Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Pemutus Persaudaraan

cerpen singkat tentang kehidupan yang berjudul Pemutus Persaudaraan


Assalamualaikum. Salam sejahtera semuanya. Selamat datang kembali di Coretan Karya oleh Zahra Wardah. Kali ini kami mempersembahkan cerpen singkat tentang kehidupan yang berjudul Pemutus Persaudaraan. Jangan lupa share, ya. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan aamiin.

****


“Keluar kamu dari sini! Berulang kali aku bilang belum punya uang! Dasar perawan tua.” Naima mengusir Nisa, kakak kandungnya dengan nada yang tinggi.

“Tapi, Ibu sangat butuh uang itu untuk berobat, Naima.” Nisa sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menagih utang Naima. 

Persis seperti yang sering Nisa dengar dari orang-orang bahwa peminjam akan lebih galak saat ditagih hutangnya. Meski itu saudara kandung sendiri dan untuk orang tuanya. 

Nisa terpaksa harus berkunjung ke rumah Naima karena tak tega dengan ibunya yang sedang berbaring di rumah sakit. Sedangkan, tabungan Nisa sudah habis untuk pengobatan dan cuci darah ibunya. Hanya Naima saudara yang bisa dimintai tolong. Namun, nihil. Utang yang sudah tiga tahun lamanya tak kunjung dibayar oleh Naima. Meski suaminya kini sudah berkecukupan, tetap saja Naima enggan menunaikan kewajibannya itu. Terlalu. Padahal uang itu hendak digunakan untuk pengobatan Bu Lisa, Ibu mereka berdua.

“Kamu kejam, Naima. Padahal uang itu untuk Ibu.” Butiran bening yang ditahannya jebol. Pipi tembamnya basah oleh jejak kesedihan. Dia tak habis pikir dengan adiknya itu. Dengan sempoyongan, Nisa kembali ke rumah sakit dengan tangan kosong. 

Dulu sebelum suami Naima mendapat pekerjaan, dia menangis-nangis, menyembah kepada kakaknya berniat meminjam uang untuk kebutuhan sehari-harinya. Sebenarnya baru kali ini Nisa terpaksa harus memohon bantuan Naima dengan membayar utang demi ibunya. Hasil tak sesuai dengan ekspektasi. Kini Naima makin sombong dan angkuh karena suaminya sudah berkecukupan. Bahkan, dengan keluarga sendiri sudah hilang rasa empati.

Nisa bertolak ke toko emas. Gelang emas satu-satunya hendak dijual. Langkahnya sedikit ragu, tetapi demi ibunya Nisa rela melepaskan perhiasan satu-satunya. Sejak tahu kalau Bu Lisa sakit, Nisa tak bisa lagi bekerja segiat dulu lagi. Waktunya sebagian besar dipersembahkan untuk ibunya. Masih beruntung ada yang mau menerima dia, meski kadang masuk bekerja kadang tidak. Gaji yang didapat pun tak seberapa.

***

“Bagaimana kondisi ibu saya, Dokter?” 

Nisa lari menghampiri dokter usai memeriksa Bu Lisa. Napasnya masih tak beraturan. Mimik wajahnya khawatir, melihat ekspresi dokter.

“Maaf, Mbak tadi dari mana? Ibu Mbak Nisa belum bisa kami selamatkan. Sekali lagi kami minta maaf, Mbak.” Lelaki berjubah putih itu meninggalkan Nisa yang berpandangan kosong. 

“Saya dari rumah adek saya, Dok.” Suara Nisa nyaris tak terdengar. Sangat pelan.

Nisa tak percaya. Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, Nisa lari menemui Bu Lisa. Dari pintu masuk ruang itu, sekujur tubuh Bu Lisa sudah tertutup oleh kain putih. Tumitnya terasa tak bertulang. Lemas. Derap langkahnya sampai tak terdengar mendekati jenazah Bu Lisa. Lamban. Air matanya pun sudah menganak sungai.

“Ibu, maafkan aku. Sampai sekarang aku belum bisa membahagiakan Ibu. Maafkan aku enggak bisa bawa Naima ke sini juga.” Gadis yang sudah berumur tiga puluhan tahun itu bersimpuh di depan jenazah Bu Lisa.  

