Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Bersambung Mas Duda Mendua (Bab 7)

Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Simpananku


Assalamualaikum, Teman-Teman. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kali ini kami mempersembangkan kembali kisah Mas Duda keren. Kalian masih ingat, kan? hehehe. Jangan lupa share dan komen, ya. Terima kasih banyak. 

Oh, ya, bagi Teman-Teman penulis jika berkenan karyanya direview dan masuk di blog ini, bisa langsung hubungi Zahra Wardah, ya. Salam sukses dan bahagia selalu.

****

Bab 7: Salah Sangka

Kakiku hanya terus melangkah, melangkah, dan melangkah tanpa arah. Hal ini meruntuhkan perkataan setiap orang yang mengenalku. Kamu itu anak kuat dan tomboi. Begitulah yang kudengar dari mulut mereka. Kini sisi perempuanku mencuat dengan maksimal. Rapuh, cengeng, lemah hanya karena cemburu dengan lelaki yang tak kuketahui isi hatinya.

“Mila!” 

Ibu menyambar lenganku. Seketika aku menghempaskan tangannya seraya air mata terus mengucur. 

“Ibu kenapa tega dengan anak Ibu sendiri? Ibu kenapa enggak mau mengalah?” Tangisku makin pecah. Bahuku naik turun. Tulang-tulang terasa lemas, hingga posisiku berubah jongkok. 

“Ibu tidak bermaksud menyakiti hatimu, Sayang. Hal itu Ibu lakukan demi kebaikanmu.” Ibu menepuk-nepuk pelan punggungku, lalu memegang tubuhku supaya kembali berdiri lagi.

“Kalau demi kebaikanku, lantas kenapa Ibu yang berhubungan dengan Mas Juki?”

Ibu memelukku erat. Kehangatannya bisa kurasakan. Aku luluh olehnya. Hati yang berbalut cemburu kian rontok.

“Kamu salah paham, Sayang. Ibu hanya bekerja sama dengannya. Tidak lebih. Dia itu menanam saham di usaha laundry Ibu. Makanya akhir-akhir ini Ibu sering berjumpa dengannya. Itu saja. Enggak lebih,” jelas Ibu seraya mengurai pelukannya. Ternyata Ibu tak kalah deras air matanya dibanding aku. Hatiku meleleh. 

Tanganku meraih badan Ibu, lalu mendekap tubuh ringkih itu. Rasa bersalah menyusup ke sudut hatiku. “Benar yang Ibu katakan itu?” tanyaku untuk meyakinkan pernyataan Ibu tadi. Ibu mengangguk pelan setelah aku melepaskan pelukan. Kami pun berakhir dengan pulang saling bergandengan dan menyuguhkan senyuman termanis.

***

“Haduh. Acara spesial kita kenapa kamu telat juga, Mil? Sini duduk. Hampir dimulai, tuh. Makanya kalau ada acara di sekolah, malamnya jangan begadang. Kamu pasti begadang, kan?” 

Seperti biasa si Indah yang cerewet ini menyapaku dengan petuahnya. Tanpa babibu, aku segera duduk di kursi yang sudah tertera namaku. Tepat di sebelah Indah. Beberapa jenak kemudian, acara pelepasan siswa-siswi kelas dua belas pun dimulai. Kami sebagai siswa yang akan dilepas hanya menyaksikan penampilan adik kelas kecuali sang juara umum. Dia tampil sebagai pemberi sambutan perwakilan dari kami kelas dua belas. 

“Mil, coba lihat itu. Ibumu.” Indah mencolek lenganku. Sadar bahwa aku tak meresponnya, Indah menggapit wajahku dengan kedua tangannya, mengarahkan ke gerbang sekolah.

Terpaksa pandanganku menangkap sosok Ibu bersama dengan anak kecil. Anak Mas duda. Kenapa Ibu bersama Anin? Baru saja tadi malam Ibu mengaku tak ada hubungan dengan Mas duda. Kenapa sekarang dia muncul dengan Anin? Hatiku kembali mendidih. Gigi gemertak dan kedua tanganku menggenggam erat.

“Sudah, sudah, Mil. Jangan panas dulu. Positif thingking saja dulu,” ucap Indah seraya menepuk-nepuk pelan bak ibu yang sedang menenangkan anaknya.

Entah nasihat apalagi yang keluar dari mulut Indah. Aku tak menghiraukannya. Kakiku gatal, lalu ingin segera menghampiri Ibu. Sayangnya, aku justru menjadi pusat perhatian saat itu. Tak sengaja kakiku tersandung oleh kaki Indah. Dalam hati nama Indah kugaungkan. Hampir saja keluar dari mulut, tetapi aku menahannya. Malu.

