Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 6)

Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 6)



Assalamualaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kali ini kami mempersembahkan Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 6). Siapa di sini yang sudah tak sabar lanjut cerita Mas Duda dan Mila? Selamat menikmati dan semoga harimu menyenangkan.

Coretan Karya insyaAllah akan update setiap Ahad dan Rabu. Pantengin, ya. Jangan lupa dishare juga. Oh, ya bagi teman-teman penulis yang bukunya hendak direview dan masuk ke sini, silakan langsung hubungi Zahra Wardah, ya. Terima kasih.

****

Bab 6: Mulai Jelas?


“Kamu benar baik, Dek?” tanya Mas Juki seusai meletakkan tubuhku pelan ke sofa ruang televisi. 

“Iya. Terima kasih.”

Mas Juki mengangguk pelan, lantas berlalu menyisakan aku yang masih terpesona oleh ketampanannya. 

“Mas!” pekikku saat menyadari Mas Juki hampir sampai pintu.

“Mas Juki ngapain ke sini?” 

“Anu ... enggak pa-pa. Tadi mau pinjam alat pemotong rumput, ternyata di sini enggak punya. Ya, sudah aku pulang dulu, ya.”

Mimik Mas Juki seperti menyiratkan keraguan. Dia kikuk, lalu lekas undur diri. Logikaku kalah dengan rasa kagum kepada duda tampan itu. Pandanganku mengantar kepergian Mas Juki, hingga tak terlihat.

“Mila, kamu masih menyukai tetangga kita itu?”

Suara Ibu menyambar dan membuyarkan lamunanku. Sosok Ibu sudah berada tepat di hadapanku. Sorot mata wanita yang super bersih ini dalam sekali. Seolah ingin sekali mendapat jawaban sesuai dengan ekspektasinya.

“Ibu kenapa, sih? Aku, kan, sudah besar. Jadi, terserah aku mau jatuh cinta sama jejaka atau duda. Atau sama juragan tempe. Kenapa? Kenapa masih mengaturku?” Nadaku meninggi. 

Aku meluapkan semua tentang persoalan yang sedang kami perdebatkan akhir-akhir ini. Jantungku pun tak beraturan. Tatapan Ibu menyiratkan pertanyaan ‘ada apa denganku?’ Ibu terpaku. 

“Mila! Mila tunggu!” teriak Ibu saat aku tergopoh dengan kaki terluka meninggalkannya menuju kamar. 

Panggilan Ibu kuabaikan. Air mataku luruh. Aku membanting tubuh ke kasur kesayanganku, lalu menenggelamkan wajah dalam  kemul. Tampak Indah yang baru keluar dari kamar mandi kaget melihatku yang baru saja dari luar.

“Kamu kenapa, Mil?”

“Kamu dari mana saja, Ndah? Barusan ada kejadian yang menyenangkan sekaligus menyedihkan,” ucapku dari dalam selimut. 

“Perutku sakit. Kepedasan. Baru selesai buang hajat.”

Aku mendengar Indah cengengesan layaknya orang gila. Dasar. Katanya sahabat, tetapi di saat diperlukan malah ditinggal buang air. Lama banget lagi.

***

“Hei! Indah. Sudah jam berapa ini? Kamu enggak pulang? Nanti orang tuamu nyariin.”

Aku mengomel karena Indah sejak pagi hingga sore di kamar ini hanya menonton saja kerjanya. Lama-lama muak juga lihat wajah Indah yang tak seindah namanya itu.

“Iya, bentar lagi. Mumpung di sini. Aku puaskan dulu nonton.” Indah menjawabku tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

Perut terasa berbunyi. Aku baru sadar dari siang tadi belum ada makanan yang masuk ke lambung. Langkahku hati-hati menuju dapur. Rasanya malu plus malas jika berpapasan dengan Ibu saat ini. Akan tetapi, saat melewati meja makan tiba-tiba sebuah ponsel yang tergeletak di sana berdering. Tinggal beberapa jengkal, Ibu menyambar lebih dulu ponsel itu. Sempat aku baca sekilas nama si pemanggil. 

“Dari siapa, Bu?” 

Alih-alih membalasku, Ibu justru seperti menghindariku. Sampai suara dering ponselnya mati sendiri karena tak segera dijawab olehnya. Energi negatif timbul bergerombol saling berjejal dalam otakku. Gemuruh di dada kian bertambah. Pandanganku menyertai kepergian Ibu hingga sosoknya menghilang dari pintu kamarnya. Nama yang muncul di ponsel Ibu melekat erat di pikiranku. Iya, nama “tetangga” sukses membuatku jadi buruk sangka. Nama Mas Juki berseliweran sebagai tersangka bersama Ibu.

Beberapa detik mematung, akhirnya aku sadar akan nasib perut. Dengan lunglai dan lemas aku mengambil piring. Apesnya, benda bulat itu bisa-bisanya merosot dari genggaman. Suara benda pecah pun menggema. Hari ini sudah dua benda di dapur sebagai korbanku tanpa sadar.