Dengan segenap energi yang masih tersisa, Nisa melakukan fardu kifayah untuk ibunya. Adik satu-satunya tak ada datang, hingga pemakaman Bu Lisa usai. Padahal, Nisa sudah menelepon Naima mengabarkan ketiadaan ibunya. 

***

“Dek, apa kita tidak sebaiknya berkunjung ke rumah Naima?” tanya Malik, bos sekaligus lelaki yang baru satu bulan menjadi suami Nisa. Sebenarnya Malik sudah lama memendam rasa kepada Nisa saat Nisa bekerja dengannya. Namun, dia baru berani menyatakan dan menikahi Nisa setelah kepergian Bu Lisa. 

“Biar saja, Mas. Di pemakaman Ibu saja dia tak datang. Kebangetan memang, tuh, anak.” Darah Nisa memanas saat nama adiknya disebut sembari memberikan segelas kopi hitam untuk Malik.

“Meski begitu, kita tak boleh memutus silaturahmi dengan adik sendiri.” Dengan nada rendah dan hati-hati Malik mencoba menasihati istrinya itu.

Nisa tak membalas. Dia menghela napas kasar. Pandangannya mengawang ke atas seakan memikirkan sesuatu yang rumit sekali.

“Iya, Mas. Tapi ... sudahlah. Aku sudah ngantuk. Mau ke kamar dulu.” Nisa meninggalkan Malik duduk sendiri di teras rumah, menikmati indahnya bulan purnama. 

Langkah Nisa sengaja dientak-entakkan, berniat supaya suaminya memahami isi hatinya saat itu. Benar. Setelah Nisa berada di kamar beberapa detik, Malik pun masuk. 

“Mas, enggak bermaksud membuatmu marah, Dek. Coba pikirkan lagi. Allah akan sangat murka, loh kepada orang yang memutus silaturahmi.”

“Tapi ... ya sudah besok kita ke rumahnya. Semoga saja dia sudah berubah.” Nisa sewot, lalu tidur dengan memunggungi suaminya.

***

“Ayok, Dek cepat,” titah Malik.

“Iya! Sebentar!” 

Meski keluar dengan wajah manyun beberapa senti, Nisa tergopoh-gopoh menuju mobil hitam suaminya. Dia membawa buah tangan sesuai perintah Malik. Buah mangga dan jeruk kesukaan Naima. Mobil melaju dengan pelan dikendarai Malik sendiri. Nisa hanya terdiam di samping Malik.

“Sudah jangan cemberut begitu. Nanti hilang cantiknya,” goda Malik disertai senyuman manis.

“Hemmm ... Mas ini. Tapi, nanti jangan menyesal, ya, kalau sudah di sana.”

Malik hanya mengangguk pelan sembari fokus dengan kemudinya. Dia paham, jika dia balas pernyataan istrinya itu akan memperpanjang masalah. Lebih baik diam.

Dua puluh menit terlewati. Pintu pagar besi berwarna cokelat sudah di hadapan suami-istri itu. Dari dalam seorang satpam membukakan untuk mereka, setelah Malik memberitahu kalau mereka adalah saudara Naima. Sayangnya, baru saja Nisa turun Naima sudah di teras rumah dengan wajah bersungut-sungut.

“Mau apalagi ke sini? Pamer punya suami kaya?”

Baca juga: Cerita Horor Seram yang Berjudul Hantu Pohon Randu

“Kan, sudah kubilang kalau aku sudah ada uang akan kulunasi utangku. Lagian uang lima ratus ribu saja ditagih bolak-balik,” sambung Naima. 

“Astaghfirullah. Jangan buruk sangka dulu Naima. Kami ke sini mau menyambung silaturahmi,” sahut Malik dari belakang Nisa.

“Halah. Alasan. Aku tidak menerima tamu seperti kalian. Asal kamu ingat, ya, Mbak Nisa dulu itu hampir saja mati kalau bukan aku yang menolong. Nyawa itu lebih mahal, loh harganya. Seharusnya aku yang menagih hutang itu bukan Mbak Nisa.” Nada Naima meninggi.

Suasana hening. Tak ada lagi suara usai panjang lebar perkataan Naima. Malik mengelus dada, lantas membawa istrinya pulang kembali.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com