Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Singkat tentang Kehidupan dengan Judul Utang Nyawa

Cerpen Singkat tentang Kehidupan dengan Judul Utang Nyawa


Halo, assalamualaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kali ini kami mempersembahkan cerpen keren Cerpen Singkat tentang Kehidupan dengan Judul Utang Nyawa. Selamat menikmati. Semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

****

UTANG NYAWA


“Kamu itu kalau dikasih tahu orang tua, ya, nurut aja. Enggak usah bantah!” Tangan Bapak terangkat dengan membawa kemoceng hampir mengenaiku. Akan tetapi, Bapak segera menghentikan aksinya. 

Baru kali ini aku menyaksikan Bapak semarah ini. Hingga bola mata hendak copot. Bagian warna putih pun hampir berubah menjadi merah padam. Aku menciut. Kaget plus takut dengan Bapak yang sekarang. Aku beringsut dari hadapan Bapak pelan-pelan menuju kamar, lalu menutup pintu pun pelan. Setelah di kamar, langkahku cepat menuju ranjang. Marah sekaligus kesal memenuhi ruang hati ini.

“Apa-apa kenapa mesti Hamzah dulu, sih. Apa aku ini anak tiri.” Hatiku menjerit. Jeritan yang tak bisa kukeluarkan karena Bapak. 

Padahal aku yang meminta motor. Eh, malah Hamzah yang dikasih. Aku enggak habis pikir. Ransel yang masih menempel di badan, kulempar sembarang. Hingga mengeluarkan suara keras. Aku tak peduli. Napasku tak karuan. Bisa kulihat dari cermin yang menempel di dinding. Aku tak bisa begini terus. 

Seketika aku membuka lemari, mengambil beberapa helai baju. Aku mau minggat dari sini. Udara di sini sudah terlalu panas bagiku. Hingga menyesakkan rongga-rongga dada.

“Heh! Mau ke mana itu?” Sembari melirik, Bapak berseru tanpa memandangku. 

Dadaku sesak. Daripada meledak di sini. Aku berlalu tanpa membalas pertanyaan Bapak. Tak lama kemudian sandal Bapak tiba-tiba mendarat tepat di depanku. Spontan langkahku terhenti. Kedua telapakku mengepal. Rasanya menggelegak ingin meninju Bapak. 

“Mau pergi.” Dengan nada yang sebisa mungkin santai, aku menjawab dengan asal. Lantas, aku berjalan kembali.

“Pergi sana yang jauh! Dasar anak tak tahu diri.” 

Aku melirik Bapak. Beliau cepat sekali menghilang dari ruang tamu. Sejenak aku berpikir apakah sudah benar sikapku ini? Akan tetapi, tak sampai lama. Segera kujinjing tas, lalu keluar meninggalkan rumah sederhana ini. Baru beberapa langkah meninggalkan pintu rumah, Hamzah tiba-tiba datang dengan motor baru yang dibelikan Bapak. 

“Mas, mau ke mana?”

Tampang tak bersalah itu mendekatiku. Sungguh menyebalkan orang sok alim ini. Dia menyalamiku. Dasar anak kesayangan Bapak. 

“Mau pergi. Sudah pulang?” Meski dengan nada ketus, tetap saja anak ini sebenarnya tak ada salah denganku. Dengan tenaga penuh aku berusaha bersikap baik di depan Hamzah.

“Iya, Mas. Kemarin baru libur pondoknya. Bapak di dalam, Mas?”

“Iya.”

Hamzah pun bergegas menuju rumah. Aku tak peduli, melanjutkan langkah yang tak tahu arah. Dari lubuk hati terdalam sebenarnya ada sedikit penasaran apa yang akan dilakukan Hamzah dengan Bapak di rumah. Namun, egoku ternyata mampu mengalahkan rasa yang mengusik itu. Kakiku tetap maju.

***

“Mad! Mamad! Bapakmu!” Martono muncul tiba-tiba dengan napas tersengal-sengal. Keringatnya tampak mengucur.

“Kenapa?” 

“Bapakmu kecelakaan. Di bawa ke rumah sakit.”

“Biar aja.” 

Marsono sedikit terkejut. Akan tetapi, tak berlangsung lama. Lelaki itu sudah paham kondisi hatiku. Dan di tempatnyalah aku sekarang berada. Hanya Marsono satu-satunya teman yang mengerti aku. 

Dia pun segera kembali setelah pamit. Aku berharap orang tua itu lenyap dari dunia ini. Meski ada rasa benci maksimum, tetap saja setitik rasa khawatir masih ada. Separuh hati kulangkahkan kaki menuju rumah sakit. Terik matahari menambah kemalasanku. Motor butut Marsono kukendarai lambat, lalu baru beberapa menit jalan tiba-tiba mobil besar menabrak dari belakang. Seketika semua gelap.

***

“Mas Mamad! Mas Mamad sudah sadar!” 

Aku kenal sekali suara itu. Menyebalkan. Kenapa dia bisa di sini? Pelan-pelan mataku mulai terbuka. Niat hendak memalingkan pandangan, aku sudah kesakitan saat kepala kugerakkan. Ternyata sudah menempel perban di kepalaku. 

“Aduh,” keluhku sembari memegang kepala.

“Pelan-pelan, Mas. Kata dokter kepala sampeyan parah. Jangan terlalu gerak dulu. Aku ambilkan minum, ya,” tawar Hamzah. 

“Enggak usah.” 

Baca juga: Cerbung Cerita Bersambung Mas Duda Mendua (Bab 12)

“Mad! Kamu sudah sadar?” Sosok Marsono menyembul dari balik pintu kamar mandi. 

“Kamu tahu enggak? Kata dokter kalau saja kamu tak segera dibawa ke rumah sakit saat itu, kamu sudah lewat. Pendarahan dari kepalamu parah banget. Kamu tahu siapa yang membawamu ke sini?” Marsono melirik Hamzah yang berada di sampingnya.

Aku langsung paham. Anak itu yang menolong. Meski dalam hati masih berat, tetap saja aku harus berterima kasih kepada Hamzah dengan nada datar. Sejenak berlalu, tiba-tiba Bapak muncul dari pintu menggunakan kursi roda diantar oleh perawat rumah sakit.

“Mad!” teriak Bapak. Cucuran kesedihan tak mampu dibendungnya. 

“Aku enggak pa-pa, Pak,” balasku kala Bapak mulai memijat tanganku yang masih tersambung dengan infus yang menggantung.

“Enggak pa-pa gimana? Kepalamu sampai parah gitu. Dua hari kamu tak sadarkan diri.” Sembari menyeka pilunya, Bapak memarahiku. Akan tetapi, kali ini jauh lebih lembut dan menyentuh. Aku bisa merasakannya. 

“Asal kamu tahu, Mad. Kita itu sebenarnya banyak sekali utang nyawa dengan Hamzah dan Bapaknya. Kamu ingat saat rumah kita kebakaran? Ibu dan adikmu tak terselamatkan. Kalau bukan karena bapaknya Hamzah kita juga menjadi abu, Mad. Sampai sekarang pun yang menolong kita kecelakaan juga Hamzah. Maka dari itu Bapak mohon kerendahan hatimu agar tidak cemburu dengan Hamzah. Bapak yakin kamu bisa.” Bapak mengangguk pelan menatapku seperti memohon dengan sangat.

***


Karya: Zahra Wadah

Ilustrasi: Bing