Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Aroma Masakan Tetangga
Assalamualaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kali ini kami mempersembahkan Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Aroma Masakan Tetangga. Selamat menikmati dan semoga harimu menyenangkan.
Bagi teman penulis yang bukunya hendak direview dan masuk ke blog ini, boleh langsung hubungi Zahra Wardah, ya. Terima kasih.
****
Jarum jam sudah menuju pada angka sembilan. Malam terasa makin dingin. Angin sepoi menembus pintu rumah Ali. Sementara itu, Isma masih saja mondar-mandi di ruang tamu. Sesekali menatap jam dinding yang terus melaju.
“Pak, kenapa belum ada berkat dari tetangga baru kita, ya, Pak? Aku sudah lapar ini, loh.” Mulut Isma mengerucut. Dia masih berharap dugaannya tidak salah karena sore tadi bau masakan enak tercium dari rumah Asep, tetangga baru.
“Lapar tinggal makan, Bu.”
Dengan santai dan menghidu kopinya, Ali menjawab sekenanya. Dia asyik membaca koran yang tadi pagi tak sempat dibaca.
“Dasar Bapak ini. Enggak peka.” Isma berlalu dengan kaki dientak-entakkan supaya suaminya mendengar. Kemudian, masuk ke kamar dengan menutup pintunya keras.
Lima menit berselang, Ali pun mengikuti istrinya ke kamar. Sebab, dia tahu kalau istrinya sudah merenyuk perang dunia ketiga pasti segera mulai. Dengan hati-hati Ali mendekat dan duduk di dekat Isma yang berbaring membelakanginya.
“Maafkan aku, Bu. Aku tahu Ibu pasti pengin dianterin masakan dari tetangga sebelah, kan? Tapi, itu tak bagus, Bu. Mengharapkan sesuatu yang belum pasti dari orang lain. Nanti bakalan nyesel sendiri. Aku ambilkan makan, ya.” Ali menepuk pelan punggung Isma.
“Aku sudah kenyang. Kenyang dengan ocehan Bapak. Sudah, aku mau tidur aja.”
Isma menutup kepalanya dengan bantal dan membiarkan suaminya yang kesulitan menghadapinya.
***
Pagi itu cerah sekali. Mentari tipis hangat terasa menembus kulit. Suara yang ditunggu ibu-ibu kompleks pun sudah terdengar. Isma siap-siap menghadang Bang tukang sayur yang lewat.
“Bang Sapri, beli!” teriak Isma kala tukang sayur itu lewat. Bang sayur pun segera belok, masuk ke pelataran rumah Isma.
“Siap, Bu Isma.”
Semenit kemudian, ibu-ibu kompleks berdatangan. Di pelataran Bu Isma inilah pusat untuk menjajakan barang dagangan Bang Sapri. Selain tempatnya yang strategis, halaman rumah Bu Isma juga luas dibanding rumah yang lain di kompleks itu. DI situ pula tempat berkembangnya gosip-gosip teraktual.
Para ibu sibuk memilih dan memilah sayuran. Ada juga yang sibuk menawar sampai harga terendah. Jika mendapatkan belanjaan dengan harga terendah, mereka merasa menang bak menang melawan penjajah di medan perang.
“Eh, Bu. Kemarin ada yang dianterin masakan sama tetangga baru kita itu?” tanya Isma, tak tahan menutup rasa penasarannya.
“Iya, saya dikasih rendang daging. Tapi, hanya beberapa iris saja.” Ibu berbadan gempal menyahut dengan nada merendah di kalimat terakhirnya.
“Loh, kalau aku dikasih rendang ayam. Memang iya, sih, cuma 3 potong. Kalau Bu Isma dapat apa? Pasti dapat banyak, kan, tetangganya. Di sampingnya persis lagi rumahnya.” Ibu berkerudung merah pun ikut nimbrung.
“Hem ... dia itu pelit. Saya malah enggak dapat apa-apa. Justru dapat aroma masakannya doang. Bayangkan itu ibu-ibu.” Isma memprovokasi semua ibu-ibu yang berbelanja.
“Dasar pelit, ya.” Samar-samar suara itu keluar dari mulut ibu-ibu yang menjeda aktivitas belanjanya demi Isma. Sementara itu, Isma tersenyum sinis. Kini dia punya banyak pasukan untuk memojokkan si tetangga baru itu.
“Mungkin kelewatan kali, Bu. Dikiranya Bu Isma sudah dianterin ternyata belum.” Bang Sapri menengahi di antara riuhnya ibu-ibu yang sibuk menggosipkan tetangga baru.
“Masak rumah tepat di sampingnya bisa kelewatan. Sungguh terlalu kalau begitu,” ucap Isma.
Bang Sapri menggeleng pelan yang menandakan tidak setuju dengan pernyataan Isma barusan. Dia pun melayani seluruh pembelinya dengan senang hati. Sampai ibu-ibu bubar barisan. Sebenarnya terkadang Bang Sapri capek mendengarkan gosip-gosip dari pembelinya, tetapi apa boleh buat. Sudah konsekuensinya jadi seorang tukang sayur, menjadi pendengar gosip terbaru.
***
“Assalamualaikum, Slamet pulang,” ucap Slamet, anak semata wayang Ismi dan Ali setelah membuka pintu rumah.
Slamet menyusuri setiap sudut rumah tak menemukan satu orang pun di sana. Dia pun berteriak mencari ibunya. Sahutan Isma terdengar dari dalam kamar mandi. Ternyata Isma sedang buang air besar.
“Ini, Bu tadi tetangga baru ngasih makanan.”
“Apaan?” tanya Isma dengan nada sedikit keras dengan posisi semula.
“Enggak tahu apa ini namanya. Satu baskom. Aku main dulu, ya, Bu.”
“Makan dulu!” pekik Isma.
“Nanti ditinggal dengan teman-teman, Bu. Makannya nanti saja kalau pulang main.”
“Ya, sudah hati-hati. Cepat pulangnya.”
Baca juga: Beberapa Contoh Teks Puisi Menarik tentang Kehidupan
“Siap.” Slamet berlari keluar rumah dengan cepat.
Usai memberi izin anaknya, Isma segera menyelesaikan hajatnya, lantas segera membuka baskom yang tergeletak di meja makan. Di dalam baskom itu terdapat rendang ayam dan rendang daging banyak banget. Sampai Isma malas menghitungnya.
“Wah, berarti yang dapat banyak hanya aku ini. Jangan-jangan yang dibilang Bang Sapri tadi benar. Tetangga baru itu lupa. Nah, karena lupa jadi di sini diberi banyak, deh. Yes, ibu-ibu pasti pada ngiri kalau tahu. Aku diam aja, deh,” gumam Isma.
“Ada apa, Bu? Ngomong sendiri?” tanya Ali yang tiba-tiba muncul di belakang Isma.
“Ini ada makanan dari tetangga, Pak.” Isma menggeser baskom supaya suaminya melihat isinya.
“Banyak banget, Bu. Makanya jangan suudzon dulu. Kemarin bisa saja mereka lupa.”
“Iya, iya, Pak.” Dengan tak sadar dia mengakui kesalahannya kemarin.
“Masak marah-marah hanya karena tidak dianterin makanan oleh tetangga. Kan, enggak lucu.” Ali menggoda istrinya dengan senyuman meledek.
Isma mendengkus kesal. Meski begitu, dia tetap melayani Ali dengan mengambilkan makan siang dan minumnya. Pun Isma ikut serta makan siang bersama suami tercinta dengan rendang yang aromanya menggugah selera.
***
Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: pixabay.com