Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Terbaru tentang Kehidupan yang Berjudul Sebuah Nama

Cerpen Terbaru tentang Kehidupan yang Berjudul Sebuah Nama


Assalamualaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kai ini kamimempersembahkan Cerpen Terbaru tentang Kehidupan yang Berjudul Sebuah Nama. Selamat menikmati. Minta bantuan share-nya, ya. Terimakasih. 

Semoga harimu menyennagkan. Aamiin.

****

SEBUAH NAMA


 “Aku enggak setuju kalau nama Jojo diganti, Mas!” 

Tiba-tiba gelas melayang. Suara pecahannya sampai ke ruang tengah. Disengaja oleh Nani. Tempat Martono duduk santai setelah seharian bekerja di sawah. Martono menghela napas panjang, lalu mengeluarkan pelan-pelan.

“Apa, sih, Dek? Mbok, ya, kalau marah jangan banting-banting barang. Habis nanti barang-barangku.” Lelaki jangkung itu menghela napas kasar. 

“Mas enggak dengar kemarin Mbah Gugu nyuruh ganti nama anak kita?” Nani mendekati suaminya masih dengan sapu di tangan kanannya. Dia agak merengek supaya keinginannya diwujudkan oleh Martono. 

“Kamu percaya sama Mbah Gugu? Biar saja, lah. Lagian itu nama sudah dari bayi. Ngapain, sih, diganti-ganti.” Martono masih berpegang teguh dengan pendapatnya.

“Tapi, Mas. Kasian Jojo. Hidupnya sial terus,” keluh Nani. Kali ini dengan nada memelan. Sapu yang ditangannya sudah bersender di sebelah kursi burik itu. 

Hampir saja sapu itu melayang saat Martono tak lagi menimpalinya. Martono berlalu begitu saja meninggalkan istri dan kedongkolan wanita itu. Untung saja kali ini kesabaran Nina sedang dalam kondisi bagus. Kalau tidak, bisa-bisa kepala Martono bocor.

Masih dengan rasa benci yang tersisa, Nina melanjutkan aktivitasnya. Selang beberapa menit, suara anak menangis dari luar rumah masuk ke pendengaran Nina. Wanita gempal itu paham tangisan itu. Seketika dia lari menuju asal suara.

“Ada apa, Jo?” Mimik Nani tampak cemas. Dia melihat kaki Jojo sudah berdarah mengucur. Lantas, Nina membantu Jojo jalan.

“Aku jatuh di pertigaan tadi, Mak.” Jojo menangis terisak-isak. Jalannya sedikit timpang.  

***

Nina mencoba merayu suaminya lagi untuk mengganti nama Jojo. Mereka berdua sedang di ruang makan. Seperti biasa, Martono masih pada pendiriannya semula. Di meja makan mereka kali ini ada satu orang lagi selain Jojo, yaitu Ahmad. Sepupu Martono yang baru saja selesai kuliah di Mesir. 

“Emangnya kenapa, Mbak kayaknya pengin banget ganti nama Jojo?” tanya lelaki berpeci putih itu. Aura ustaznya jelas sekali terlihat pada Ahmad.

“Nama Jojo terlalu panjang, Mad. Lagian dia kerap sekali mendapat kesialan. Dan Mbah Gugu pun menyarankan untuk ganti nama,” adu Nina, berharap mendapat simpati dan dukungan dari sepupunya itu.

“Emangnya apa, sih nama panjangnya Jojo? Aku lupa, Mbak.”

“Joko Moro Marang Omah Mong Lue.” Jelas padat, Nina menjawab pertanyaan Ahmad secara impulsif.

“Ya, udah, Mas. Ganti aja namanya Jojo. Ganti yang simpel dengan arti yang bagus,” saran Ahmad. 

Martono menghela napas berat. Kalau biasanya hanya lawan istrinya, sekarang tambah satu lagi. Mendadak penglihatannya sedikit kabur. Kepalanya pusing. Dia tak menanggapi lagi percakapan di meja makan itu. Martono tak menghabiskan makanannya. Dia hendak meninggalkan ruangan itu. Namun, baru beberapa langkah tubuhnya sempoyongan. Jatuh. Sekonyong-konyong dunia serasa berputar hebat.

“Mas!” jerit Nina seraya setengah berlari menuju suaminya.

Ahmad pun seketika menolong sepupunya itu. Ahmad dan Nina berusaha memapah Martono menuju kamar. 

“Mas kenapa?” Nina mengelap keringat dingin Martono di dahinya.

“Enggak tahu. Mungkin fertigoku kambuh. Sudah lama sekali enggak kambuh ini kambuh lagi.” Mata Martono masih terpejam. Saat matanya terbuka, dunia terasa berbega-bega. 

Tak lama berselang, Ahmad membawakan air hangat dari dapur. Martono meminumnya dibantu Nina, lantas istirahat. Tidur. Sebelum itu Martono menyatakan persetujuan atas penggantian nama Jojo. 

“Ya, sudah kalau gitu kita ganti dengan Muhammad Syukri.” Ahmad menyumbang calon nama baru untuk Jojo yang seketika Nina dan Martono setuju. 

Senyum Nina pun langsung tampak jelas. Bahagia. Perempuan itu pun segera ke dapur, membuat bubur merah putih sebagai rasa syukur atas nama baru Jojo yang lebih bagus.

***

Baca juga: Cerpen Singkat yang Berjudul Kebaikan Menjadi Kewajiban

“Tolong! Tolong! Anak dan istriku di dalam sana.” Martono meraung-raung tak karuan. Warga yang menyaksikan itu pun iba. 

Beberapa menit lalu terjadi gempa dahsyat. Beberapa rumah runtuh termasuk rumah Martono. Saat kejadian bencana itu Martono sedang berada di sawah. Sementara Nina dan anak satu-satunya di rumah. 

Nina dan Syukri salah satu korban bencana gempa. Para warga dan tim penyelamat telah berusaha menyelamatkan. Akan tetapi, takdir tak sesuai dengan ekspektasi Martono. Mereka berdua tak bisa diselamatkan. 

Martono makin menjadi. Dia tak terima dengan kepergian anak dan istrinya. Sampai beberapa kali pingsan. Saat tersadar terakhir Martono berbicara tak jelas. Panjang sekali. Hingga anak dan istrinya dimakamkan, Martono tak ada ekspresi sedih lagi. Justru, tawa gelak yang menggelegar. 

“Sudah aku bilang, kan. Nama itu enggak usah diganti-ganti.” Kata-kata ini terus yang dikatakan Martono sepanjang dia jalan. Tak jelas mau ke mana. 

“Mas! Mas! Kamu tinggal di rumahku saja, yok.” Ahmad mengejar Martono. Dia tak tega melihat sepupunya terlihat mengenaskan. Sampai-sampai otaknya terganggu begitu.

Bukannya menjawab, Martono yang terlihat kusut dan lemah malah meremas kedua pipi Ahmad dengan kedua tangannya. 

“Bayiku.” Martono tertawa lepas. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com