“Ya ampun, Mila. Mau ke mana, sih. Tuh, acara mau dimulai. Biarin saja dulu ibumu,” bisik Indah di dekat telinga saat membantuku bangun dan tersenyum terpaksa kepada para hadirin. Mungkin, dia juga malu atas ulahku barusan.

Aku dan Indah pun menduduki kursi kami kembali. Tiba-tiba Anin menghampiriku.

“Kak Mila, enggak pa-pa? Aku tadi maksa ikut Bu Nisa. Aku mau lihat Kak Mila.” 

Senyum yang terpasang di bibir Anin itu lebih ke antusias bukan karena simpati. Pertanyaannya jelas hanya basa basi semata. Kecil-kecil menyebalkan bukan. Untung saja sayang sama bapaknya. Kalau tidak sudah aku maki, nih, anak. 

“Iya, Kakak enggak pa-pa, kok. Ya, sudah sana Anin duduk di sebelah Bu Nisa.” Tanganku memberi syarat supaya Anin kembali ke tempat duduknya. Aku mengeluarkan napas panjang. Sedikit lega atas pernyataan Anin tadi. Saat pandanganku mengantar Anin ke tempatnya, senyum Ibu tampak mengembang kepadaku. Aku pun membalasnya dengan senyum sedikit. Aku masih terlalu malu karena prasangkaku tadi. Ibu maafkan anakmu ini.

***

“Waktunya foto-foto dengan wali kelasnya masing-masing untuk kelas dua belas.” Itu yang aku dengar baru saja dari pemandu acara pelepasan kami. 

Mulai dari kelas dua belas A maju terlebih dahulu. Kami mendapat giliran terakhir, kelas dua belas D. Memang murid selengekan sepertiku ini dikumpul jadi satu dalam kelas D. Sudah kelas terakhir, enggak ada yang benar lagi muridnya. Di sana hanya Indah satu-satunya murid teladan. Entah bagaimana guru bisa menempatkannya di kelas D? Padahal dia termasuk siswa yang rajin dan pintar. Mungkin, guru mengira aku tak bisa pisah dengan Indah, kemudian Indah dikorbankan masuk ke kelas D. Ah, bodoh amat lah. Bukan urusanku juga.

“Terakhir untuk kelas dua belas D! Silakan maju semua siswa kelas dua belas D bersama wali kelasnya.” Suara cempreng dari pemandu acara setengah berteriak. Apaan, sih, tuh orang kami yang mau berfoto dia yang tampak kegirangan gitu. 

Satu per satu kami naik ke panggung. Tiba giliranku, pemandangan menyejukkan mata membuatku tak fokus. Mas Duda datang. Kakiku terperosok. Tubuhku tak mampu menahan, hingga jatuh dan beberapa bunga buatan untuk dekorasi panggung berantakan. Kali ini malu setengah mati. 

“Ya, ampun. Ada apa dengan hari ini?” bisikku sendiri sembari meringis kesakitan.

Beberapa panitia menolongku. Aku pun dipapah pelan ke atas panggung untuk foto bersama sambil menahan kesakitan. Dengan sekejap acara pun dilanjutkan kembali. Satu kelas kami 25 siswa. 10 siswa berada di depan dengan duduk di kursi dan aku salah satu dari mereka. Sisanya di belakang kami, berdiri. Sedangkan wali kelas kami berada di tengah-tengah kami. 

Setelah jepretan terakhir, kami pun turun. Meski kaki masih terasa sakit, tetap saja aku harus turun dengan hati-hati. Aku pun jalan dengan sedikit menyeret kaki kiri. Belum sampai di kursi, Mas Duda tampan menghadangku. Mataku memelotot tak percaya. Seketika jantungku terpompa keras dan tak beraturan. Wajahnya jelas sekali. Iya, jelas tampannya. Hidung mancungnya mendominasi pikiranku. 

“Ada apa, Mas?” tanyaku pelan.

Baca juga: Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Simpananku

“Kamu baik saja? Ayok.” 

Aku manggut pelan. Tanpa ada aba-aba, dia segera menggandeng tanganku, hingga semua hadirin tepuk tangan bahagia semua. Sementara aku, hanya mengikutinya dan tak sanggup berkata lagi. 

Kenapa semua orang jadi begini? Aku malu plus senang sekali. Ternyata cintaku berbalas. Atau aku yang terlalu percaya diri, ya? Mas Duda saja belum mengungkapkan isi hatinya. Terus kenapa semua orang seheboh ini? Oke. Jangan melambung dulu, Mila. Keep kalem di depan Mas Duda. 

Terasa ada yang menggoyang tubuhku. Suara Indah menguasai ruang dengarku. “Mil! Mila! Ayok, cepat.” 

***


BERSAMBUNG


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay dan pixelLab