Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Kesombongan Rendra

Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Kesombongan Rendra


Assalamualaikum. Salam sejahtera semuanya. Selamat datang kembali di Coretan Karya oleh Zahra Wardah. Kali ini kali mempersembahkan cerpen singkat tentang kehidupan yang berjudul Kesombongan Rendra. Bagi kamu, para penulis jika karyanya hendak direview dan masuk ke blog ini silakan segera hubungi Zahra Wardah. 

Oh, ya, kami juga ada youtubenya, loh. Bagi kalian yang ingin menonton, silakan langsung ke aplikasi youtube dan tulis di kolom pencarian "Cerita Keren". Terima kasih semuanya dan semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

****


“Ayok, bareng aku cari makan siangnya. Pakai mobil baruku.” Dengan tampang sombong, Rendra pamer kepada Rio, teman satu kantornya.

“Yaelah, mobil kredit aja bangga. Aku makan di kantin aja. Kamu pergilah sendiri,” timpal Rio.

Rendra hanya menyungging senyum kecut. “Kalau iri bilang bos.” 

Siang bolong Rendra baru keluar dari kantornya. Dia mengendarai mobilnya untuk makan siang sekaligus hendak menunaikan salat Zuhur. Tepat sebelum seruan azan zuhur mobil berwarna hitam tiba di area Masjid terdekat kantor Rendra. Derap langkah Rendra terdengar mendugas. Sebelumnya dia berencana untuk mencari makan siang terlebih dahulu, tetapi waktu salat Zuhur makin dekat. 

Akhirnya Rendra memutuskan untuk ke masjid terlebih dahulu. Sebenarnya dia hendak cari perhatian kepada bos besarnya. Yang konon katanya hari ini akan berkunjung ke kantor dan hendak salat berjemaah dulu sebelum ke kantor. Dia berharap bertemu dengan bos besarnya kali ini, meski Rendra sendiri belum paham betul tentang bos besarnya itu. Yang dia tahu dari desas-desus bos besar ini seorang yang sangat alim dan baik hati. 

“Aduh, hati-hati dong kalau jalan.” Tiba-tiba Rendra tertabrak seseorang saat hendak melepas sepatunya. 

“Maaf, Pak. Maafkan saya. Selamat datang di Masjid, Pak. Boleh saya bantu tata sepatunya.” Dengan gerak gerik sopan lelaki itu menawarkan jasanya. 

“Oh, jadi kamu tukang penyusun sandal dan sepatu di sini? Nih, ambil sepatuku. Awas jangan sampai ada yang lecet. Itu sepatu mahal. Ini buat kamu,” ujar Rendra, lantas berlalu dengan langkah angkuhnya usai menghamburkan uang sepuluh ribuan lima lembar.

Dia pun berjalan mengarah ke toilet dan tempat wudu pria. Pandangannya mengedar ke seluruh sudut masjid. Sayang  sekali dia, tidak merasakan ada sosok bos besar di sana. 

“Mungkin, bos besar enggak salat di masjid ini, kali. Tahu gitu, aku tadi makan siang dulu,” keluh Rendra.

***

Rendra mengklakson mobil di depan rumah Amir, tetangganya. Dia pamer dan berniat membuat panas Amir. Lelaki jangkung itu balas dendam karena bulan kemarin mobil Amir baru. Menurutnya Amir pamer kepadanya. Maka dari itu, kini gilirannya yang unjuk gigi.

“Pak Amir. Assalamualaikum.” Rendra melambaikan tangan setelah memberhentikan mobilnya di depan rumah Pak Amir.

“Waalaikumussalam, Pak Rendra. Wah, alhamdulillah mobil baru, ya,” timpal Amir yang sedang menyiram tanaman di depan rumah. Senyumnya tulus dan mengembang, angin bahagia pun sampai kepadanya.

“Iya, dong. Emangnya Bapak saja yang bisa beli mobil baru. Ya, sudah saya pamit dulu, ya.” Tanpa menunggu balasan dari Amir, Rendra segera melajukan kembali mobilnya.

Amir hanya menggeleng dan mengelus dadanya, menyaksikan tingkah Rendra. Sebenarnya para tetangga sudah paham sifat Rendra yang sering iri dan sombong. Buktinya, setiap ada tetangga yang beli sesuatu, kemudian hari dia pun beli seperti tetangganya. Bahkan, lebih. 

Kali ini Rendra sedang beruntung karena bulan kemarin dia naik jabatan menjadi manajer di kantornya. Maka dari itu, dia bisa beli mobil baru meski masih dengan kredit. Itu pun untuk menangkal pertanyaan-pertanyaan konyol yang bermunculan di kepalanya. Seperti, masak manajer pakai motor, sih? Itu yang ada di otaknya. 

