Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerbung Cerita Bersambung Mas Duda Mendua (Bab 12)

 

Cerbung Cerita Bersambung Mas Duda Mendua (Bab 12)


Assalamualaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya oleh ZahraWardah. Kali ini kami melanjutkan kembali kisah Mas Duda dengan judul Cerbung Cerita Bersambung Mas Duda Mendua (Bab 12). Ada yang masih ingat kisahnya? Yok, lanjut lagi. Sebentar lagi akan tamat kisah ini. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

Jangan lupa share dan komen. 


****


Bab 12: Indah dan Anin


“Ayok, pulang, Kak.” Anin menarik lenganku.

Semua peziarah telah kembali. Dengan berat hati aku, Anin, dan Mas Duda meninggalkan tempat peristirahatan Ibu terakhir. Langkahku gontai. Tak ada lagi tempat bersandar. Aku sendirian. Tangisku terasa kering. Tak bisa lagi keluar.  Mas Duda dan Anin menemaniku hingga sampai rumah. 

“Yah, Anin malam ini tidur sama Kak Mila, ya,” pamit Anin sebelum ayahnya pulang.

“Eh, enggak usah Anin. Kakak sudah terbiasa, kok, sendirian. Kamu pulang saja sama ayahmu.” Aku melirik ke Mas Duda.

“Ya, sudah Anin. Enggak pa-pa. Kalau mau menemani seterusnya juga boleh, kok. Ayah pulang dulu. Assalamualaikum.” 

Mas Duda seperti buru-buru. Dia tak menunggu balasan dari kami terlebih dahulu. Mungkin, ada kesibukan yang harus segera dikerjakan. Akan tetapi, seperti ada yang aneh dalam perkataan Mas Duda tadi. Anin diperbolehkan menemaniku seterusnya. Apa maksudnya itu .... Ah, aku saja mungkin yang terlalu berharap. Sudahlah. Lupakan saja. Akhirnya aku pun mengajak Anin masuk.

Baru beberapa menit kami di rumah. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. 

“Siapa, Anin?” 

“Enggak tahu, Kak. Anin buka dulu, ya.” Anin setengah berlari menuju pintu. Aku mengekornya. 

“Mil! Loh, mana Mila, Dek?” 

Ternyata Indah. Dia hampir saja memeluk Anin tadi. Indahku sayang. Anak itulah yang mungkin sekarang satu-satunya orang yang bisa dan mau aku jadikan tong sampah. Keluh kesah. Terima kasih Indah.

“Indah!” Dari belakang Anin aku berhambur dan memeluk Indah. 

Aku terharu. Demi sahabatnya, Indah sampai pulang kampung. 

“Kamu yang tegar, ya, Mil.” Suara Indah terdengar serak. Bisa aku rasakan bajuku basah oleh tetesan air matanya. Sebegitunya Indah kehilangan Ibu. Baginya Ibu sudah seperti orang tua sendiri. Bahkan, sepertinya Indah lebih sering berinteraksi dengan Ibu dibanding mamanya. Sebab, mamanya sangat sibuk sekali.

***

Anin sudah berangkat sekolah. Tersisa Aku dan Indah di rumah ini. Sepi. Masih terasa seperti mimpi. Kemarin aku masih bisa menatap Ibu sepuasku. Kini tak bisa lagi. Hatiku sesak. Hari ini hanya rebahan yang bisa kulakukan. Tak tahu arah. Bahkan, mandi pun malas. 

Saat ini Indah yang sedang di kamar mandi. Ponselnya berpendar dari tadi. Awalnya aku abai. Akan tetapi, benda pipih itu terus saja mati hidup lampunya dan bergetar. Terpaksa tangan ini meraih ponsel Indah yang jaraknya jauh dari posisiku sekarang. Sungguh mengejutkan saat aku baca nama di sana. 

Tanganku bergetar saat hendak menjawab. Namun, belum sampai aku membalas ponsel itu mati. Buih-buih kecurigaan pun tumbuh. Ingin rasanya kusampaikan unek-unek yang mencuat kepada Indah. Akan tetapi, kumemilih untuk menunggu saat yang pas dan segera menaruh kembali pada posisi semula.

“Sepertinya ada yang menelepon tadi.” Mataku tertuju ke ponsel Indah setelah Indah keluar dari kamar mandi. 

“Dari siapa?” Indah menuju ponselnya. 

