Cerpen Singkat yang Berjudul Kebaikan Menjadi Kewajiban
Tampak jelas mimik Sukma tak senang. Mulutnya cemberut, lalu membonceng di belakangku dengan kasar. Kami sudah lama berteman baik. Berangkat dan pulang sekolah selalu bersama. Bahkan, dia sudah kuanggap menjadi sahabat terbaikku. Baru kali ini aku menyaksikan kemarahan Sukma.
Setelah Sukma duduk dengan benar, aku segera melajukan kembali motor tanpa sempat menjawabnya. Sekilas aku melirik jam di tangan. Waktu kami tinggal sepuluh menit sebelum bel tanda masuk. Laju kendaraan kunaikkan dengan kecepatan maksimal. Hampir saja aku menabrak ayam yang menyeberang jalan. Samar-samar suara Sukma di belakang mengoceh. Aku tak menanggapinya. Dalam otakku hanya mengendarai motor dengan cepat supaya tak terlambat.
“Untung saja belum bel.” Aku menghela napas lega setelah membuka helm. Senyumku pun terbit. Namun, tak berlangsung lama saat melihat kerut kecut Sukma.
“Iya kita enggak telat. Tapi jantungku hampir copot.” Sukma berlalu begitu saja menuju kelas.
Aku hanya terdiam, lalu mengekor Sukma. Kebetulan kami juga satu kelas. Bisa dibilang semua orang sudah tahu bahwa Sukma dan aku adalah sahabat tak terpisahkan. Berbeda dengan hari ini. Selang beberapa detik bel masuk berbunyi. Tepat sekali setelah aku duduk di kursi. Di samping Sukma.
“Kamu masih marah?” tanyaku saat menyadari pemandangan wajah Sukma masih kecut. Rasanya beda sekali. Kikuk. Aku jadi enggak enak hati. Beberapa jenak Sukma tak merespons pertanyaanku.
“Kamu pikir aja sendiri. Aku, kan, paling enggak suka telat.”
Pelajaran pun dimulai sesaat setelah guru masuk kelas. Sepanjang pelajaran pikiranku terbang-terbang. Tak fokus. Hingga istirahat datang. Sukma tak mengajakku ke kantin seperti biasa. Dia pergi sendiri. Sementara aku, masih bertanya-tanya apakah aku tak pantas lagi berteman dengan Sukma gara-gara telat menjemput?
***
“Sukma! Sukma!” Kali ini aku sengaja berangkat lebih awal dari biasanya dengan harapan Sukma kembali menampilkan senyumnya padaku.
“Loh, Sukmanya baru saja berangkat.” Ibu Sukma keluar dengan tergesa.
“Sama siapa, Tante?”
“Dengan Cici.”
“Oh, iya. Saya langsung berangkat saja. Terima kasih, Tante.”
Segera aku memutar balik motor menuju sekolah. Aku merasa sudah tergeser oleh Cici. Sedih. Aku merasa jadi sahabat yang gagal. Punya satu sahabat saja bisa-bisanya sampai menyakiti hatinya. Manusia apa aku ini? Sesampai di sekolah pemandangan tak enak tepat di depan mataku.
“Sukma!” pekikku.
Sukma menoleh sekilas. Setelah itu pergi bersama Cici meninggalkanku di tempat parkir. Kenapa Sukma sekejam ini? Meski bukan ditinggal kekasih, tetap saja ditinggal sahabat rasanya lebih menusuk. Dengan sekuat tenaga aku mengekor Sukma setelah memarkir motor dengan benar. Aku tak melihat tas Sukma berada di meja. Ternyata Sukma pindah. Dia memilih duduk dengan Cici di belakang.
Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Tubuh terasa lemas. Aku terduduk di bangkuku. Tak terasa pipi mengalir hangat. Apakah benar aku sejahat itu? Sebagai anak yang tak banyak teman, hal ini sungguh membuatku tak berdaya. Rasanya aku ingin meminta maaf langsung kepada Sukma supaya kami bisa berteman seperti semula kembali. Akan tetapi, jam masuk kelas sudah berbunyi dan guru sudah masuk.
***
Sudah seminggu hubunganku dengan Sukma tak baik-baik. Setiap aku mendekat sekedar menanyakan kabar atau memberinya bonceng tiap berangkat dan pulang sekolah, dia selalu menolak. Aku harus bagaimana coba? Sejak awal sekolah di sini aku selalu memberinya tumpangan motor. Bukannya kedua orang tuanya tak mau memberikannya motor. Namun, katanya dia trauma. Dulu pernah belajar motor dan lubang got menjadikannya kapok. Lututnya sobek parah saat itu.
Dari cerita Sukma itu, setiap berangkat dan pulang sekolah aku selalu memberinya boncengan hingga kita hampir lulus SMA.
“Sukma. Maafkan aku!” Aku memberanikan diri untuk meminta maaf saat pulang sekolah. Meski harus berteriak dan seluruh sekolah tahu tentang kami. Toh, memang akhir-akhir ini sudah terdengar desas-desus pertengkaran kami sudah jelas.
Sukma dan Cici mempercepat jalan mereka. Seperti biasa aku tertinggal jauh di belakang. Makin aku mendekat, mereka makin cepat saja.
Aku tak sanggup lagi begini. Sampai rumah aku langsung ke kamar. Pikiranku kacau. Aku seperti orang terjahat di dunia ini.
“Rahmi! Makan dulu. Ibu sudah masak kesukaanmu ini!”
Suara Ibu sejenak mengalihkan perhatianku.
“Iya, Buk. Nanti.”
Baca juga: Cepen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Es Dawet Mamang
Aku kembali menenggelamkan wajah ke bantal. Air mata tanpa permisi turun membasahi pipi dan kasur. Aku harus bagaimana? Apa aku harus ...? Ah, tidak. Pikiran dan hatiku saling berbantah. Beberapa jam aku di kamar. Kebingungan ini sukses membuatku lemah, tak berdaya. Aku beringsut dari ranjang menuju nakas. Pandanganku melihat silet tergeletak di sana. Atau ini jawaban Tuhan atas pergolakan batinku? Tanganku bergetar mengambil benda itu.
Suara Ibu kembali untuk mengingatkan makan. Akan tetapi, kuabaikan. Gedoran demi gedoran terdengar. Suara Ibu terdengar panik. Sementara aku? Hampir silet itu mengenai kulit, Ibu berhasil masuk.
“Rahmi! Apa yang kamu lakukan, Nak? Kamu kenapa? Cerita sama Ibu. Ini enggak boleh.” Ibu mengambil silet dari tanganku, lalu membuangnya.
“Sadar, Nak.” Ibu memelukku dan menangis. Tangisan itu seketika menjalar ke diriku.
Kami berdua lemah, menangis dalam dekapan satu sama lain.
***
Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: pixabay.com