“Mila! Kamu kenapa?”

“Udah tahu aku mecahin piring. Masih tanya lagi.” 

Aku melampiaskan kekesalanku kepada Indah. Kalau dipikir-pikir kasihan Indah juga, sih. Namun, dia juga kadang sanggup membuat amarahku sampai ubun-ubun karena petuah-petuahnya itu. 

“Makanya kalau ngambil piring hati-hati. Bagaimana kalau kamu terluka lagi seperti tadi pagi? Dirimu adalah tanggung jawabmu.”

Tuh, kan. Baru saja aku bicarakan. Sudah muncul nasihat-nasihatnya. Aku menghela napas panjang. Untung saja dia sahabat satu-satunya. Indah pun membantuku membersihkan serpihan di lantai. Sementara Ibu, tak ada sedikit melongok, sekedar melepaskan rasa penasaran tentang peristiwa yang baru terjadi di sini. Padahal kamarnya yang terdekat dengan ruang makan.

Setelah membersihkan serpihan kaca piring, terdengar derit pintu kamar Ibu terbuka. Seorang yang anti kotor itu menyembul dari dalam. Wajahnya tergambar suatu kegembiraan. Pemandangan itu sukses memupuk kekesalanku pada Ibu.

“Ibu mau ke tempat laundry dulu, ya.”

Sebenarnya pekerjaan Ibu memang setiap pagi dan sore ke tempat usahanya, laundry. Untuk memantau dan mengecek saat buka dan tutup. Namun, kali ini seperti beda. Dandanan dan auranya begitu mencurigakan. Lagi-lagi aku mengembuskan napas kasar dan membiarkan Ibu menjauh dari kami.

***

Mataku sulit memejam. Jarum jam pendek di dinding kamar menuju angka sebelas. Suara terdengar jelas sekali sejak Indah pulang. Gambaran Ibu dan Mas Juki menari-nari dalam otakku. Sesekali tubuhku miring kanan dan sesekali miring kiri dengan jeda yang sangat singkat. Ibu belum juga pulang. Rasanya serasa gerah. Aku pun beranjak menuju dapur untuk mengambil air minum.

Baru satu teguk, Ibu muncul setelah suara pintu depan berbunyi. Aku bersikap impulsif mendekati Ibu. 

“Ibu dari mana? Kok, baru pulang?” cecarku setelah tinggal beberapa jengkal dari posisi Ibu berdiri sekarang.

“Aduh. Kaget Ibu. Kamu kenapa belum tidur?” Ibu mengelus dadanya.

“Udah enggak usah basa basi. Jawab saja pertanyaanku barusan.” Nadaku sedikit meninggi. 

“Ya, biasa Mila. Ibu dari laundry. Alhamdulillah hari ini rame banget usaha kita. Jadi, Ibu lembur ngurusin pembukuan. Kan, bentar lagi para karyawan mau gajian. Ya, sudah tidur sana. Sudah larut ini.” 

Ibu berlalu dengan senyuman. Senyuman apa itu? Aku tak tahu. Ibu makin menyebalkan, membuat dadaku hampir meledak.

“Ibu!” pekikku saat Ibu hampir masuk ke kamarnya.

Derap langkahku cepat menuju Ibu. “Ibu punya hubungan apa dengan Mas Juki?” Bibir  terasa bergetar kala mengucap nama duda tampan incaranku.

“Kamu lagi ngaco, ya ....”

Baca juga: Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Aroma Masakan Tetangga

“Tidak. Aku sadar. Sadar sekali bahkan dengan pertanyaanku tadi. Tolong, jawab, Bu.” Aku memotong ucapan Ibu. Saking tak sabar ingin mengetahui jawaban sebenarnya dari mulut Ibu.

Ibu bergeming menandakan kebingungan atas perbuatanku. Selama ini Ibu tak pernah mencampuri urusan asmaraku dengan mantan-mantanku. Hanya dengan Mas Juki ini Ibu terasa ribet bagiku.

“Ada apa denganmu, Mila?” tanya Ibu sembari hendak memegang dahiku, tetapi lekas kutangkis.

“Aku baik, Bu. Seharusnya aku yang bertanya. Ada apa dengan Ibu. Kenapa Ibu melarangku dengan Mas Juki. Sementara Ibu sendiri ....”

Pertahananku runtuh. Butiran air mata mengucur deras ke pipi. Aku tak sanggup meneruskan kembali perkataanku. Tanpa berpikir lagi aku meninggalkan Ibu, lari ke kamar. Beberapa helai pakaian kumasukkan ke koper, lantas meninggalkan rumah tempatku tumbuh hingga saat ini. Teriakan Ibu tak kuhiraukan. Justru langkahku makin kencang. Belum ada gambaran tujuan dalam otakku malam-malam begini. Aku tak tahu dapat dari mana keberanianku ini. 

***


BERSAMBUNG


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com dan pixelLab