Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Singkat tentang kehidupan yang Berjudul Pengabdian

Cerpen Singkat tentang kehidupan yang Berjudul Pengabdian


Assalamu'alaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kali ini kami mempersemahkan Cerpen Singkat tentang kehidupan yang Berjudul Pengabdian. Jangan lupa pantengin terus. InsyaAllah setiap Sabtu akan hadir karya-karya lain. Semoga menginspirasi dan dapat diambil hikmahnya. Bagi yang bukunya hendak direview dan asuk ke blog ini, silakan langsung hubungi Zahra Wardah. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan. Aamiin

****

PENGABDIAN

“Sudah, Mas. Jangan nangis lagi.” Lala berusaha menenangkan Juki sembari mengelap jejak kesedihan di pipi suaminya itu kala namanya disebut sebagai kepala desa selanjutnya.

Sudah hampir satu tahun tubuh Juki lemas tak berdaya. Pabrik tempatnya bekerja sedang mengurangi karyawan besar-besaran. Juki termasuk salah satunya. Dari situlah kesehatan Juki mulai menurun dan berakhir lumpuh setengah badannya. Hanya air mata yang bisa mengalir dari kedua matanya. Tak ada yang bisa dilakukan saat istrinya menang dalam pemilihan kepala desa kecuali menangis di kursi rodanya.

Selain untuk mengamalkan sedikit ilmu tentang pemerintahan yang didapat Lala dari bangku kuliah, dia juga harus menanggung pengobatan dan kehidupan sehari-hari bersama suaminya. Sudah hampir sepuluh tahun Lala dan Juki berumah tangga, tetapi tanda-tanda kehidupan baru di perut Lala belum tampak. 

Sebelum Juki pengangguran, Lala tak diperkenankan untuk bekerja di luar. Lala hanya mengurus rumah dan suaminya. Baru kali ini perempuan beralis tebal itu mulai membuka diri dan bekerja demi dirinya sendiri dan keluarga.

Aura pesta kemenangan Lala masih berlangsung di kantor desa. Lala sebagai kandidat yang menang dipanggil ke panggung oleh pembawa acara untuk memberikan kata-kata sambutan.

“Alhamdulillah. Terima kasih kepada Allah, kepada suami saya, kepada semua warga yang sudah memilih saya untuk memimpin desa kita ini,” ucap Lala saat membuka pidatonya. 

Lala hanya memberikan sedikit kata syukur dan berterima kasih. Dia tak mau berlama-lama karena di bawah panggung sana ada sepasang mata yang tak henti-hentinya mengucurkan air mata. Iya, itu suaminya. Dengan setengah berlari Lala menuju Juki, lantas memeluknya. Suasana berubah menjadi haru biru. 

***

“Maaf, ya, Kak. Ini KTP Bapak sudah kedaluwarsa. Harus diperbarui dulu.” Suara lembut itu keluar dari mulut Bu Kades Majumundur, Lala. Sesekali senyumnya timbul. Manis sekali terutama di mata bapak-bapak desa Majumundur. 

“Begitu, ya. Pantas saja kemarin cucu pinjam. Tapi, dibalikkan kembali.”

“Emangnya untuk apa, Pak?” tanya Lala.

“Untuk pinjol katanya.” Seketika gelak tawa Pak Lucky menggema di seluruh ruang kantor desa. Sementara itu, karyawan di sana dan Lala hanya menggeleng penuh prihatin.

“Oh, iya. Terima kasih, Bu Kades cantik. Kalau begitu tolong uruskan KTP saya, ya, Bu,” sambung Pak Lucky ditambah dengan kerlingan mata genitnya. Langkahnya lamban sekali meninggalkan gedung bercat putih yang sudah kusam itu. 

