lewat di telinganya.

“Ya, sudah ini bawa, Min. Katanya kamu suka sekali dengan keciput.” Pak Kardi menawarkan keciputnya kala Amin hendak undur diri. 

Sedetik kemudian, terdengar suara Bu Rini menuju ruang tamu.

Baca juga: Beberapa Contoh Teks Puisi Menyentuh tentang Kehidupan

“Jangan diberikan semua begitu, dong, Pak jajan kita. Nanti tamu selanjutnya jadi enggak kebagian, deh. Lebaran, kan, masih panjang.” Sambil melirik Amin Bu Rini pasang muka kecut.

“Ya Allah, Bu.” Pak Kardi mengelus dada.

“Ya, sudah, Pak. Saya pamit sekarang saja. Terima kasih tawarannya tadi,” ucap Amin.

 Anak lelaki berperawakan tinggi itu pun segera berpamitan, lalu mencium punggung tangan kedua orang tua Ilham tanpa membawa keciput kesukaannya.

“Hati-hati, ya, Min.” Ilham mengantar kepergian sahabatnya hingga luar rumahnya berikut lambaian tangannya sebagai tanda perpisahan.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pngtree