Jelas sekali tampak ekspresi Indah terkejut, lalu berusaha menyembunyikannya. Dia melirikku saat mengecek ponselnya.

“Enggak tahu,” balasku berusaha bersikap santai.

Malam itu kami makan malam seadanya. Nasi goreng. Tadi Indah yang masak. Satu meja hanya aku dan Indah. Hening kecuali suara sendok dan garpu yang beradu. Mungkin Indah juga merasakan ada yang ganjil. Hingga kami tidur di dalam satu kamar pun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami berdua. 

***

Jam masih di angka enam pagi. Mataku mengerjap beberapa kali. Indah sudah tak ada di sampingku. Ke mana dia sepagi ini? Aku makin curiga. Jangan-jangan dia ke .... Ah, sudahlah. Aku tak mau berprasangka buruk terlebih dahulu. Mungkin saja dia hanya keluar sekedar menghirup udara pagi. 

Aku mencari Indah ke semua sudut rumah. Hasilnya nihil. Ke halaman depan juga tak ada. Tiba-tiba ada pesan masuk ke ponsel. Itu dari Indah. Ternyata dia mendadak harus kembali lagi ke luar kota karena ada yang harus segera di urus di kampusnya. 

“Huh.” Aku menghela napas kasar. Aku akan kesepian kembali. 

Biasanya pagi-pagi begini Ibu sudah bersih-bersih dan masak. Aku? Tentu saja aku masih rebahan santai. Namun, kali ini berbeda. Aku terpaksa harus mengubah cara hidupku tanpa keberadaan Ibu. Baiklah. Pertama, aku harus mengisi perut dulu sebelum memulai aktivitas.

Dapur adalah tujuan utama. Meski tak biasa masak, tetap saja kalau hanya menggoreng telur aku bisa. Keadaanku saat ini cocok seperti lagu yang dipopulerkan oleh Caca Handika. Ayo tebak lagu apa? Iya, yang liriknya, “makan, makan sendiri. Cuci baju sendiri.” Eh, jangan sambil nyanyi, ya, bacanya.

Oke. Aku ingat sekali Ibu selalu mengajarkan untuk bersih di mana pun dan kapan pun. Kali ini aku juga harus menirunya. Lagi pula tak ada salahnya mewarisi sifat Ibu yang suka bersih. Justru banyak manfaatnya. Buktinya dari situ Ibu jadi punya usaha laundry beberapa cabang setelah ditinggal selamanya oleh Ayah. Sampai saat ini masih saja menjadi rezeki yang mengalir.

Tak terasa setelah membabu seharian, jam sudah menuju angka 12 siang. Capek juga ternyata. Baiklah. Aku rebahkan tubuh ini di kasur sembari menyalakan kipas dengan kecepatan maksimal. Segarnya. Belum ada lima menit, tiba-tiba suara pintu terketuk keras sekali dari depan.

“Kak Mila! Kak Mila!” Itu suara teriakan Anin. Kenapa dia?

Posisi kamar yang agak jauh dari pintu depan membuat teriakan dan gedoran dari Anin makin keras. Aku berlari dengan cepat. 

“Ada apa, Anin?” tanyaku dengan alis yang menyatu. Ada rasa khawatir di dalam sana.

“Ayok, antar Anin. Ayah enggak ada. Jadi, terpaksa Anin ke sini minta tolong Kakak. Mau, ya.” Wajah melas Anin terpampang di sana. Tak lupa senyuman manja meluluhkanku.

“Emang mau ke mana?” 

Baca juga: Contoh Teks Puisi tentang Guru Terbaru

“Pokoknya Kakak antar saja,” desak perempuan yang mengenakan pakaian merah muda itu.

“Oke. Kalau begitu Kakak mandi dan siap-siap dulu, ya.” 

“Enggak usah. Langsung begini saja enggak pa-pa. Ayok, cepetan.” Anin menggeret lenganku.

Akhirnya aku pun menuruti Anin. Keluar rumah dengan kondisi seadanya, alias sehabis beres-beres rumah. Bisa kalian bayangkan, bukan? Keringat masih menempel erat. Bauk.

“Emang ayahmu ke mana, Anin?” tanyaku penasaran saat di perjalanan.

“Ayah pergi sama perempuan tadi pagi. Anin enggak begitu paham wajahnya.” 

Aku terdiam. Hatiku sesak. Inilah akibat menunda-nunda mengungkapkan perasaan. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com + pixelLab