Hal-hal semacam ini kerap sekali menimpa Lala yang baru tiga bulan dilantik. Namun, Lala tak pernah membalas semua ulah warga-warga genitnya. Dia justru menjadikan keadaan-keadaan seperti itu untuk sedikit meringankan kerjanya. Misal, saat vaksin serentak. Lala mampu dengan mudah mengatur warga untuk berbaris sesuai antrean. Padahal sebelum kedatangan Lala, warga berjubel, hingga tak menyisakan ruang untuk orang yang hendak lewat. 

Tak hanya bapak-bapak yang mata jelalatan yang girang dengan kepemimpinan Lala. Bahkan, para ibu-ibu pun demikian. Pasalnya setiap ada hajatan, Lala selalu hadir tidak hanya menyumbang melainkan juga rewang di sana sampai acara selesai. Tak ada yang memungkiri lagi kecerdasan dan kepiawaian Lala dalam memimpin desanya. 

Lala kembali ke mejanya. Baru saja kepalanya bersender di kursi, ponselnya berdering. Di sana tertulis nama “Mas Juki.” Tangannya bergetar. Keresahan tentang keadaan suaminya memenuhi pikirannya. 

“Ada apa, Wandi?” tanya Lala segera usai mengucap salam.

“Anu, Mbak. Mas Juki ping—san.” Adik ipar Lala dengan terbata-bata menjelaskan keadaan di rumah.

Benar dugaan Lala. Kondisi suaminya makin memburuk. Seketika Lala menyambar tasnya, lalu menggas motornya setelah izin ke pengurus kantor desa lainnya. Hatinya tak karuan. Motornya melaju kencang. Beruntungnya jarak antara rumah dan kantor desa tak terlalu jauh. Dia pun sampai dengan cepat.

“Ayok, kita bawa ke rumah sakit, Wan. Kamu siapkan mobil,” titah Lala panik.

Tanpa menyahut, Wandi langsung meluncur ke garasi mengeluarkan mobil hitam. Mobil hasil menabung Juki ketika masih bekerja. Tak sampai lima menit, mobil siap. Sebelum berangkat, Wandi mencari pertolongan kepada tetangga sebelah untuk mengangkat Juki ke mobil.

“Siap, Mbak?” tanya Wandi sebelum menstater mobil.

“Oke, ayo berangkat.” 

Sepanjang jalan, Lala berusaha membendung air matanya. Akan tetapi, ternyata tak semudah menjadi kepala desa dalam menahan air mata itu. Kelemahan Lala adalah suaminya. Dia tak akan setangguh ini kalau bukan demi Juki.

“Mas, tolong sadar. Mas, jangan tinggalin aku.” 

Sekitar setengah perjalanan lagi mobil sampai rumah sakit. Air mata Lala makin lebat. Tangannya mencari nadi Juki. Tak ketemu. Jantung Lala makin tertompa tak beraturan.

“Bagaimana ini, Wan?”

“Kenapa, Mbak?” Wajah Wanda tak kalah cemas. Dia menoleh sekilas ke belakang, lalu kembali pandangan ke depan. 

“Kok, nadinya tak ada.” Nada Lala melemah.

“Yang benar, Mbak?”

“Iya.”

Baca juga: Cerpen Terbaru tentang Kehidupan yang Berjudul Sebuah Nama

Wanda menambah kecepatan mobil menjadi maksimal. Kecemasan dan kesedihan memenuhi mobil itu. Sesampai di ruang ICU, Juki diperiksa segera diperiksa. Tak sampai lima menit dokter memeriksa. Ternyata nyawa Juki tak bisa diselamatkan. 

Tubuh Lala lemah seperti tanpa tulang. Tubuhnya tersungkur ke lantai. Pandangannya kosong. Separuh hidupnya pergi. Wanda menggoyang-goyangkan tubuh Lala.

“Wan, abangmu masih hidup, kan?” tanyanya lemah.

“Istigfar, Mbak. Mas Juki sudah tak ada. Aku yakin Mbak Lala kuat.”

Bukannya makin tegar, Lala justru mengeluarkan air matanya. Bahkan, makin keras. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com