Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Horor Singkat yang Berjudul Perayaan Membawa Petaka

Cerita Horor Singkat yang Berjudul Perayaan Membawa Petaka


Assalamualaikum, Teman-Teman. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kali ini kami mempersembahkan Cerita Horor Singkat yang Berjudul Perayaan Membawa Petaka. Jangan lupa share, ya. Kamu juga bisa mengunjungi youtube Cerita Keren untuk menikmati audio dari cerita-cerita di sini. Klik di sini. Jangan lupa tonton, like, share, comment, dan subscribe. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

Bagi teman-teman penulis, jika bukunya hendak direview dan masuk ke sini, silakan segera hubungi Zahra Wardah. Mana tahu rezeki teman-teman melalui tulisan ini. Selamat menikmati.

****

Azan magrib akan berkumandang lima menit lagi. Mbak Sisi, Wiwi, dan Tia masih berkejaran sembari tergelak-gelak di luar rumah. Tepatnya rumah yang kami sewa. Mereka merayakan ulang tahun Wiwi dengan cara saling melempar air comberan. Jadi, mau tak mau mereka yang hendak menjadi korban harus lari menghindar. Sementara aku sendiri baru selesai mandi dan bersiap untuk salat Magrib.

“Aaa!!!”

“Kenapa, Mbak?” Aku berlari menuju asal suara, masih dengan mengenakan mukena. Usai melaksanakan salat Magrib. 

Di pojok ruang tamu tampak Mbak Sisi yang meronta dengan suara yang aneh dalam posisi jongkok dan memeluk kedua kakinya. Dia menjerit kencang sekali. Tubuhnya menegang dan mengerang seperti ada sesuatu yang ditahan. Tanpa mengeluarkan suara aku bertanya kondisi Mbak Sisi kepada Wiwi dan Tia dengan isyarat mata. Mereka berdua pun membalas dengan menaik-turunkan pundak mereka secara bersamaan.

“Ayo, Mbak kita ke kamar saja,” usulku sembari hendak membantu Mbak Sisi bangkit. Akan tetapi, tak ada sedikit pun pergerakan Mbak Sisi. 

Wiwi dan Tia turut mencoba memindahkan Mbak Sisi. Aneh. Bagaimana tidak? Satu lawan tiga pun tak sanggup memindahkan tubuh Mbak Sisi ke kamar. Teriaknya makin menjadi, memenuhi rumah kontrakan kami. Tubuhnya makin lekat dengan lantai. Bagaimana ini? Lima belas menit berselang barulah kami bertiga berhasil membawa tubuh Mbak Sisi ke kamar, berbaring di kasurnya. 

Awalnya mulut Mbak Sisi meracau tak jelas. Namun, kelamaan aku mulai menangkap pembicaraannya setelah berganti posisi. Awalnya aku berada bagian bawah Mbak Sisi, kemudian beralih ke bagian atas, tepat di samping kepala Mbak Sisi. Ternyata dia berbahasa Jawa. Kebetulan aku orang Jawa. Akhirnya kami berkomunikasi. Suara Mbak Sisi berubah menjadi suara nenek-nenek tua. Pada posisi seperti inilah aku menyaksikan kengerian yang terjadi pada Mbak Sisi. Tubuhnya mengejang, matanya tertutup. Akan tetapi, sesekali matanya terbuka menakutkan. Semua matanya merah menyala. 

Jin yang merasuki Mbak Sisi enggak mau keluar. “Aku mau tinggal di tubuh anak ini. Anak ini udah sakit. Biar sekalian aku gerogoti tubuhnya.” Kurang lebih seperti itulah yang diucapkan jin yang memasuki Mbak Sisi beberapa kali.

Para tetangga pun mulai berdatangan ke kontrakan kami, menyaksikan Mbak Sisi yang masih kesurupan. Lama sekali Mbak Sisi meracau. Sekitar satu jam akhirnya Mbak Sisi sadar. Jin yang merasukinya berhasil dikeluarkan oleh Pak Ustaz yang baru hadir. Alhamdulillah. Akan tetapi, Wiwi, dan Tia masih merasa takut.

***

“Mbak kalau boleh tahu, apa yang Mbak rasain tadi saat kesurupan?” Aku bertanya pelan-pelan usai mengantar Mbak Sisi ke toilet. 

Wajah dan suara Mbak Sisi sudah kembali normal. Hanya saja masih sedikit tersisa guratan letih di  mukanya. Suasana rumah kontrakan kami sudah lengang sejak seperempat jam yang lalu. Jarum jam menuju angka sebelas malam.

“Aku tadi diajak nenek-nenek ke suatu tempat cantik sekali di depan kontrakan kita ini. Tapi, ada anak kecil yang bergelayutan di kakiku. Jadi, aku susah untuk jalan. Rasanya, tuh aku seperti ratu. Pakai pakaian putih cantik gitu, Dek.” 

Meski masih tampak tak berdaya, Mbak Sisi menjelaskan dengan sisa-sisa energinya. “Aku tadi diajak nenek-nenek pergi. Pakai baju putih cantik sekali. Kayak putri gitu, Dek. Tapi, Aku enggak bisa jalan karena digendoli oleh anak kecil gitu.”

“Aku merasa bersyukur sama anak itu, Dek. Mungkin kalau tidak aku sudah entah ke mana. Atau mungkin enggak bisa kembali lagi,” sambung Mbak Sisi dengan mata yang berkaca-kaca. Lantas wajahnya ditenggelamkan pada bantalnya. 

Malam ini aku tidur kamar depan dengan Mbak Sisi. Sebenarnya kamarku di bagian belakang dekat dapur dengan Tia. Khusus untuk malam ini kami berkumpul di kamar depan semua untuk jaga-jaga. Apalagi Wiwi yang satu kamar dengan Mbak Sisi masih waswas kalau Mbak Sisi kesurupan lagi.

Aku mendengarkan saksama cerita Mbak Sisi. Tak lama kemudian, tiba-tiba mati lampu. Spontan Wiwi yang di dekatku menjerit dan memelukku. Pun Tia. 

“Mbak, Mbak.” Lima detik dengan keadaan gelap, aku memanggil Mbak Sisi. Sebab hanya dia yang tak bersuara saat lampu tiba-tiba mati. Tanganku merunjang, mencari Mbak Siska.

“Sa, di mana Mbak Sisi?” Suara Wiwi dan Tia bergetar hampir bersamaan. 

“Enggak tahu,” balasku. 

Baca juga: Beberapa Contoh Teks Puisi tentang Kehidupan Sehari-hari

Wiwi makin mengeratkan cengkeramnya di lenganku setelah terdengar suara benda jatuh. 

“Apa itu, Sa?” Wiwi berbisik di telingaku. Kepalaku hanya menggeleng beberapa kali dengan pelan dengan isi otak yang penuh dengan pertanyaan. Ada apa lagi ini, ya, Allah? Rasa takut mulai merasuk lagi. 

“Ba!” Mbak Sisi mengagetkan kami bertiga. Wajahnya yang disenter dari bagian bawah menjadikannya seram. 

“Allahu akbar.” Aku, Wiwi, dan Tia sama-sama menyebut dan mengelus dada. 

Gelak tawa Mbak Sisi memenuhi kamar. Dia tampak puas sekali. Beruntungnya setelah itu lampu hidup kembali. 

“Mbak Sisi!” kami bertiga mengejar Mbak Sisi yang lari. Alhamdulillah, hingga kami semua lulus kuliah Mbak Sisi tak pernah lagi kerasukan.


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com