Mobil baru Rendra telah terparkir di depan rumahnya. Dia pun bergegas masuk, lalu membersihkan diri karena waktu sudah sore. Lelaki berkumis tipis itu lantas ke musala untuk melaksanakan salat berjemaah. Ada aksi lagi yang ingin dilakukan di sana. 

Selepas salat berjemaah salat Magrib di musala terdekat rumahnya, Rendra mengumumkan sesuatu kepada anak-anak yang biasa belajar mengaji di sana.

“Tes, tes. Anak-anak. Saya mau mengumumkan bahwa saya akan memberi kalian uang, maka dari itu kalian semua diharap berbaris untuk menerima uang dari saya. Jangan lupa nanti di rumah kasih tahu orang tuanya, ya. Kalau Pak Rendra bagi-bagi uang kepada kalian. Oke, langsung saja cepat sini.”

Amir sebagai guru mengaji anak-anak itu kembali mengelus dada dan menggeleng pelan. Dia hanya berdoa supaya Rendra diberi petunjuk oleh Allah. Sebab, sudah pernah dia menasihati, justru berujung kemarahan Rendra yang tak terkendali. 

Tawa tulus dari anak-anak itu menyentuh hati. Meskipun uang yang mereka peroleh hanya sepuluh ribu satu lembar, tetap saja kebahagiaan akan mudah masuk ke hati jernih mereka. MasyaAllah.

***

“Rendra, nanti tolong minta tanda tangan bos besar, ya. Setelah zuhur. Bos biasanya salat jemaah di Masjid An-Nur. Bawa aja dokumennya ke sana dan tanya nama bos kepada penjaganya.” Seorang atasan Rendra memberi tugas, lalu kembali ke ruangannya lagi setelah meletakkan dokumen yang dimaksud di meja Rendra.

“Baik, Pak. Ini sudah hampir Zuhur, saya segera ke sana.” 

Rendra pun lekas bersiap untuk keluar. Dia sangat senang, kali ini dapat kesempatan untuk cari perhatian kepada bos besar. Hanya beberapa menit lelaki itu telah sampai di Masjid An-Nur. Masjid terdekat dari kantor. 

“Pak, permisi numpang tanya. Apakah di sini ada yang namanya Bos Sahid?” tanya Rendra.

“Oh, Bos Sahid. Biasanya beliau di sana. Tapi ... oh itu beliau baru muncul.” Telunjuk penjaga itu menuju kepada lelaki yang baru saja keluar dari toilet pria masjid.

“Terima kasih, Pak.”

Rendra segera menuju orang itu. Namun, saat tinggal beberapa langkah lagi, kaki Rendra berhenti. 

“Bos Sahid?” lirihnya.

“Iya, saya.” 

Baca juga: Cerita Horor Singkat Menyeramkan yang Berjudul Sosok Tinggi Hitam

Rendra berharap lelaki itu tak mendengarnya, tetapi harapannya pupus saat orang itu membalas dan menolehnya.

“Anda bukannya lelaki yang waktu itu, ya?” Bos Sahid balik bertanya.

Seketika dengkul Rendra lemas, kemudian lelaki tinggi itu bersimpuh dan mencium tangan Bos Sahid.

“Maafkan saya, Bos. Saya tidak bermaksud menghina Bos waktu itu. Tolong ampuni saya,” pinta Rendra memelas.

“Baiklah, saya maafkan. Dengar-dengar jabatanmu manajer, ya. Kalau begitu mulai hari ini kami tak menerima manajer seperti Anda. Anda kembali menjadi karyawan biasa saja mulai sekarang. Terima kasih untuk kerja kerasnya selama ini.” 

“Bos, tolong saya. Jangan jadikan saya karyawan biasa lagi, Bos. Cicilan mobil saya besar perbulannya, Bos,” rengek Rendra.

“Saya masih izinkan Anda kerja di kantor itu bagi saya sudah cukup dengan attitude yang Anda punya sekarang. Saya akan memantau kembali, jika Anda belum berubah. Terpaksa akan saya bebas tugaskan Anda.” Suara Bos Sahid begitu tegas dan berwibawa. Kemudian, Bos Sahid berlalu dengan membawa berkas yang tadi dibawa Rendra. Sementara itu, Rendra lemas dan terduduk di posisi semula.

Belakangan Rendra baru tahu kalau Masjid An-Nur itu masjid wakaf Bos Sahid. Setiap Bos Sahid datang ke sana, pasti dia selalu menyapa para jemaah dan menyusun sandal dan sepatu mereka supaya rapi, hingga enak dipandang mata.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com